Masyarakat Sipil Bakal Gelar Diskusi Publik Bahas Isu Pariwisata Berkelanjutan di Labuan Bajo

Diskusi pada hari ini, 15 April di Rumah Kopi Kebun Kota merespons polemik pembangunan yang abai prinsip ekologi dan melanggar hak warga

Floresa.co – Kelompok masyarakat sipil di Flores, NTT bakal menggelar diskusi publik yang membahas isu pariwisata berkelanjutan di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, merespons polemik pembangunan yang mengabaikan prinsip ekologi dan melanggar hak-hak warga setempat.

Diskusi bertajuk “Pariwisata Berkelanjutan di Labuan Bajo: Bagaimana Menjamin Keseimbangan Ekologis dan Akses Kesempatan Warga Lokal?” akan digelar pada 15 April, pukul 17.00–19.00 Wita di Rumah Kopi Kebun Kota: Kopi Flores dan Ruang Jumpa, Jalan Cunca Rami, Cowang Dereng, Labuan Bajo.

Diskusi dengan konsep roundtable atau meja bundar itu, yang diinisiasi Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores, juga berlangsung secara daring melalui platform Zoom Meeting. Peserta dapat bergabung dengan Meeting ID 831 3269 4353 dan Passcode 330029.

Beberapa pemantik diskusi yang hadir antara lain Inocentius Peni, anggota DPRD Manggarai Barat; Romo Silvi Mongko dan Pater Andre Bisa OFM dari Komisi JPIC Keuskupan Labuan Bajo; Rian Juru, peneliti isu pembangunan; Doni Parera, aktivis lingkungan; dan Patris Ekaputra, Ketua PMKRI Cabang Labuan Bajo.

Sementara Anno Susabun, jurnalis Floresa menjadi pemandu diskusi.

Dalam kerangka acuan diskusi, panitia menjelaskan topik pariwisata berkelanjutan diangkat untuk merespons “keprihatinan publik terkait model pembangunan pariwisata yang dianggap mengabaikan keseimbangan lingkungan dan ada praktik pembatasan akses bagi warga.”

Keprihatinan itu salah satunya tampak dalam Surat Gembala Paskah 2025 Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus, yang menyebut pentingnya pertobatan ekologis untuk menjamin “pembangunan industri pariwisata yang memperhitungkan keseimbangan ekologis, bukan semata orientasi profitisasi ekonomis.”

Menurut panitia, persoalan lingkungan di Labuan Bajo terjadi karena sejumlah proyek pariwisata yang mengalihfungsikan kawasan hutan sehingga memicu bencana banjir yang makin sering terjadi beberapa bulan terakhir. 

Soal lainnya adalah “pembatasan akses karena maraknya praktik privatisasi ruang-ruang publik, khususnya pantai dan kawasan pesisir.” 

Adriani Miming, koordinator forum tersebut berkata, diskusi publik ini adalah bagian dari kegiatan bulanan yang digagas secara kolaboratif oleh lembaga riset Sunspirit for Justice and Peace, kolektif kaum muda Rumah Baca Aksara dan media Floresa.co.

“Forum ini kami hadirkan sebagai ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka terkait isu-isu sosial yang berkembang, tanpa sekat formalitas yang menghalangi dialog yang terbuka,” kata Adriani.

Ia menambahkan, diskusi kali ini menggunakan format roundtable agar setiap peserta, terlepas dari latar belakangnya, bisa terlibat aktif dan setara dalam berbagi perspektif maupun pengalaman.

“Ini adalah kesempatan bagi semua pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, gereja, aktivis hingga mahasiswa dan masyarakat umum untuk bertemu, saling mendengar dan saling menggugah,” katanya.

Topik diskusi terkait pariwisata berkelanjutan, kata Adriani, sangat relevan dengan situasi aktual di Labuan Bajo “di mana warga merasa cemas dengan arah pembangunan pariwisata yang terus berkembang namun kerap mengabaikan aspek lingkungan serta mengesampingkan kepentingan masyarakat sekitar.”

“Ini adalah langkah kami untuk memastikan bahwa pariwisata di Labuan Bajo tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga berpihak pada keberlanjutan ekologis dan hak-hak warga setempat,” tegasnya.

Adriani berharap diskusi publik ini “menjadi wadah reflektif, tempat masyarakat dapat menggali tantangan dan peluang yang ada, serta menemukan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan dalam menghadapi dinamika pariwisata di wilayah ini.”

Labuan Bajo, pintu masuk menuju Taman Nasional Komodo ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas oleh pemerintah pusat pada 2019.

Selain habitat alami satwa langka komodo sebagai destinasi utama yang telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau UNESCO, Labuan Bajo juga menjadi pintu masuk ke berbagai destinasi wisata alam dan budaya di sepanjang Pulau Flores.

Namun ancaman terhadap ekologi dan hak-hak warga setempat terus meningkat seiring masifnya proyek-proyek pembangunan di wilayah itu, hal yang memicu protes berkepanjangan warga dan berbagai elemen gerakan masyarakat sipil, termasuk Gereja Katolik.

Beberapa di antaranya adalah ancaman ekologi dan sosial dalam kawasan TN Komodo karena penguasaan lahan di cagar biosfer itu oleh beberapa perusahaan, kerusakan Hutan Bowosie hingga pembangunan infrastruktur jalan menuju kawasan Golo Mori yang tanpa ganti rugi bagi pemilik lahan.

Protes publik beberapa waktu terakhir terkait privatisasi pantai dan ruang laut oleh hotel dan properti wisata lainnya, hal yang dinilai mengancam keberlanjutan ekosistem laut dan membatasi akses warga menikmati pantai. Selain itu hal ini juga mempersempit ruang gerak nelayan tradisional.

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA