FLORESA.CO – Sepekan usai aksi di kota Labuan Bajo, mahasiswa juga serentak menggelar aksi di Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] dan di Jakarta pada Rabu, 9 Februari 2022 menolak proyek geothermal Wae Sano di Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur [NTT].
Di Kupang, ibu kota provinsi NTT, mahasiswa yang tengah mengenyam pendidikan di kota tersebut tergabung dalam Forum Advokasi Mahasiswa Manggarai Barat – Kupang. Mereka menggelar aksi di Kantor DPRD Provinsi NTT, usai melakukan long marc dari Rumah Sakit Undana – Naikoten.
Sementara di Jakarta, mereka tergabung dalam Serikat Pemuda NTT Jakarta dan Persatuan Mahasiswa Basodara [PMB] Pamulang – Tangerang Selatan. Mereka menggelar aksi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] dan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral [ESDM].
BACA: PMKRI: Jangan Takut Membela Rakyat yang Tertindas
Koordinator Lapangan Forum Advokasi Mahasiswa Manggarai Barat Kupang, Weli Baldus menegaskan, aksi itu merupakan bentuk keberpihakan mahasiswa Manggarai Barat yang tengah mengenyam Pendidikan di kota itu terhadap perjuangan warga Wae Sano yang tengah berjuang menolak proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia itu.
“Aksi hari ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap masyarakat Wae Sano,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Manggarai Barat dan pihak PT Geo Dipa Energi diduga banyak melakukan manipulasi demi meloloskan proyek itu.
Hal itu dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam sosialisasi dan konsultasi publik, termasuk yang dilakukan pada Januari lalu dengan “Lonto Leok”.
Tujuan kegiatan itu, kata dia semata untuk mendapat simpati, tidak hanya dari masyarakat Wae Sano, tetapi juga dari publik Manggarai Barat pada umumnya.
“Kehadiran Pemda Mabar dalam sosialisasi ala budaya Manggarai yang disebut “Lonto Leok” itu merupakan bentuk kekejaman Pemda, karena sudah memaksa kehendak kepada masyarakat Wae Sano,” ujarnya.
BACA: Proyek Geothermal Dipaksakan, Warga Wae Sano: Kalau Pemerintah Tetap Ngotot, Kami Siap Mati
Mereka juga menyoroti sikap DPRD Provinsi NTT yang terkesan apatis terhadap suara penolakan warga Wae Sano. “Substansi penolakan warga mesti juga diperjuangkan oleh DPRD Provinsi NTT,” kata Koordinator Umum Aksi, Oan Putra.
Sementara itu, perwakilan mahasiswa Jakarta, Deditus Seneng membantah klaim pemerintah bahwa energi geothermal ramah lingkungan. Kalaim itu, kata dia membuat pemerintah mengabaikan suara penolakan warga.
Menurut Dedi, hal itu menunjukan kemalasan pemerintah untuk mendalami berbagai informasi tentang daya rusak energi geothermal.
“Salah satu contoh kasus yang membantah dalih pemerintah adalah proyek pengembangan geotermal di Kampung Mataloko, Kabupaten Ngada NTT, selain telah gagal total juga telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah bagi lingkungan sekitar,” ucapnya.
“Begitu juga dengan kasus yang terjadi di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara yang menelan korban jiwa akibat semburan gas dari sumur bor proyek ekstraksi panas-bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP),” tambahnya.
BACA: Bencana Geothermal di Mandailing Natal Peringatan bagi Tempat Lain, Termasuk Flores
Mahasiswa lain, Yusuf Hendra menyoroti pemanfaatan energi geothermal tersebut. Menurutnya, tidak lain, proyek yang mengorbankan warga Wae Sano itu tidak lain bertujuan untuk menyokong kebutuhan energi di kota super premium Labuan Bajo.
“Energi besar ‘panas Bumi’ sedari awal memang tidak diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat sekitar. Maka harus ditolak,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Rabu, 3 Februari 2022, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Cabang Ruteng dan Kota Jajakan Labuan Bajo juga menggelar aksi serupa.
Bersama warga Warga Wae Sano, mereka mendatangi Kantor Bupati dan Kantor DPRD kabupaten itu. Mereka juga mendesak agar pemerintah dan perusahaan segera menghentikan proyek tersebut.
ARJ/Floresa