Empat Tahun Pascasiklon Seroja: Kawah Membeludak, Desa yang Hancur dan Gerakan Kemanusiaan di Pulau Lembata

Waimatan terkepung lahar hujan. Warga bertahan di bukit sembari menggigil. Ekskavator tertahan di ibu kota

Floresa.co – Hari itu malam Paskah. Hujan lebat mengguyur Desa Waimatan semenjak petang.

Sebagian umat urung berangkat Misa meski sudah sempat bersiap-siap. 

“Tak pernah hujan turun sebegitu deras dan angin bertiup sangat kencang,” kata Kepala Desa Waimatan, Onesimus Sili Betekeneng. 

Ia memilih bertahan di rumah alih-alih pergi ke gereja, “khawatir ada apa-apa di desa lantaran cuaca sungguh tak biasa.”

Stasi Maria Perantara Atawatung merupakan gereja yang terdekat dengan Desa Waimatan. Berada di Desa Lamagute, gereja itu dapat ditempuh sekitar 15 menit berjalan menanjak dari Waimatan. 

Cuaca tak membaik hingga selepas tengah malam. Onesimus mendengar gesekan daun-daun kelapa kian kencang, seolah-olah pohonnya hendak roboh. 

Ia lalu keluar dari rumah sebelum mendengar bunyi “seperti mesin pesawat hendak lepas landas.”

Yang terlintas dalam benaknya saat itu ialah “ada bahaya datang” meski tak mengerti bersumber dari gunung atau laut.

Waimatan tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan Ile Ape Timur. Desa di barat laut Pulau Lembata itu diapit gunung berapi Ile Lewotolok dan Laut Flores. 

Di Desa Waimatan terdapat dua sungai mati. Dalam kegelapan malam, Onesimus melihat kedua sungai yang berhulu di lereng Ile Lewotolok itu secara cepat meluap. 

Di tengah gemuruh angin kencang yang mengiringi hujan lebat pada dini hari itu, ia mendengar teriakan sejumlah warga: “Lahar datang!”

Bersamaan teriakan itu tampak batu-batu besar menggelinding tak tentu arah. 

Sementara permukaan laut bergolak-golak “seolah hendak menerkam desa.”

Onesimus segera meraih ponsel, menelepon satu per satu warga dan meminta mereka lekas naik ke sebuah bukit di tepi desa.

Listrik padam. Hanya berbekal senter dan pakaian yang melekat pada badan, warga bertahan di bukit hingga terang menjelang.

Kawah Membeludak

Pada 4 April 2021 itu sebagian Waimatan terkubur batu-batu besar selagi air berlumpur terus menggenangi perkampungan. 

Banjir bandang di kaki Ile Lewotolok itu menyusul terbentuknya siklon Seroja di tepian kepulauan Nusa Tenggara Timur.

Siklon Seroja meningkatkan intensitas hujan hingga berjam-jam lamanya di wilayah itu.

Pada saat yang sama, aktivitas vulkanis Ile Lewotolok tengah meningkat yang ditandai serangkaian erupsi skala kecil.

“Namanya lahar hujan,” kata Surono tentang batu-batu besar dan air berlumpur yang dalam semalam mengubah Waimatan.

Surono merupakan ahli geologi berbasis di Jakarta. Ia pernah menjabat kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, setelah sebelumnya berposisi kepala Pusat Vulkanologi, Mitigasi dan Bencana Geologi di institusi yang sama. 

“Selama ini kita salah kaprah dengan menyebut lahar panas dan lahar dingin,” katanya.

 “Padahal, secara keilmuan dibagi menjadi lahar letusan dan lahar hujan.”

Lahar letusan merupakan percampuran material padat dan cair yang terlontar dari kawah gunung berapi saat sedang erupsi.

Sementara lahar hujan–termasuk kerikil, kerakal, batu besar maupun endapan awan panas, menuruni lereng bersamaan hujan lebat. Curah hujan tinggi membuat kawah tak lagi mampu menampung material vulkanis, yang lalu membeludak turun.

Kontur Ile Ape Timur sebelum siklon Seroja pada 4 April 2021. (Dokumentasi Anastasia Ika)

Berjalan Merunduk

Dari atas bukit Onesimus melihat desa yang ia pimpin “telah hancur.” 

Di mana-mana hanya tampak batu-batu besar dan lumpur. 

“Saya sadar, kami harus segera menyingkir,” katanya mengingat pagi itu, sesudah semalaman bertahan hidup dengan sebentar-sebentar menggigil.

Ia lalu meminta warga mulai menuruni bukit. Mereka bersama-sama mencari jalan menuju Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.

Menempuh jarak sekitar 20 kilometer, sekitar tujuh jam kemudian mereka tiba di Lewoleba.

Dalam situasi aman, “barangkali 3-4 jam kami sudah sampai di Lewoleba.” 

Pagi itu suasananya berbeda.

Lebih dari 300 warga Waimatan harus melewati batu-batu besar yang terguling di sana-sini. Mereka harus melompati atau berjalan merunduk di bawah batang pohon-pohon tumbang. 

Akses ke Waimatan terputus. Ekskavator tertahan di Lewoleba hingga tiga hari pascabencana.

Sementara “beberapa warga Waimatan saat itu belum ketahuan keberadaannya,” kata Onesimus.

Tak Sebesar Semangka

Kepala Rumah Sakit  Santo Damian Lewoleba, Suster Ludgardis Budiawati CIJ lekas mendengar kabar tentang Waimatan.

Indonesia masih didera pandemi Covid-19 pada April 2021. Tak banyak pasien berkunjung ke RS itu. 

Tak banyak yang mereka rawat, sehingga karyawan RS memiliki “lebih banyak tenaga tersimpan.”

“Lantaran itu pula saya meminta karyawan kami segera melawat ke Waimatan,” kata biarawati Katolik yang lahir dan tumbuh di Benteng Jawa, ibukota Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.

Suster Ludgardis Budiawati CIJ, Kepala RS Santo Damian Lewoleba di Pulau Lembata. (Dokumentasi pribadi)

Pembagian tugas pun diatur. Karyawan laki-laki lebih dulu berangkat, membantu evakuasi mandiri. Sementara karyawan perempuan memasak untuk kemudian dibawa ke desa itu.

Membonceng sepeda motor, Ludgardis berangkat ke Waimatan. Ia membawa serta plastik-plastik berisi makanan.

Sepeda motor yang ia tumpangi berhenti di satu titik, yang lalu memaksanya berjalan kaki.

“Akses terputus. Batu besar dan batang pohon teronggok di jalan,” kata Ludgardis membenarkan cerita Onesimus.

Di Waimatan, “situasi sungguh memilukan.”

“Batu-batu yang terguling itu bukannya sebesar semangka melainkan setinggi rumah,” kata biarawati yang sejak berusia 34 tahun mulai memimpin Rumah Sakit Damian.

Para lelaki bahu-membahu menggeser batu, berusaha menemukan warga yang hingga siang itu belum ditemukan. 

Evakuasi mandiri yang melibatkan warga dan sukarelawan dari pelbagai tempat dan organisasi berakhir hingga ekskavator memasuki desa.

Sebanyak 26 warga Waimatan meninggal. Delapan orang, tiga di antaranya adik-beradik perempuan, dinyatakan hilang.

Setara dalam Kemanusiaan

Sebagian warga Waimatan tinggal di pos-pos pengungsian di Lewoleba hingga beberapa pekan pascabencana.

Sejumlah lainnya memilih menumpang di rumah kerabat. Mereka mengkhawatirkan potensi penularan infeksi di pos pengungsian. Terlebih lagi saat itu sedang marak kasus Covid-19.

Tak lama sesudah mendengar kabar itu, Ludgardis memutuskan melawat mereka yang tinggal di rumah keluarga.

Ia juga mengajak sejumlah sukarelawan memberikan pendampingan psikologis bagi korban. 

“Saya paham mereka pasti terluka. Tak hanya yang tampak secara fisik, melainkan juga mental,” kata Ludgardis.

Luka yang tak tampak secara kasatmata itu juga ia temukan pada sejumlah penderita kusta. 

Tak hanya berobat, beberapa akhirnya tinggal di bangsal-bangsal rumah sakit itu. 

Stefania Bota yang kini berusia 50 tahun salah satunya. 

“Saya di sini sejak 1990,” kata Stefania,  “sejak masuk sini saya tidak pernah pulang.” 

Stefania berasal dari Adonara, pulau kecil di sebelah barat Lembata. 

Ia bercerita para tetangganya kerap menutup pintu bila melihatnya keluar rumah. Beberapa di antara mereka menghindari bekas pijakan kaki Stefania.

“Bagi mereka, saya menjijikkan,” katanya.

Sementara di Rumah Sakit Santo Damian Lewoleba, “saya merasa hidup saya berarti.”

Di belakang rumah sakit itu terdapat pemakaman. Serasah guguran pohon berkayu menyelimuti tanahnya yang kerap kering. 

Di sana bersemayam tubuh imam dan biarawati Katolik, serta para penderita kusta yang tak kembali pulang ke kampung halaman.

Tak ada perbedaan berarti pada setiap makam. Masing-masing ditandai sebuah salib kayu atau besi. 

“Kita semua setara,” kata Ludgardis, “termasuk dalam soal kemanusiaan.”

Permakaman di belakang RS Santo Damian Lewoleba di Pulau Lembata. (Dokumentasi Anastasia Ika)

Ia sempat mengingat kembali malam Paskah pada April 2021. “Kami mengikuti Misa dengan seluruh kaki terbenam air,” katanya. 

Saat tergenang air itu pula Ludgardis berpikir soal warga di pedesaan Lembata. 

“Apakah mereka dapat mengikuti Misa?,” katanya membatin, yang terjawab esok paginya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, Anda bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA