Labuan Bajo, Floresa.co – Penangkapan penyelundup Komodo di Jawa Timur (Jatim) pada Rabu, 27 Maret 2019 makin menegaskan bahwa NTT, dan Taman Nasional Komodo khususnya, bukanlah satu-satunya habitat komodo saat ini.
Polisi mengatakan, binatang purba itu dijual ke Asia Tenggara.
Tetapi, Polisi belum menjelaskan apakah sebelumnya sudah ada komodo yang dijual sindikat itu ke negara lain, tapi yang jelas cerita bahwa komodo sudah ada di belahan dunia lain bukanlah hal baru.
Jumlahnya, seperti diiformasikan dalam buku “Kuasa Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik: Analisis Kontra-Hegemoni Dengan Studi Kasus di Manggarai Raya, NTT” karya Cypri Jehan Paju Dale (2013), bahkan mencapai kisaran 500 lebih atau setara 20 persen lebih dari total populasi komodo saat ini yang mencapai 2500.
Saat ini, komodo dapat ditemukan di Singapura, Jepang, Belanda, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Ceko, Hongaria, Brazil, Spanyol dan Afrika Selatan.
Pada tahun 2009, satwa karnivora yang oleh penduduk setempat menyebutnya sebagai Orah itu dimiliki dan dikelola oleh berbagai institusi seperti pusat konservasi, kebun binatang dan pusat penelitian; dengan rincian 13 institusi di Eropa, 40 di Amerika, dua di Australia, dan dua institusi di Afrika.
“Tidak ada data resmi mengenai total jumlah satwa komodo di luar Indoneisa, namun dari kepingan informasi yang dihimpun untuk penelitian ini, jumlahnya mencapai 500 ekor dan terus meningkat dari tahun ke tahun,” tulisnya.
Dalam menghimpun informasi ini, metode yang digunakan Cypri ialah dengan menelusuri website dari institusi-institusi yang mengelola komodo, laporan media internasional, dan data-data riset.
Dari beberapa tempat penyebaran komodo, jumlah terbesar ada di Amerika Serikat yang menyebar di 40 kebun binatang dan terus dikembangbiakkan. Sementara di Eropa, yakni di Jerman, Komodo dikembangbiakkan dengan teknologi inkubator.
Selain itu, komodo juga menjadi proyek penelitian, baik untuk mamahami satwa komodo itu sendiri maupun penelitian sains lanjutan seperti di bidang biomedik; antara lain untuk menyelidiki manfaat dari liur komodo untuk obat masa depan.
Di Florida misalnya, San Diego University yang mengembangkan secara khusus divisi penelitian komodo.
BACA JUGA: Peminggiran Atas Nama Konservasi: Catatan Tentang Pariwisata di Komodo
Lebih dari itu, di tempat-tempat itu, komodo dikembangbiakkan dan kemudian disebarkan ke kebun-kebun binatang lain.
“Komodo yang ada di Amsterdam, Belanda, misalnya, merupakan keturunan dari komodo di Washington DC, Amerika Serikat dan merupakan hasil transaksi antara otoritas kedua negara itu,” papar Cypri.
“Komodo ini berkembang pesat di seluruh Eropa, dari hanya 17 ekor pada tahun 2000 menjadi 42 pada tahun 2009,” tambahnya.
Sementara, di Indonesia, komodo juga disebarluaskan di luar beberapa Taman Nasional seperti di Kebun Binatang Surabaya, Jakarta, Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta, dan Taman Safari Bogor.
“Ironisnya, berbeda dengan negara lain, komodo di berbagai kebun binatang di Indonesia hanya dijadikan binatang tontonan dan justru tidak terawat dengan baik.”
“Kasus kematian beruntun satwa komodo di Kebun Binatang Surabaya pada tahun 2011 dan 2012, persis di tengah-tengah promosi komodo sebagai tujuh keajaiban dunia,” kata Cypri.
Lalu, di TNK sendiri, populasi komodo masih stabil, sekitar 2500. Namun, di sejumlah pulau dalam kawasan itu, seperti Pulau Padar, komodo sudah punah, demikian diakui otoritas TNK.
“Dengan demikian, di dalam TNK, hanya tersisa di Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulu Gili Motang,” jelasnya.
Lalu, di tempat lain yakni di Watu Payung, Manggarai Timur terdapat juga komodo yang oleh warga setempat menyebutnya Mbo’u. Namun, tubuhnya relatif kecil dari komodo di dalam kawasan TNK.
“Sayangnya tidak ada kebijakan dan tindakan apa pun dari pemerintah utnuk melindungi dan melestarikan komodo ini,” katanya.
Lebih lanjut, dalam laporan itu, Cypri juga mengatakan bahwa gelombang pemindahan komodo dari luar habitat aslinya di NTT sudah terjadi pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Pada tahun 1926 misalnya, komodo diangkut ke Amerika Serikat dan ke Inggris pada tahun 1927.
BACA JUGA: Penyelundupan Komodo ke Luar Negeri: Satu Ekor Dijual Rp 500 Juta
Lalu, pada tahun 2011, lewat pola yang sama, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan memutuskan untuk memindahkan komodo ke Bali dalam jumlah besar dengan alasan demi kelestarian.
“Berbagai komponen masyarakat NTT menentang rencana kontroversi itu. Namun, upaya itu tentu saja sudah terlambat, karena pengembangbiakan komodo telah dilangsungkan secara sistematis di banyak tempat, serta penyebarluasannya berada di luar kontrol kehendak publik di NTT,” tegas Cypri.
Menurutnya, data-data tersebut berlawanan dengan pandangan umum bahwa komodo adalah milik Indonesia atau NTT. Tetapi, tersebar di seluruh dunia menjadi milik banyak negara dan bahkan berada di tangan bisnis turisme, konservasi dan riset negara lain.
“Di tangan mereka komodo dikelola secara jauh lebih profesional dan efektif untuk kepentingan sains, bisnis, dan reproduksi. Dan pemerintah Indonesia, apalagi rakyat Komodo dan NTT pada umumnya tidak punya kuasa apapun untuk mengontrol arah pemanfaatan komodo itu sekarang dan di masa depan,” tulisnya.
BACA JUGA: Desa Papagarang dan Ironi Zonasi di Taman Nasional Komodo
Cypri juga menjelaskan, komodo telah mengalami globalisasi, bukan saja dalam arti “Komodo go Global” karena tersebar ke seluruh dunia, tetapi juga keberadaaan atau eksistensinya telah tercerabut dari konteks ekologi, ekonomi dan politik lokal dan telah menjadi komoditi yang diperebutkan, dikuasai, dan dieksploitasi untuk akumulasi untung dalam bentuk dan atas nama konservasi, turisme, penelitian dan bisnis.
“Sebagaimana dengan aset-aset atau sumber daya – sumber daya lainya dalam pusaran globalisasi, klaim kepemilikan kolektif oleh masyarakat setempat seringkali kehilangan makna karena sumber daya-sumber daya itu telah menjadi komoditas yang diperebutkan, dikuasi dan dikembangkan lintas batas wilayah dan negara,” paparnya.
ARJ/Floresa