Gelar Unjuk Rasa, Mahasiswa Tuntut Polres Kupang Serius Tangani Kasus Pemerkosaan Anak yang Dilaporkan Enam Bulan Lalu

Merespons desakan mahasiswa, Polres Kupang janji menangkap pelaku dalam satu pekan ke depan

Floresa.co – Puluhan massa dari berbagai organisasi mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan kantor Polres Kupang, menuntut korps baju coklat itu serius menangani kasus pemerkosaan seorang anak di bawah umur yang telah dilaporkan enam bulan lalu.

Aksi pada 15 April itu diinisiasi oleh Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu, Perhimpunan Mahasiswa Timor, Sahabat Alam NTT dan Front Mahasiswa Nasional Cabang NTT. 

Di depan gerbang kantor Polres Kupang, mereka membawa spanduk bertuliskan “Lawan Kekerasan terhadap Anak, Stop Kekerasan Terhadap Anak,” “Kami Bersama Korban,” dan “Tegakan Keadilan.”

Dalam orasinya, koordinator lapangan aliansi Valentino Ola menegaskan bahwa, mereka tidak akan berhenti berjuang hingga “keadilan ditegakkan bagi korban” yang berusia 15 tahun. 

Ia mengkritik polisi yang dinilai gagal melindungi korban yang sudah melahirkan pada 7 Maret.

“Kasus ini tidak boleh dibiarkan begitu saja karena setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dan keadilan,” katanya.

Kasus ini dilaporkan ke Polres Kupang pada 11 November 2024, namun keluarga baru dipanggil untuk dimintai keterangan pada 29 November.

Karena hingga Februari 2025 belum mendapat informasi lebih lanjut, mereka mengadukan kasus ke Ombudsman Perwakilan NTT.

Polres Kupang sempat memanggil pelaku EB untuk permintaan klarifikasi. 

Ia terus mangkir hingga dikabarkan kabur akhir bulan lalu saat hendak dijemput polisi di kediamannya di Desa Noelmina, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang.

DR, ibu korban, yang turut hadir dalam aksi unjuk rasa itu mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi anaknya yang belum sepenuhnya pulih setelah operasi sesar saat melahirkan.

“Setiap hari, kami berdoa agar dia bisa sembuh dan mendapatkan kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik,” katanya. 

Ia mengkritik polisi yang dinilai tidak memiliki empati karena pelaku masih berkeliaran. 

“Seharusnya (pelaku) ditangkap dan diadili, tetapi hingga kini kasus ini dibiarkan tanpa penyelesaian yang jelas,” katanya.

Asten Bait, Ketua Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu menambahkan, “jika polisi bekerja dengan profesional, tidak mungkin kita melakukan aksi di sini.”

Ia juga mengecam polisi yang “tidak menghargai kedatangan kita sebagai warga yang mengemis meminta perlindungan,” menyoroti beberapa anggota polisi yang duduk di hadapan massa.

“Sudah dibayar dengan pajak yang berasal dari uang rakyat, malah kita yang harus datang mengingatkan mereka. Ini kan konyol namanya,” katanya.

Ia menuding polisi “bersekongkol dengan pelaku, sehingga membiarkannya kabur.”

“Jika mereka tidak bersengkongkol, maka pelaku pasti sudah ditangkap,” katanya.

Salah satu orator perempuan, Tiara Mau mempertanyakan kapasitas penyidik perempuan yang tidak becus menangani kasus ini.

Ketidakbecusan itu, menurut Tiara, “seolah-olah menjadikan keadilan sebagai komoditas yang hanya bisa dibeli dengan uang.”

“Mewakili kaum perempuan, saya menuntut keadilan kepada Kapolres Kupang untuk menindaklanjuti sesegera mungkin kasus ini agar menemukan titik terang,” katanya.

Audiensi dengan Polres Kupang

Setelah melalui proses negosiasi dengan beberapa anggota polisi, massa diizinkan  memasuki halaman Polres Kupang pada pukul 11.40 Wita untuk audiensi.

Sebelumnya, hanya enam orang yang diperbolehkan masuk, namun desakan dari massa aksi mendorong polisi mengubah keputusan tersebut, membiarkan mereka semua masuk. 

Di antara sejumlah wartawan yang hadir, jurnalis Floresa sempat ditahan, lalu isi tas diperiksa.

Seorang polisi berkata, tindakan tersebut “sudah sesuai dengan prosedur internal.” 

Ketika diminta penjelasan mengenai aturan tersebut, ia hanya diam, sebelum kemudian memperbolehkan Floresa meliput audiensi.

Dalam audiensi itu, massa diterima Kapolres, AKBP Rudy Junus Jacob Ledo; Kepala Unit Perlindungan Anak, Ipda Mega O. Wun dan beberapa polisi lainnya.

Massa tengah berdialog dengan Kapolres Kupang, AKBP Rudy Junus Jacob Ledo saat aksi unjuk rasa pada 15 April 2025. (Dokumentasi Floresa).

Di hadapan mereka, Asten Bait mempertanyakan alasan polisi yang belum juga menangkap pelaku.

Ia juga menduga bahwa kelambanan proses hukum ini menunjukkan “adanya persekongkolan antara Polres Kupang dan pelaku,” sehingga “pelaku belum dijemput paksa.”

Menanggapi pernyataan Asten, Rudy menjelaskan bahwa pemerintah serius menangani kasus pidana terkait anak, demikianpun kepolisian “yang tidak mungkin bermain-main.”

Soal pelaku yang belum ditangkap, ia berkata, “ada proses hukum yang harus dilalui,” meskipun ia tidak merinci proses tersebut. 

Ia juga mengklaim bukan proses hukumnya yang lambat, tetapi  “proses pencarian” terhadap pelaku.

Ia berkata, pihaknya telah mengirimkan tim untuk bergerak ke Kabupaten Timor Tengah Selatan, hal yang tidak perlu disampaikan kepada pihak keluarga.

Rudy juga menyatakan, pihaknya telah menjalankan amanah perlindungan anak dengan memberikan pendampingan khusus terhadap korban dalam proses pemulihan.

Ia kemudian mengklaim, “menangkap pelaku bukanlah satu-satunya” bentuk  perlindungan terhadap korban.

Ipda Mega O. Wun menambahkan, pihaknya telah menjalin koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) “sebagai bentuk kerja sama dengan pemerintah.”

Namun, pernyataan Rudy dan Mega dibantah oleh salah satu keluarga korban, Imanuel Tampani.

Ia menegaskan bahwa permohonan perlindungan kepada LPSK merupakan “hasil kerja keras keluarga sendiri bersama dengan bantuan teman-teman jaringan organisasi.”

Imanuel menjelaskan, setelah melangsungkan pertemuan via Zoom dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 14 April sore, mereka diarahkan untuk mengajukan secara mandiri permohonan perlindungan ke LPSK.

Upaya itu, kata dia, “tanpa bantuan kepolisian maupun pemerintah.”

Rudy juga sempat menyebutkan bahwa tes DNA diperlukan untuk membuktikan bahwa pelaku adalah ayah dari anak yang telah dilahirkan.

Menanggapi hal itu, Valentino Ola, Ketua Front Mahasiswa Nasional Cabang Kupang menyebutnya sebagai “cara berpikir yang keliru.” 

“Mana mungkin, dalam hal ini penyidik belum mendapat keterangan dari pelaku, tetapi di sisi lain menyatakan hendak melakukan tes DNA?,” katanya.

Valentino menegaskan bahwa tes DNA seharusnya hanya dilakukan sebagai “pilihan terakhir,” jika penyidik menemukan ketidaksesuaian antara keterangan yang diperoleh dari korban dan pelaku.

Janji Tangkap Pelaku Secepatnya

Di akhir audiensi, Rudy meminta kepada massa untuk memberikan waktu tambahan untuk menangkap pelaku.

Menanggapi pertanyaan Valentino mengenai waktu yang dibutuhkan untuk menangkap pelaku, Rudy berkata, “secepatnya dalam waktu satu minggu” ke depan.

Ia juga menegaskan bahwa jika selama proses ini keluarga masih merasa pihaknya tidak profesional, mereka dipersilakan untuk melaporkan kinerja Polres Kupang ke Polda NTT.

Perdebatan yang berlangsung selama dua jam itu ditutup dengan penyerahan poin-poin tuntutan kepada Kapolres.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA