Floresa.co – Ranting-ranting mimba bertumpuk di depan ruang jenazah RSUD Lewoleba.
Sejumlah perempuan melepaskan tangkai daunnya seiring kedatangan belasan jasad dari pedesaan di Lembata.
Dalam sekali waktu, ruang jenazah berukuran sekitar 5×6 meter itu mampu menampung lima peti.
“Pada kondisi begitu, kami sudah susah sekali melangkah di dalamnya,” kata Ambrosia Paulina Peni Lamak yang biasa disapa Ani.
Sementara pada 4 April 2021, “jenazah terus berdatangan dari pedesaan.”
Ani merupakan sukarelawan yang tergabung dalam Gema Putra-Putri Lembata (Gempita), organisasi pemerhati lingkungan berbasis di Lewoleba, ibu kota Lembata.
Selama 10 hari ia dan sejumlah anggota Gempita bertahan di ruang jenazah RSUD Lewoleba, membantu mengurus jasad korban siklon Seroja.

Ani mengingat lebih dari 10 jenazah tiba di depan RSUD Lewoleba hingga 4 April 2021 sore.
Jasad tak bisa selekas mungkin diberangkatkan ke pemakaman lantaran “harus mengantre mobil pengangkut.”
Ambulans dikerahkan ke pedesaan di Ile Ape dan Ile Ape Timur, dua kecamatan yang mengalami dampak terparah siklon Seroja di Lembata.
“Mereka (ambulans) memang singgah di depan ruang jenazah, antar jasad. Setelah itu kembali pergi mengevakuasi korban,” kata Ani yang kini berusia 33 tahun.
Kalaupun warga mempunyai mobil, “akhirnya turut dikerahkan ke lokasi evakuasi.”
Alasan itulah yang mendorong Ani dan sukarelawan lainnya pergi ke tepi-tepi jalan utama Lewoleba untuk memetik ranting-ranting mimba (Azadirachta indica).
Daun-daun mimba yang telah dilepas dari rantingnya lalu ditaruh sebagai alas peti jenazah.
“Dari zaman kakek-nenek,” katanya, “kami diajari bahwa mimba baik untuk mengawetkan jasad.”

Penguburan Massal
Mimba–yang oleh warga setempat disebut nimba–tumbuh subur di lembata dan pulau-pulau kecil lainnya di NTT.
Sebagian warga berakar budaya Lamaholot memercayai daun mimba dapat mengawetkan jasad meski belum terbukti secara ilmiah.
Komunitas Lamaholot tinggal di bagian timur Pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Adonara dan Pulau Lembata.
Sejauh ini sejumlah kajian menemukan ekstrak daun mimba bermanfaat sebagai pestisida alami dan obat herbal.
“Pohon mimba tumbuh baik di Ile Boleng,” kata Kurniati Mahariya, “tetapi tidak kami gunakan untuk mengawetkan jenazah.”

Yati, sapaannya, tinggal di kaki Ile Boleng, gunung berapi di Pulau Adonara. Dalam bahasa Lamaholot, “ili” atau “ile” berarti gunung.
Tak ubahnya Ani, ia membantu mengurus jenazah korban siklon Seroja yang menerjang pulau kelahirannya pada 4 April 2021.
Minggu pagi itu ia mendengar belasan jasad berdatangan ke Lamanele, sebutan warga bagi wilayah adat yang secara resmi bernama Desa Nelelamadike.
Nelelamadike bersebelahan dengan Desa Nelelamawangi. Tercakup dalam Kecamatan Ile Boleng, keduanya sama-sama terdampak siklon Seroja.

Pagi itu Yati yang sehari-hari bekerja sebagai perawat bergegas ke kantor Desa Nelelamadike.
Ia tak ingat betul jumlahnya, tetapi “hingga sore sekitar 20-an jasad diantar ke kantor desa.”
Yati turut memandikan mereka sebelum pulang menjelang malam.
Sesampai di rumah, ia membuka ponsel dan membaca pesan dari sejumlah sukarelawan yang masih bertahan di kantor Desa Nelelamadike.
Sebagian besar pesan itu berbunyi: “Jasad di kantor desa baru saja dikuburkan secara massal.”
Sepanjang malam lilin-lilin bernyala di tepian permakaman massal di lereng Ile Boleng.
Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang terbit pada 7 April 2021 mencatat 71 orang meninggal dan empat dinyatakan hilang di Adonara.
Sebagian besar korban ditemukan meninggal terbenam lumpur yang mengeras dalam rumah mereka.

Mengimbuh Nama Bunga
Lumpur awalnya menghilir bersama kerikil dan batu besar dari puncak Ile Boleng kala hujan deras melanda Adonara pada 4 April 2021.
Campuran material vulkanis itu, yang disebut lahar hujan, lama-kelamaan saling mengikat dan menjadi sekeras semen.
Hujan deras disertai angin kencang yang melanda Adonara merupakan dampak dari siklon Seroja yang hari itu belum bernama.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru menamainya pada 7 April 2021.
Penamaan ditetapkan setelah lembaga itu menelaah kecepatan, jangkauan pusaran serta skala kerusakan yang ditimbulkan.
Siswanto, ahli klimatologi yang bekerja di BMKG menyatakan suatu badai ditetapkan sebagai siklon ketika jangkauan pusarannya lebih dari 100 kilometer (km) dengan kecepatan melampaui 60 km/jam.
“Kecepatan siklon Seroja saat itu mencapai 100 km/jam,” kata Siswanto pada 11 April. Sementara pusaran badai itu bergerak pada jarak melampaui 100 km.
Dampak siklon Seroja terjadi di nyaris semua wilayah kepulauan NTT, provinsi dengan luas daratan lebih dari 40 ribu km2 dan perairan yang membentang hingga 190 ribu km2.
“Siklon bisa sangat berbahaya,” kata Siswanto, “itulah mengapa kami turut memberi identitas dengan nama-nama bunga, buah atau tokoh perwayangan.”

Penamaan tersebut merujuk pada panduan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization).
BMKG mencatat 12 siklon sebelum Seroja, di antaranya siklon Anggrek, siklon Bakung dan siklon Cempaka.
Predikat yang melekat pada siklon diharapkan dapat “meredam ketakutan warga dan pada saat yang sama menggerakkan upaya bersama guna meminimalisasi dampaknya.”
Berpotensi Berulang
Siklon Seroja pertama kali teridentifikasi tumbuh di bagian Laut Sawu yang berdekatan dengan Pulau Rote dan Pulau Sabu.
“Disebut ‘tumbuh,’ lantaran pembentukan pusaran badai itu ibarat tanaman bertumbuh. Ia berawal dari bibit,” kata Siswanto.
Bibit siklon Seroja semula dinamai B 99S.
Berdasarkan acuan Badan Meteorologi Dunia, “B” mengindikasikan siklon tersebut berada dalam area tanggung jawab meteorologi Australia.
Sementara “99” menunjukkan nomor identifikasi unik yang diberikan oleh BMKG terhadap siklon tertentu. “S” menyatakan siklon tersebut sebagai siklon tropis.
Rote dan Sabu tercakup dalam gugusan pulau kecil terluar. Selain terhubung dengan Laut Sawu, keduanya langsung terkoneksi dengan Samudra Hindia.
Berada pada pusat pusaran siklon Seroja, “skala kerusakan tak terlalu tinggi di kedua pulau kecil tersebut.”

Di Rai Hawu–sebutan setempat bagi Pulau Sabu yang berarti “tanah orang-orang Hawu”–dampak siklon Seroja menyebabkan dua warga meninggal dan lebih dari 150 bangunan rusak.
Siklon Seroja juga memicu perubahan garis pantai yang ditunjukkan lewat abrasi di tiga desa pesisir pulau itu.
“Pusat pusaran cenderung lebih tenang ketimbang wilayah ekornya,” kata lulusan studi doktoral di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda itu.
Wilayah ekor siklon Seroja berada di pulau-pulau kecil sebelah timur Flores, tak terkecuali Adonara dan Lembata.
Pusaran siklon Seroja melemah pada 10 April. “Mata badainya punah di daratan Australia,” kata Siswanto.
Haruskah Hidup Menjauh dari Sungai?
Empat tahun pascasiklon Seroja, Siswanto merasa perlu mengingatkan potensi bahaya serupa di NTT.
“Saya ini orang fisika,” kata ilmuwan yang lahir dan tumbuh di Ngawi, Jawa Timur itu.
Dalam ilmu fisika, “sekali sesuatu terjadi, ia berpotensi berulang pada masa depan.”
Siswanto secara khusus menyoroti mitigasi di pulau-pulau kecil NTT yang menurutnya “sangat rentan terhadap dampak lintasan siklon.”
Luas daratan dan ketinggian permukaan yang rendah di pulau-pulau kecil “membuatnya lebih lemah ketimbang pulau besar.”
Berkaca dari lahar hujan di Lembata pada empat tahun silam, “isolasi geografis turut memperlambat bantuan serta pemulihan,” pandangan yang disepakati Ambrosia Paulina Peni Lamak.
“Entah bermula sejak kapan,” kata Ani, sapaannya, “tetapi warga di pedesaan Lembata telah turun temurun tinggal di dekat sungai.”
“Sementara sejarah mencatat kebudayaan manusia berkembang di sekitar sungai,” kata Siswanto.
Sungai-sungai di tengah pedesaan menjadi jalur menghilirnya material vulkanis yang pada April 2021 menewaskan puluhan warga Lembata.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah itu sembari memastikan warga tak kehilangan apa-apa?,” kata Ani.
Ia lalu bercerita soal pohon-pohon mimba yang pernah tumbuh tinggi di pekarangan rumah keluarganya.
“Bapa tebang pohon-pohon itu,” katanya, “khawatir angin kencang datang lagi nanti.”
Editor: Ryan Dagur
Laporan ini bagian dari serial liputan memperingati empat tahun siklon Seroja di NTT. Laporan lainnya bisa diakses di sini: Empat Tahun Pascasiklon Seroja: Kawah Membeludak, Desa yang Hancur dan Gerakan Kemanusiaan di Pulau Lembata