Floresa.co – Kisah seputar sengketa lahan milik di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) yang diduga dicaplok seorang warga bernama Haji Mohamad Adam Djudje membuka fakta lain.
Publik dikejutkan dengan munculnya dua tokoh nasional di dalam pusaran kasus lahan seluas 30 hektar tersebut yang terletak di Toroh Lemma Batu Kallo/Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo.
Keduanya adalah Gories Mere, mantan Komandan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror yang kini menjabat Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan dan Sukarni Ilyas atau Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TvOne sekaligus Presiden Indonesian Lawyers Club.
Dua nama itu disebut oleh Gabriel Mahal di dalam tulisan berjudul “Peradilan Opini Bagian 3” yang diunggah di akun Facebook-nya.
Sebagaimana diberitakan Floresa.co sebelumnya, Gabriel Mahal dan rekannya Muhammad Achyar Abdurahman mengaku diri sebagai kuasa hukum Djudje.
Nama Gories dan Karni masing-masing disebut sebanyak tiga kali yakni pada paragraf keempat, kesembilan dan kesepuluh dari tulisan Gabriel sepanjang 14 paragraf.
Pada paragraf keempat, Gabriel hanya menceritakan upaya Achyar ketika mengajukan berkas pensertifikatan tanah atas nama mereka berdua, Gories dan Karni.
Diceritakan bahwa staf Achyar bernama Is bertemu staf kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat bernama Kons Lalu. Upaya Is saat itu gagal lantaran Kons mengatakan bahwa lahan yang hendak diajukan permohonan pensertifikatan itu sudah dimiliki pihak lain.
BACA JUGA:
-
“Warga di Labuan Bajo Diduga Caplok Lahan 30 Ha Milik Pemda”
-
“Setelah Klaim, Djudje Diduga Jual Lahan Sengketa 30 Ha.”
-
Soal Tanah 30 Ha di Labuan Bajo, Ini Penjelasan Kuasa Hukum Djudje
-
Kuasa Hukum Djudje Beberapa Kali Ajukan Sertifikat ke BPN Mabar
Selanjutnya pada alinea kesembilan, Gabriel menceritakan bahwa Achyar, diminta kliennya untuk mengambil success fee berupa bagian dari lahan tersebut. Luasnya sebesar dua hektar.
Pada alinea tersebut, Gabriel juga menceritakan bahwa Achyar berunding dengan dirinya sebagai penasehat spiritual. Ia mengusulkan agar Goris dan Karni yang telah mereka angkat sebagai orang Manggarai, mesti memiliki tanah di Manggarai.
“Saya usulkan begini: Kraeng Gories dan Kraeng Karni itu sudah kita angkat jadi orang Manggarai di keuskupan Anam. Dan mestinya sebagai orang Manggarai mereka punya tanah di Manggarai,” tulis Gabriel.
Terkait Keuskupan Anam ini, belum diketahui persis maksudnya karena di Manggarai hanya ada satu Keuskupan yakni Keuskupan Ruteng.
Selanjutnya pada alinea kesepuluh, Gabriel menceritakan tentang pembagian tanah yang mereka peroleh dari success fee itu. Achyar mendapatkan bagian seluas 8.000 m2. Sedangkan dirinya bersama Gories dan Karni mendapatkan bagian masing-masing seluas 4.000 m2.
“Maka, marilah kita membagi success fee berupa tanah itu. Achyar yang bolak balik Jakarta – Labuan Bajo urus hak para ahli waris itu dengan biaya sendiri dapat 8.000 m2. Saya, Kraeng Gories, Kraeng Karni, masing-masing 4.000 m2. Nah, inilah yang diajukan ke BPN untuk pensertifikatan,” jelas Gabriel.
Dalam tulisannya, Gabriel tidak menjelaskan secara persis kaitan lahan yang mereka bagi-bagi itu yang totalnya mencapai 20.000 m2 atau dua hektar, yang diklaimnya sebagai milik Sembilan Ahli Waris Alm. Abdullah Tengku Daeng Malewa dengan urusan kasus Djudje yang mereka tangani.
Yang jelas, menurut penjelasan BPN Mabar, lahan yang diklaim Djudje dan dimintai sertifikat oleh Achyar adalah lahan Pemda Mabar yang diperoleh dari Fungsionaris Adat Nggorang pada 1997.
Kepada Floresa.co, Kepala Kantor BPN Manggarai Barat, Made Anom membenarkan bahwa Goris dan Karni adalah dua dari empat pihak yang meminta pembuatan sertifikat.
Namun, kata dia, BPN menolak permohonan itu, setelah melakukan pengecekan ke lapangan.
“Kita ke lokasi untuk ploting. Ternyata lokasinya masih sama dengan lahan Pemda. Tidak mungkin permohonan di atas objek yang sama, kami terima,” katanya.
“Dengan sendirinya, kami tidak bisa melanjutkan (proses terhadap permohonan itu),” lanjut Made.
Diduga Gratifikasi
Munculnya nama Goris yang tengah menjadi pejabat negara sekaligus orang dekat Presiden Joko Widodo itu menuai perhatian.
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng melalui Presidium Gerakan Kemasyarakatan, Servasius Jemorang dan Sekretaris Jenderal Engelbertus Apri Mantur mencium aroma gratifikasi di balik pemberian itu.
“Pemberian lahan seluas 4.000 m2 kepada pak Gorries Mere sebagaimana disampaikan advokat Gabriel Mahal itu patut diduga sebagai bentuk gratifikasi. KPK harus telusuri,” kata Servasius.
Mereka menduga pihak kuasa hukum memberikan lahan secara gratis kepada Gories agar dapat memanfaatkan nama besar dan pengaruhnya untuk memuluskan kepentingan mereka dalam konflik lahan tersebut.
“Kan lahan itu jadi sengketa. Mungkin kuasa hukum butuh bekingan orang-orang berpengaruh seperti Gorries Mere yang kini menjabat Staf Khusus Presiden. Mungkin ya. Ini kan kita menduga. Dengan memanfaatkan nama besar dan pengaruh orang sekelas Gories Mere, bisa saja urusannya jadi lancar,” tambah Apri Mantur.
Mereka berharap, kuasa hukum berkata jujur. Demikian pula pihak-pihak yang disebut kuasa hukum telah mendapatkan pemberian lahan tersebut.
“Jika benar itu pemberian secara cuma-cuma, mohon penegak hukum telusuri. Jangan-jangan itu gratifikasi,” imbuh Apri.
FND/EYS/ARFloresa