‘Kami Tidak Berdaya,’ Kepasrahan Warga Lembata Menyaksikan Babi yang Mati karena Virus ASF

Warga merugi hingga ratusan juta akibat penyakit yang tak kunjung menemukan penangkalnya

Floresa.co – Lodovikus Salang Nilan, warga Kabupaten Lembata, mengernyitkan dahi ketika menunjukkan kandang babi yang sudah kosong di dekat rumahnya.

Warga Kompleks Batas Kota (Baskot), Kelurahan Lewoleba Timur, Kecamatan Nubatukan itu bercerita, beberapa hari terakhir, 12 ekor babinya mati karena virus demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF). 

Dari 12 ekor itu, 7 di antaranya berusia setahun lebih dan 5 berusia beberapa bulan. 

Bencana itu bermula ketika awal bulan ini babi-babinya mulai menunjukkan gejala sudah terpapar ASF.

“Selain sudah tidak nafsu makan, badan mereka mulai panas,” katanya  kepada Floresa pada 14 April. 

Lodovikus sempat memberi babi-babinya obat, susu, madu dan meminta bantuan pegawai peternakan untuk menyuntik. Namun, upayanya sia-sia.

ASF merupakan penyakit menular yang menyebabkan perdarahan pada organ internal babi, dengan risiko kematian yang sangat tinggi. 

Lodovikus memperkirakan total kerugiannya mencapai Rp56.500.000.

“Satu ekor babi besar saya hitung Rp7.000.000, sedangkan babi kecil Rp1.500.000,” katanya.

Selain untuk urusan adat, babi-babi itu rencananya dijual untuk membantu pendidikan dua anak kembarnya.

“Kami stres dan tidak berdaya, sebab biaya penjualan babi direncanakan untuk biaya dua anak yang hendak tamat SMA,” kata Lodovikus.

Ia mengaku memilih tidak melihat babi-babi itu, sehingga menyewa warga kampungnya Rp50.000 untuk menguburkan mereka.

Tak jauh dari rumah Lodovikus, Marta Tura warga kompleks Baskot lainnya, berkata satu babinya mati dengan gejala yang sama pada 13 April.

Setelah menduga terpapar ASF, ia sempat rutin membersihkan dan  menyalakan api di sekitar kandang.

Ia juga rutin memeriksa keadaan babi jantan yang baru berusia 7 bulan itu.

“Penyakit ASF itu bertahan selama satu minggu. Gejala matinya dengan mengeluarkan darah,” kata Tura kepada Floresa.

Ia menaksir harga babi itu Rp3.000.000.

Sementara Yustina Uba, juga warga Kompleks Baskot, berkata, gejala yang sama kini dialami babi betinanya yang berusia lebih dari setahun.

“Ketika lihat banyak lalat hinggap, saya langsung berpikir sudah tidak ada harapan lagi,” katanya kepada Floresa. 

“Gejalanya sama, seperti tidak ada nafsu makan, badan panas dan mata merah,” tambah Uba, sapaannya.

Ia melakukan berbagai macam cara untuk menyelamatkan babi betina yang diperkirakan seharga Rp7 juta itu. 

“Saya sudah kasih minum air daun gamal, campur bubuk kopi di pakan babi, tetapi tetap tidak ada hasil,” katanya.

Uba berkata “sudah seminggu babinya alami gejala ASF dan kini pasrah dengan keadaan.”

“Saya tidak bisa buat apa-apa lagi,” katanya pasrah melihat babinya yang kian lemas. 

Ratusan Ekor Babi Mati Selama Tahun Ini 

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lembata, Muktar Hada mengonfirmasi bahwa pemicu kematian babi di Baskot adalah karena virus ASF.

Secara keseluruhan, kata kepada Floresa pada 14 April di ruang kerjanya, Lembata mencatat 458 ekor babi yang mati selama tahun ini.

Di Kelurahan Lewoleba Timur yang mencakup kompleks Baskot, kata dia, tercatat 60 ekor.

Yang lainnya di Kecamatan Ile Ape Timur yang mencakup Desa Waimatan 24 ekor, Desa Bao Lai Duli 21 ekor dan Desa Lamatokan 20 ekor.

Sementara Kecamatan Nagawutung, katanya, mereka mencatat kematian 8 ekor babi di Desa Warawutung, 4 ekor di Desa Lusiduawutun dan 3 ekor di Desa Duawutun.

Di Kecamatan Lebatukan, ada di Desa Baopana 248 ekor dan Desa Lamatuka 34 ekor. Sementara di Kecamatan Ile Ape, katanya, Desa Muruona mencatat kematian 35 ekor dan Desa Laranwutun 1 ekor.

Fakta lapangan bisa jadi lebih tinggi dari data ini. 

Kepala Desa Waimatan, Onesimus Sili misalnya berkata kepada Floresa, hingga bulan ini kematian babi di desanya mencapai 80 ekor, jauh lebih tinggi dari 24 ekor yang tercatat di dinas.

Upaya Dinas Pertanian

Muktar berkata, pihaknya telah melakukan berbagai upaya, di antaranya “sosialisasi dan pengambilan sampel.”

Semula, kata dia, sampel pertama yang diambil di Kompleks Perumahan Tanah Merah hasilnya negatif.

Namun, katanya, hasil pemeriksaan berikutnya di Desa Waimatan adalah positif.

“Dicurigai ada warga Desa Waimatan potong babi yang sakit dan kemudian bagi dagingnya ke warga,” kata Muktar.

“Ketika ditanyakan asal penyebarannya, mereka tidak sampaikan terbuka kepada kami,” katanya.

Muktar berkata, virus ASF menyerang babi di tahun lalu setelah sebelumnya pada tahun 2020.

Bulan kematian babi pada tahun ini, katanya, “sama seperti sebelumnya pada Februari-Mei.”

“Virus ASF berkembang biasanya terjadi pada musim hujan dan berada di wilayah kelembaban. Puncaknya pada April-Mei,” katanya.

Menurut Muktar untuk “pencegahan penyebaran virus ASF idealnya harus menggunakan vaksin,” namun “hingga kini belum ditemukan vaksinnya.”

Klaimnya soal tidak adanya vaksin selaras dengan informasi Kementerian Pertanian di situs resminya bahwa saat ini memang belum ditemukan vaksin untuk virus ini.  

Karena itu, katanya, upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah “gencar melakukan sosialisasi ke warga dan rutin mengidentifikasi babi sehat dan yang sedang sakit.”

Dinasnya melakukan pemeriksaan sampel babi babi mati di laboratorium di Kota Kupang dan Kabupaten Sikka karena belum tersedia di Lembata.

Ia juga menganjurkan warga untuk menjaga kebersihan kandang dan diri sebelum bersentuhan dengan babi peliharaan di rumah.

“Kami sudah mengirim surat kepada seluruh camat dan kepala desa sebagai bentuk imbauan mencegah penyebaran virus ASF,” katanya.

Floresa menerima surat pengumuman itu yang disebarkan pada 12 April.

Salah satu poin menyebutkan,“dilarang keras membawa ternak babi dan produk babi berupa daging babi, se’i, dendeng, dan roti babi atau olahan daging babi lainnya dari luar Kabupaten Lembata, terutama dari daerah wabah seperti Kabupaten Maumere, Larantuka, pulau Adonara, daratan Timor, Kota Kupang, dan Sumba.”

Menurut Muktar, penyebaran ASF di Lembata kali ini diduga dari Kabupaten Sikka dan Flores Timur. 

Selama Februari-Maret, Dinas Perkebunan dan Peternakan Flores Timur melaporkan 46 ekor babi yang mati karena virus ini, seperti dilansir Pos Kupang.

Sementara di Sikka, 356 babi yang mati selama Oktober 2024 hingga Februari 2025.

Dilansir Detik.com, Kecamatan Talibura mencatatkan angka kematian tertinggi dengan 128 ekor, Kecamatan Alok Barat 115 ekor, Kecamatan Palue 80 ekor, Kecamatan Alok 11 ekor, Kecamatan Kangae 10 ekor, Kecamatan Koting 5 ekor, Kecamatan Nita 4 ekor, dan Kecamatan Magepanda 3 ekor.

Muktar Hada, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lembata. (Dokumentasi Floresa)

Rugi Ratusan Juta

Kepala Desa Waimatan, Onesimus Sili baru saja kembali dari lokasi penguburan babi yang berjarak 30 meter dari kediaman warga di Kompleks Tanah Merah ketika ditemui Floresa pada 14 April.

Ia berkata, serangan virus ASF di desanya mulai teridentifikasi bulan lalu yang ditandai “dengan mulai menurunnya nafsu makan dan badan panas.”

Ia berkata, desanya aman dari ASF pada tahun lalu, berbeda dengan desa lainnya di Lembata.Tahun ini, katanya, warga di Waimatan juga sudah berusaha menjaga kebersihan kandang. 

“Namun saat diberi makan pagi, pada sore hari babi-babi sudah tidak nafsu lagi,” katanya.

Mus berkata, diperkirakan kerugian warga mencapai ratusan juta rupiah berdasarkan perhitungan sesuai ukuran babi.

“Babi yang mati ada berukuran besar, sedang, dan kecil. Harga tertinggi babi besar diperkirakan Rp10 juta dan terendah Rp4 juta,” katanya.

Menurut Mus, babi-babi itu disediakan oleh desa dari anggaran dana desa yang totalnya lebih dari Rp90 juta.

“Babi-babi itu diadakan dua kali pada 2023 dan 2024,” katanya. 

Mus berkata, babi-babi yang mati itu tidak hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi warga, tetapi juga menunjang keperluan adat.

“Kami kesulitan kalau sewaktu-waktu berurusan dengan adat,” katanya.

Terus Terjadi di NTT

Di NTT, di mana 83 persen dari 5,5 juta populasinya adalah Kristen, baik Katolik maupun Protestan, banyak warga yang umumnya petani memelihara babi sebagai pekerjaan sampingan.

Daging babi termasuk salah satu jenis daging yang paling laku. Selain untuk konsumsi sehari-hari, daging ini juga jadi menu utama pada saat acara adat.

Babi juga umumnya jadi sembelihan dalam upacara-upacara adat, seperti syukuran musim panen dan pernikahan adat.

Karena laris, setiap keluarga di kampung-kampung umumnya memelihara babi antara 1-10 ekor, dengan kandang yang berada dekat dengan rumah. 

Memelihara babi juga menjadi salah satu cara untuk bisa membiayai pendidikan anak-anak.

Menurut data 2021 dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, populasi babi di NTT mencapai 2.598.370 ekor, hampir setengah dari populasi babi di Indonesia yang mencapai 7.622.724 ekor.

Namun, serangan virus ASF menjadi ancaman serius, yang belakangan terjadi hampir setiap tahun.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA