Floresa.co – Puluhan massa di Atambua, Kabupaten Belu, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Belu Peduli Hukum menggelar aksi aksi unjuk rasa di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) pada Selasa, 26 April 2016.
Mereka menuntut agar hakim memutus bebas tiga lansia dan satu penyandang cacat mental yang didakwa terkait kasus pengeroyokan.
“Kami mendesak agar Pengadilan Negeri Atambua segera memutus bebas kakek nenek dan penyandang cacat mental,” kata mereka dalam penyataan yang diterima Floresa.co.
“Sebab kami menilai, keempat terdakwa diduga merupakan korban rekayasa hukum oleh sejumlah oknum polisi dan jaksa.”
Empat terdakwa, masing-masing Robertus Lesu (70), Anna Lan Moy (70), Yuliana Moy (66) dan Alexius Fahi (32) yang menderita cacat mental ditahan di PN Atambua. Mereka didakwa melanggar pasal 170 (ayat 1) KUHP jo pasal 351 jo pasal 55, yakni di depan umum dan secara bersama-sama melakukan tindak pidana kekerasan (pengeroyokan) terhadap korban Maria Goreti Horak sebagai buntut dari persoalan sengketa tanah.
Maria Goreti merupakan isteri salah seorang polisi di Atambua.
BACA: Di Belu, Lansia dan Penyandang Cacat Mental Dianggap Jadi Korban Mafia Peradilan
Namun, forum menilai, keempat terdakwa diduga merupakan korban rekayasa perkara hasil konspirasi oknum penyidik dan jaksa.
Vicktor Nahak, salah satu perwakilan dari forum mengatakan, mereka meminta agar dalam proses persidangan hingga putusan, hakim bertindak profesional, obyektif dan netral sesuai dengan fakta dan peristiwa hukum.
“Hakim tidak boleh berpihak, apalagi kepada oknum-oknum yang diduga telah merekayasa kasus ini,” katanya. “Fakta dan peristiwa hukum harus menjadi acuan hakim dalam memutuskan perkara ini.”
Massa aksi diterima oleh salah satu pejabat perwakilan PN Atambua, di man ia menyatakan, masukan dari forum menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja mereka.
Dari PN Atambua, massa bergerak menuju Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Belu.
BACA: Hakim PN Belu Diminta Obyektif Tangani Perkara Terdakwa Lansia dan Cacat Mental
Mereka menuding BPN sebagai biang kerok munculnya berbagai konflik agraria yang berujung pada tindak pidana.
Forum menduga ada mafia tanah yang bersarang di BPN, sehingga muncul banyak sertifikat tanah bermasalah, termasuk tanah-tanah suku yang diklaim oleh orang-orang tertentu sebagai hak milik pribadi.
“Perkara keempat terdakwa merupakan salah satu contoh konflik agraria tanah suku yang diklaim oleh seorang oknum polisi (suami korban Maria Goreti Horak) menjadi hak milik pribadi,” kata perwakilan forum, Enzo Esprito.
Ia menegaskan, proses penerbitan sertifikat tanah harus mengikuti prosedur sesuai aturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan hak ulayat.
“Jangan ada mafia tanah,” kayanya.
Merespon pernyataan forum, Kepala BPN Naintje Fanggidae menyatakan, mereka siap memfasilitasi dan memediasi semua pihak yang terlibat dalam konflik agraria.
BACA: Terkait Dugaan Mafia Peradilan, DPRD Belu Bakal Panggil Polisi, Jaksa dan Kepala PN
“Kami pun siap memproses petugas yang terbukti bersalah. Jika penerbitan sertifikat tidak sesuai prosedur, maka kami pun siap membatalkan sertifikat dan proses hukum”, tegasnya. (Ari D/ARL/Floresa)