Penjualan Pulau Kelor dan Beragam Modus Penguasaan Pulau-pulau Kecil di Perairan Labuan Bajo

Kasus penjualan Pulau Kelor merupakan bagian dari rentetan panjang praktek penguasaan atas pulau-pulau kecil di perairan Labuan Bajo dalam dua dekade terakhir, dengan modus yang beragam. Praktek itu berlangsung bersamaan dengan intensifikasi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dan di sekitar kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Oleh: Tim Litbang Floresa.co

Awal bulan ini, publik dikagetkan dengan kasus penjualan Pulau Kelor yang terletak di perairan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Pulau ini dijual dijual oleh orang asing melalui situs penjualan OLX dengan harga Rp100 miliar. Penjualan pulau dengan luas 7.3 hektar yang berlokasi di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo ini dilakukan oleh Marketing Ray Propertindo, Timothy R. White yang berkantor di Bali.

Merespon kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyegel pulau itu pada 7 Desember 2021.

Sebelumnya pulau ini tercatat sebagai kawasan Hak Guna Bangunan (HGB) oleh PT Royal Komodo yang tak kunjung dimanfaatkan dalam 10 tahun terakhir. Dengan penyegelan ini yang merupakan bagian dari penertiban aset, Pulau Kelor sepenuhnya kembali berada di bawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat.

Kasus penjualan Pulau Kelor merupakan bagian dari rentetan panjang praktek penguasaan atas pulau-pulau kecil di perairan Labuan Bajo dalam dua dekade terakhir, dengan modus yang beragam. Praktek itu berlangsung bersamaan dengan intensifikasi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dan di sekitar kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Sebagaimana akan diuraikan dalam artikel ini, selain sangat berbahaya secara ekologis, penguasaan atas pulau-pulau tersebut juga menyebabkan krisis sosial, di antaranya merusak sektor perekonomian yang lain seperti perikanan serta ketahanan pangan masyarakat pesisir.

Empat Modus

Sejauh ini kami mencatat setidaknya terdapat empat modus penguasaan atas pulau-pulau kecil di wilayah yang telah ditetapkan sebagai destinasi wisata super-premium itu.

Pertama, klaim kepemilikan pulau atas nama pribadi. Pada 2015, publik dikejutkan dengan munculnya plang kepemilikan atas Pulau Mawang oleh Alam Kul-Kul. Alam Kul-Kul mengklaim telah memiliki sertifikat tanah atas pulau yang tercatat sebagai bagian dari zona rimba dalam kawasan TNK itu. Alam Kulkul merupakan milik Haji Feisol Hasin, WNI asal Malaysia, keponakan mantan presiden Mahatir Mohamad. Ia juga sekaligus pemilik PT Jaytasha Putrindo Utama (PT JPU) yang memiliki 49 % saham di PT Putri Naga Komodo (PT PNK), perusahan yang mengantongi izin dari pemerintah untuk mengelola kawasan TNK selama 30 tahun terhitung sejak 2004- 2034. Namun, setelah 10 tahun, PT. PNK yang merupakan joint-venture (perusahaan kerja sama) antara PT. Jayatsa Putrindo dengan The Nature Conservancy (TNC) kemudian bubar tanpa ada pertanggungjawaban publik yang jelas. Yang muncul ke publik justru konflik antara perusahaan dan Departemen Keuangan terkait dana konservasi sejumlah Rp 16 milar dan kabar tak sedap lain, seperti pengklaiman atas Pulau Mawang itu.

Planng Alam Kul Kul di Pulau Mawang. (Foto: Ist)

Fakta penguasaan atas Pulau Mawang ini memunculkan sejumlah pertanyaan penting di ruang publik. Bagaimana mungkin ada individu atau perusahaan yang mengklaim memiliki properti pribadi di dalam sebuah kawasan taman nasional. Benarkah Alam Kul-Kul mengantongi sertifikat atas Pulau Mawang? Di manakah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas TNK? Benarkah pemerintah serius dengan agenda konservasi di TNK?

Kedua, kasus jual beli pulau. Beberapa pulau di sekitar perairan Labuan Bajo juga tercatat pernah diperjualbelikan. Pada Februari 2015, publik digemparkan dengan pemberitaan tentang penjualan Pulau Punggu, sebuah pulau kecil dekat Pulau Komodo. Pulau seluas 117 hektar ini diiklankan di situs skyproperty.com seharga Rp 134,2. Status tanahnya diklaim bersertifikat atas nama Haji Nasir.

Sebelumnya juga Pulau Bidadari, yang terkenal dengan panorama wisata bahari yang menakjubkan pernah diperjualbelikan. Pada tahun 2006, ini diklaim sebagai milik pribadi oleh satu warga asing atas nama Ernest Lewandosky. Ia mengaku telah membeli 30 hektar dari lahan pulau tersebut seharga Rp 495 juta dari warga atas nama Haji Machmud yang mengaku memiliki sertifikat atas pulau tersebut. Akibat penguasaan itu, saat itu Pulau Bidadari dilarang untuk dikunjungi  masyarakat umum, termasuk nelayan yang melaut di sekitarnya, kecuali para tamu dari pemilik resor yang ada di sana.

Kasus jual beli pulau ini pun memunculkan sejumlah pertanyaan bagi publik mengingat pelarangan penjualan pulau sudah jelas diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Sayangnya, meski dilarang oleh undang-undang, sebagaimana data yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, kasus jual beli pulau ini sangat marak terjadi. Kementerian itu mencatat setidaknya 17 kasus penjualan pulau-pulau kecil sejak 2015.

Ketiga, privatisasi pulau dalam kawasan TNK atas nama bisnis pariwisata alam. Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, sejumlah perusahaan swasta mengantong konsesi untuk membangun resort-resort eksklusif pada beberapa pulau dalam kawasan TNK.

Beberapa di antaranya adalah PT. Sagara Komodo Lestari (SKL) yang mengusai lahan seluas 22,1 ha di Pulau Rinca; PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) yang memperoleh konsesi atas lahan seluas 274,13 hektar di Pulau Padar dan 151,94 hektar di Pulau Komodo; dan PT Synergindo Niagatama yang mengantongi konsesi seluas 17 Ha di Pulau Tatawa. Di samping itu, ada juga PT Karang Permai Propertindo yang memperoleh izin konsesi di daerah Loh Liang, Pulau Komodo, bersebelahan dengan lahan konsesi PT KWE.

Konsesi perusahaan swasta dalam kawasan TNK.

Hingga sekarang, perusahaan-perusahaan ini belum memulai proyek pembangunan karena terus berada dalam pantauan yang ketat dari publik. Pembangunan-pembangunan ini mendapay perlawanan keras karena dianggap berdampak buruk bagi konservasi serta masa depan pariwisata berkelanjutan. Pada tahun 2018, warga yang tergabung dari berbagai elemen pelaku wisata dan pegiat konservasi sempat menggagalkan proyek pembangunan resort oleh PT SKL di Pulau Rinca. Hingga sekarang warga terus mendesak pemerintah untuk segara mencabut izin perusahaan-perusahaan tersebut.

Keempat, izin pengelolaan pulau dalam jangka panjang oleh pihak swasta. Pada tanggal 24 September 2005, setelah Kabupaten Manggarai Barat menjadi kabupaten sendiri, pemerintah daerah menerbitkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) untuk jangka waktu 30 tahun kepada Ernest Lewandosky di Pulau Bidadari. Itu berarti baru pada tanggal 24 September 2035 Ernest bisa angkat kaki dari Pulau Bidadari. Penyewaan pulau ini dalam jangka panjang telah menimbulkan soal lain yaitu muncul pengklaiman terhadap akses dan manfaat pulau serta memicu protes dari nelayan setempat yang dilarang menangkap ikan di sekitar area tersebut.

Isu Pulau-pulau Kecil

Terkuaknya penjualan Pulau Kelor sebagai bagian dari modus penguasaan atas pulau-pulau kecil di perairan Labuan Bajo, persis terjadi di tengah menguatnya perhatian global atas masa depan pulau-pulau kecil yang dipicu oleh perubahan iklim. Pasalnya secara ekologi, pulau-pulau kecil lebih rentan terdampak gejala-gejala perubahan iklim seperti kenaikan air laut, peningkatan temperatur serta pola-pola perubahan cuaca yang mulai tidak menentu. Dalam konteks Indonesia Timur misalnya, gabungan organisasi masyarakat sipil melakukan pertemuan khusus dalam rangka membahas isu pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur. Pertemuan pada Agustus 2021 di Makassar, Sulawesi Selatan itu membahas berbagai kemungkinan dampak perubahan iklim terhadap ekologi pulau kecil, juga sebagai ruang penghidupan masyarakat pesisir.

Atas dasar itu, perhatian terhadap masa depan ekologi pulau-pulau kecil di perairan di Labuan Bajo kian menjadi penting, setidaknya karena dua alasan berikut.

Pertama, sebagai satu kesatuan ekologi yang unik. Gugusan kepulauan kecil di perairan Labuan Bajo yang mencakup pulau-pulau dalam kawasan TNK sebagai episentrum dan pulau-pulau di sekitar sebagai pendukung merupakan kesatuan ekologi yang utuh yang tercatat sebagai rumah alami bagi flora dan fauna, baik di darat mapun di laut, secara khusus bagi satwa langka Komodo. Krena itu, pembangunan dalam kawasan pulau-pulau kecil ini mesti dilakukan secara hati-hati.

Secara khusus dalam kawasan TNK, pemerintah mesti mengevaluasi total keseluruhan master plan pembangunan pariwisata yang ada dengan melibatkan banyak pihak. Hal ini kian penting mengingat pada Setember 2021, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) juga merilis temuan soal meningkatnya status keterancaman satwa Komodo akibat perubahan iklim.

Kedua, sebagai ruang penghidupan bagi warga pesisir dan penyangga pangan pada sektor perikanan. Uraian di atas telah memperlihatkan bahwa privatisasi pulau-pulau kecil telah menyebabkan terampasnya ruang hidup nelayan, sebab para investor melakukan proteksi terhadap pulau dan perairannya atas nama keamanan. Hal ini tentu berdampak pada ekonomi masyarakat pesisir serta ketersediaan pangan pada sektor perikanan. Dalam konteks Labuan Bajo, pemerintah mesti sejak dini mencegah model-model pembangunan yang berdampak pada terampasnya ruang hidup dari nelayan-nelayan sekitar, pun sebaliknya mendorong masyarakat sekitar untuk memanfaatkan sumber daya laut secara berkelanjutan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA