Sejumlah Hotel dan Restoran di Labuan Bajo Dirikan Bangunan di Atas Laut, DPR RI Janji Minta Penjelasan Kementerian Kelautan

Investasi sektor pariwisata di Labuan Bajo tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat untuk menikmati wilayah laut

Floresa.co – Tak hanya soal akses publik yang terbatas ke pantai di Labuan Bajo, bangunan milik hotel dan restoran yang didirikan di atas laut juga menjadi perhatian.

Regulasi memang memungkinkan pemanfaatan ruang di atas laut, termasuk untuk mendirikan bangunan, namun mesti ada izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP.

Anggota Komisi IV DPR RI, yang bermitra dengan KKP, Daniel Johan, berkata, pihaknya akan mendalami keberadaan bangunan tersebut dengan KKP.

“Kita akan pastikan apakah ini sudah memiliki izin dan apakah sudah memenuhi semua peraturan yang ada,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa [PKB] itu kepada Floresa pada 6 April.

Ketentuan Regulasi terkait Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang perairan pesisir wajib memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut [KKPRL] dari KKP.

Pemberian KKPRL tersebut juga wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem perairan pesisir, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional dan hak lintas damai bagi kapal asing.

KKP dalam salah satu siaran pers pada Juni 2024 menyatakan KKPRL merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan masyarakat lokal, masyarakat tradisional dan masyarakat pesisir.

Selain mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja, KKP menyampaikan pelaksanaan KKPRL juga mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut, Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut No. 15 Tahun 2023 dan Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut No. 50 Tahun 2023.

Melalui regulasi tersebut, KKP mengatur perizinan pemanfaatan ruang laut yang dilaksanakan melalui Persetujuan KKPRL, Konfirmasi KKPRL dan Fasilitasi PKKPRL. 

Pendaftaran PKKPRL untuk kegiatan berusaha dilakukan dengan menyampaikan permohonan melalui sistem Online Single Submission [OSS]. Sedangkan, untuk kegiatan non berusaha melalui Sistem Elektronik KKP atau e-sea.kkp.go.id. 

Sesuai Undang-Undang Cipta Kerja, setiap orang yang memanfaatkan ruang perairan yang tidak memiliki KKPRL yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp500 juta.

Daniel berkata, terkait sejumlah hotel dan restoran di Labuan Bajo yang mendirikan bangunan di atas laut, Komisi IV akan menanyakan ke KKP.

“Tentu tidak hanya di Labuan Bajo, di daerah lain tentu banyak, hanya karena viral baru menjadi sorotan,” ujarnya.

Daniel berkata, “negara harus tegas terhadap praktik-praktik yang mencoba menguasai fasilitas yang seharusnya berlaku untuk masyarakat umum seperti pantai.”

“Keberadaan resor mewah tersebut harus memberikan dampak bagi warga sekitar, bukan hanya memanfaatkan keindahan alamnya tetapi warga sekitar harus merasakan dampak keberadaan investasi pariwisata tersebut,” ujarnya.

Jangan Sampai Warga Lokal Dipinggirkan

Anggota DPRD Manggarai Barat, Inocentius Peni menyatakan mendukung investasi yang masuk ke Manggarai Barat, namun tidak boleh mengorbankan hak publik.

Menurutnya, pembangunan hotel, restoran, dan villa di sempadan pantai, harus dilakukan dengan tetap menghormati hak masyarakat untuk menikmati wilayah tersebut.

“Kita tidak boleh mengabaikan hak publik demi kepentingan ekonomi saja,” ujarnya kepada Floresa pada 7 April.

Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional ini khawatir kegandrungan pemerintah terhadap investasi mengabaikan hak masyarakat untuk menikmati wilayah pantai dan laut di Labuan Bajo.

Menurutnya, keberadaan resor di atas laut di wilayah pesisir Labuan Bajo menghalangi nelayan lokal untuk mencari ikan. 

“Anak-anak mereka yang tiap hari menikmati laut justru tersisih karena masalah itu,” ujarnya. 

Karena itu, Inocentius meminta pemerintah pusat dan provinsi yang memiliki otoritas memberikan izin pemanfaatan ruang laut memperhatikan kepentingan masyarakat lokal di Labuan Bajo, bukan semata-mata kepentingan investor.

“Kita tidak ingin demi investasi seluruh pantai digunakan untuk membangun hotel,” ujarnya.

Pengamatan Floresa, sejumlah hotel dan restoran di pesisir Labuan Bajo memiliki bangunan di atas laut, di antaranya Ta’aktana, Katamaran, Ayana, Mawatu – sedang dibangun-, Le Bajo, dan Resort 86.

Ta’aktana Luxury Collection Resort dan Spa, misalnya, memiliki setidaknya sembilan bangunan menyerupai rumah adat Manggarai di atas laut. 

Tidak jauh dari Ta’aktana, Katamaran juga memiliki sejumlah bangunan di atas laut. Bangunan itu terbentang sekitar 200 meter dari sempadan pantai. 

Sebelumnya Wakil Gubernur NTT,  Johni Asadoma, mengaku cukup terkejut mengetahui ada villa-villa mewah hingga restoran dibangun oleh investor di atas laut  Labuan Bajo. 

“Saya baru tahu ini,” ujar mantan Kapolda NTT ini sembari berjanji akan mengecek ke lokasi.

Beberapa waktu terakhir warga Labuan Bajo mengeluhkan pembatasan akses ke wilayah pantai oleh petugas keamanan hotel dan resort.

Selain di wilayah perairan, wilayah sempadan pantai Labuan Bajo juga dikuasai secara eksklusif oleh hotel dan resort.

Pada 2022 Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengidentifikasi setidaknya 11 bangunan hotel dari Pantai Wae Cicu hingga Pantai Pede yang melanggar ketentuan terkait garis sempadan pantai dan tata ruang.

Editor: Petrus Dabu 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, Anda bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA