Floresa.co – Proses hukum kasus dugaan penggelapan aset tanah pemerintah di Kerangan, Manggarai Barat masih terus berlangsung.
Pada Rabu, 10 Maret, setidaknya ada dua hal penting dari proses ini, yakni penahanan mantan Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dula dan proses sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Kupang, di mana nama mantan Wakapolda NTT, Johni Asadoma yang kini menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dan Gories Mere, purnawirawan perwira tinggi Polri disinggung saat pemeriksaan saksi.
Dula sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus ini pada Januari, namun tidak langsung ditahan karena masih aktif sebagai bupati dan kemudian ia dinyatakan reaktif saat tes antigen.
Berhubung sudah dinyatakan negatif, ia pun menjalani pemeriksaan di Kejati NTT kemarin. Setelah itu, ia langsung ditahan, di mana saat keluar dari ruang pemeriksaan ia mengenakan baju orange dan langsung diarahkan ke mobil menuju Rutan kelas II B Kupang.
Sementara itu, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi Haji Ramang Ishaka, yang adalah ahli waris Fungsionaris Adat Nggorang. Ia merupakan anak dari Haji Ishaka yang pada tahun 1997 menyerahkan tanah 30 hektar itu kepada pemerintah.
Dalam sidang itu, awalnya Herry Franklin, salah satu JPU menanyakan kepada Haji Ramang soal apa yang ia ketahui tentang tanah 30 hektar itu.
“Saksi sebagai penerus Fungsionaris Adat Nggorang, apakah saksi pernah ke lokasi tanah itu, sebelum atau setelah adanya kasus ini?,” tanya Herry, yang kemudian dijawab “pernah” oleh Ramang.
“Pernah masuk sampai di dalam? Kan ada gapura di dalamnya,” lanjut Herry.
“Iya, ada pintu masuk, ada gerbang. Saya tidak tahu dikunci atau tidak, tetapi ada gerbangnya. Di bagian depan dari gapura itu ada bentangan kawat,” jelas Ramang.
Ia kembali ditanya terkait apakah ia tahu perihal villa yang dibangun di lokasi itu.
“Betul, sesuai dengan informasi yang kami dengar di luar, itu adalah milik Bapak Goris Mere,” jawab Ramang.
JPU Herry kembali bertanya, apakah villa itu atas nama Goris Mere atau orang lain.
“Itu yang kami dengar di luar. Dan itu merupakan pengetahuan umum orang Labuan Bajo,” kata Ramang.
JPU kembali bertanya, apakah selain villa – yang diketahui diberi nama Promised Land – ada bangunan lain di lokasi itu.
“Di bagian depan gerbang ada rumah, ada mushola. Di bagian selatan ada satu pondok. Itu yang kami lihat,” jawab Ramang.
JPU kembali bertanya soal dua kontainer di lahan itu, yang diiyakan Ramang.
“Jarak antara villa yang menurut masyarakat milik Goris Mere ke kontainer itu jauh?,” tanya JPU.
“Kurang lebih 200 meter,” jawab Ramang.
“Kalau kontainer itu milik siapa?,” tanya JPU kembali, dan dijawab Ramang bahwa ia tidak mengetahuinya,
JPU kemudian menyinggung nama Johni Asadoma.
“Apakah saksi tetap tidak tahu atau dengar informasi bahwa kontainer itu milik Johni Asadoma?” kata JPU.
Ramang kembali mengatakan, bahwa ia tidak tahu, termasuk ketika ditanya ulang oleh JPU.
Mendengar itu, JPU membacakan catatan dari buku harian Almarhum Haji Adam Djudje, warga yang sempat ikut mengklaim sebagai pemilik lahan itu.
“Terima tanda jadi dari Johni Asadoma 50 juta rupiah,” kata JPU membacakan isi buku harian itu yang tampak berwarna hitam dan berukuran kecil. “Apakah saudara saksi mengetahui soal ini?” lanjutnya, mengarahkan pertanyaan kepada Ramang.
Ramang tetap konsisten mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hal itu.
Sidang kemarin menghadirkan 8 terdakwa, yakni Ambrosius Syukur, Muhammad Achyar, Abdulah Nur, Marten Ndeo, Afisal alias Unyil, Caitano Soares, Theresia Koro Dimu dan Veronika Syukur.
Sidang dipimpin oleh hakim Ketua, Wari Juniarti, bersama dua hakim anggota Ari Prabowo dan Ibnu Kholik, sementara JPU terdiri dari tiga orang, yakni Herry Franklin, Hendrik Tip dan Emirensiana Jehamat.
Seluruh terdakwa mengikuti sidang secara virtual dari rumah tahanan.
FLORESA