Floresa.co – Keluarga korban pemerkosaan anak di bawah umur di Kabupaten Kupang mempertanyakan sikap diam polisi karena tak kunjung menangkap pelaku yang lebih dari sepekan dilaporkan kabur.
EB, lansia di Kecamatan Takari yang memerkosa seorang anak berusia 15 tahun kabur dari rumah ketika penyidik hendak menjemputnya pada 26 Maret.
Imanuel Tampani, salah satu keluarga korban mengaku heran sekaligus kecewa dengan polisi karena lamban menangkap pelaku.
Hingga saat ini “belum ada perkembangan dari kepolisian,” kendati “sudah lebih dari sepekan pelaku berstatus buron.”
“Sangat disayangkan jika aparat penegak hukum membutuhkan waktu begitu lama hanya untuk memburu satu orang pelaku,” katanya kepada Floresa pada 7 April.
Imanuel menilai sikap diam dan minimnya informasi dari polisi “semakin memperbesar kecurigaan kami bahwa penanganan kasus ini tidak serius.”
Sejak pelaku kabur “penyidik tidak pernah menghubungi atau memberikan informasi terkait perkembangan kasus kepada kami.”
“Apakah kasus ini sengaja dibiarkan berlarut-larut? Ini menyangkut masa depan dan keadilan bagi anak kecil, korban pemerkosaan, bukan perkara main-main,” katanya.
Imanuel meminta polisi agar “lebih terbuka kepada publik soal perkembangan kasus ini,” sekaligus menjelaskan “apa saja kendala di lapangan sehingga pelaku belum juga ditangkap.”
Ia berharap, Polres Kupang tidak tinggal diam dan segera membuktikan kepada publik bahwa “mereka benar-benar serius menuntaskan kasus ini.”
“Jangan sampai nanti publik berpikir polisi sengaja memperlambat penangkapan pelaku. Kami cuma mau lihat polisi betul-betul kerja, bukan diam seperti sekarang,” katanya.
Imanuel juga mendesak Kapolda NTT, Irjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga agar “turun tangan,” sembari menyebut “jangan tunggu korban dan keluarga bergerak sendiri untuk cari keadilan.”
“Ini tugas negara melalui polisi untuk melindungi korban, bukan malah menelantarkan dengan sikap diam seperti ini,” katanya.
Floresa meminta tanggapan Kepala Seksi Humas Polres Kupang, Simeon Sion pada 7 April.
Dalam percakapan via WhatsApp itu, ia hanya berkata “jangan tanya saya soal SP2HP [Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan].”
Ia juga mengarahkan Floresa untuk bertanya ke keluarga korban, “apakah sudah menerima SP2HP dari penyidik atau belum?”
Floresa kembali meminta tanggapan Sion pada 8 April.
Namun, ia tidak merespons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua dan berwarna biru, tanda telah dibaca.
Pada 7 dan 8 April, Floresa juga meminta tanggapan Ipda Mega O. Wun, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Kupang yang juga merupakan penyidik utama dalam penanganan kasus ini.
Namun, ia tak merespons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.
Informasi tentang kaburnya EB tertuang dalam SP2HP bernomor 90/III/RES.1.24/2025/Satreskrim yang dikeluarkan Polres Kupang pada 29 Maret.
Dalam SP2HP itu, yang salinannya diperoleh Floresa, disebutkan bahwa Polres Kupang telah menerbitkan surat panggilan kedua kepada EB pada 24 Maret.
Namun, ia “tidak datang menghadap, tanpa keterangan.”
Merespons hal itu, dua hari kemudian, Polres Kupang menerbitkan surat perintah untuk membawa EB “secara paksa guna memberikan keterangan.”
Namun, ketika tim penyidik hendak menjemputnya, EB tidak berada di kediamannya.
Karena itu, Polres Kupang menugaskan tim Unit Reserse Mobil untuk mencari pelaku. Unit itu bertugas menyelidiki dan menangkap pelaku tindak pidana, termasuk mengejar pelaku yang kabur.
Dalam SP2HP itu, polisi mengklaim “telah berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat terkait informasi keberadaan pelaku.”
Polisi juga telah meminta keluarga korban agar segera menghubungi penyidik bila mengetahui keberadaan pelaku.
EB dilaporkan berulang kali melancarkan aksinya hingga korban hamil dan telah melahirkan di RSUD S.K. Lerik, Kota Kupang pada 7 Maret.
Berdasarkan keputusan keluarga, korban melahirkan dengan operasi sesar — prosedur pembedahan untuk mengeluarkan bayi melalui sayatan pada dinding perut dan rahim.
Operasi itu terpaksa dilakukan mengingat “korban masih berada di bawah umur yang menurut saran dokter tidak ideal untuk melahirkan secara normal,” kata Imanuel Tampani.
Ia mengaku perwakilan dari Polres Kupang sempat mendatangi rumah sakit pada 10 Maret untuk memastikan keberadaan korban. Namun, pada hari yang sama, korban bersama keluarganya telah kembali ke rumah.
Kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan usai penyidik melakukan gelar perkara pada 5 Maret.
Namun, Imanuel menilai langkah itu “bukan atas kesadaran untuk segera menuntaskan persoalan,” tetapi karena ada desakan keluarga korban dan Ombudsman NTT setelah “kami membuat pengaduan bersama dengan kawan-kawan media yang selalu mengawal kasus ini.”
Laporan polisi terkait kasus ini dibuat pada 11 November 2024. Keluarga korban baru dipanggil lagi untuk dimintai keterangan saksi dan korban oleh penyelidik pada 29 November.
Karena itu, pada 9 Januari mereka mendatangi lagi Unit PPA Polres Kupang untuk menanyakan perkembangan kasus.
Pada 23 Februari, keluarga korban kemudian mengadu ke Ombudsman NTT melaporkan kelambanan penanganan oleh polisi.
Editor: Herry Kabut