Floresa.co – Unjuk rasa para aktivis PMKRI Ruteng pada Sabtu, 9 Desember 2017 diwarnai aksi kekerasan, dengan pelakunya adalah oknum polisi di Polres Manggarai.
Bukannya mengamankan aksi itu, yang agendanya menyerukan agar kepolisian memproses sejumlah kasus dugaan korupsi, para demonstran malah dipukul.
Dalam video milik Floresa.co, seorang polisi berpakaian preman tampak menaiki mobil tempat mahasiswa berorasi. Selain berusaha merampas microphone, ia kelihatan mendaratkan pukulan di tubuh para mahasiswa.
Sementara itu, ada oknum lain yang mencekik mahasiswa sambil melancarkan umpatan. “Saya makan kau bulat-bulat”, “Mana itu anjing tadi,” demikian beberapa kutipan umpatan itu.
Tindakan oknum-oknum itu mendapat kecaman keras, termasuk dari para alumni PMKRI, karena polisi dianggap tidak memahami benar tugas mereka dalam mengamankan aksi unjuk rasa.
Kepolisian memang sudah punya mekanisme yang jelas, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006.
Pasal 7 ayat 1 bagian a dan b dalam Perkap tersebut secara terang melarang mereka bersikap arogan dan melakukan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.
BACA: Sebut Polisi Lakukan Pungli, Aktivis PMKRI Ruteng Dianiaya
Bagian e dari ayat itu juga melarang polisi “keluar dari ikatan satuan atau formasi dan menyerang para aktivis.”
Sementara terkait larangan mencaci maki, diatur dalam bagian g yang tidak memperbolehkan mereka“mengeluarkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, perbuatan asusila dan memaki-maki pengunjuk rasa”.
Ovan Wangkut, sekertaris jenderal Aliansi Mahasiswa Manggarai (Amang) menyebut aksi brutal polisi merupakan cerminan dari lemahnya pemahaman terhadap Protab itu.
“Tampaknya mereka perlu membacanya lagi agar tahu dengan baik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh mereka lakukan,” katanya.
“Tugas mereka, hanya mengamankan aksi, bukannya mengambil tindakan berlebihan,” tambahnya.
Senada dengan itu, Petrus Selestinus, kordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menyebut, aksi para oknum itu sangat disayangkan, mengingat para aktivis sedang menyuarakan persoalan publik.
Ia menambahkan, menarik dianalisis bahwa gaya para polisi di Ruteng juga di daerah lainnya di NTT tampak berbeda dengan yang terjadi di kota-kota lain, yang ia sebut sangat santun dan mengikuti Protab.
“Mereka sangat hati-hati dalam mengamankan aksi unjuk rasa dan menghindari adanya kericuhan. Di Ruteng, yang terjadi sebaliknya,” katanya.
“Ini menunjukkan profesionalisme mereka sangat layak diragukan,” lanjut Petrus.
Performa oknum polisi di Ruteng, menurut dia, kemudian membenarkan anggapan selama ini bahwa personil Polri yang ditempatkan di NTT memiliki kualitas rendah, berbeda dengan di provinsi lain.
Karena itu, bagi Petrus, adalah pekerjaan rumah yang mendesak bagi institusi Polri di NTT untuk mengubah perilaku para anggotanya, demi meningkatkan profesionalisme mereka.
Kapolres Manggarai, Marselis Sarimin belum melayani permintaan Floresa.co untuk menanggapi topik ini.
Namun, pada hari ini, Senin 11 Desember, unit Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Manggarai mengambil keterangan dari aktivis PMKRI terkait insiden itu.
ARL/Floresa