Tokoh Adat Besipae Dipenjara 6 Bulan terkait Kasus Penganiayaan ASN Pemprov NTT

Aliansi Solidaritas Besipae menyebut vonis ini untuk menutupi kesalahan dari awal penangkapan Nikodemus Mano.

Floresa.co – Nikodemus Manao, tokoh adat Besipae yang dituding menganiaya dua pegawai Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] dinyatakan bersalah dan dihukum 6 bulan penjara.

Jika dikurangi masa tahanan, ia akan bebas pada bulan depan.

Putusan terhadap Nikodemus itu dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soe, Timor Tengah Selatan [TTS], NTT dalam sidang yang digelar pada 24 Juli.

Pegiat sosial yang mengawal kasus itu menilai putusan hakim tersebut tidak terlepas dari konflik monopoli dan perampasan tanah di hutan adat Pubabu-Besipae.

Putusan hakim tersebut, kata Fransisko Tokan dari Aliansi Solidaritas Besipae, “untuk menutupi kesalahan dari awal penangkapan Nikodemus.”

Padahal, kata dia, jika Nikodemus betul bersalah, mestinya ancaman hukuman terhadapnya 2,5 tahun, bukan 6 bulan penjara.

Namun, katanya, kendati Nikodemus tidak terbukti bersalah, “hakim takut membebaskan Nikodemus karena akan berdampak pada lembaga pemerintah lainnya.”

“Putusan hakim tersebut agar terkesan Nikodemus Manao pernah melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.

Putusan hakim itu lebih ringan dari tuntutan tujuh bulan penjara dari Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan dalam sidang yang digelar 12 Juli.

Nikodemus ditangkap pada Februari 2023 oleh aparat gabungan dari Polda NTT dan Polres TTS, terkait dengan dugaan penganiayaan yang terjadi pada 19 Oktober 2022 terhadap Bernadus Seran dan rekannya, sehari sebelum penggusuran belasan rumah warga Besipae.

Ketika itu, Bernadus dan rekannya mengantar surat kepada warga, meminta mereka untuk meninggalkan lahan konflik.

Nikodemus, tokoh adat Besipae yang selama ini berjuang di garis depan mempertahankan hak komunitas adatnya dalam konflik lahan dengan Pemerintah Provinsi NTT, kemudian dituding sebagai pelaku dan diamankan pada 13 Februari.

Jika dihitung sejak tanggal penangkapan Nikodemus, maka ia akan bebas pada 12 Agustus.

Kasus Nikodemus menambah pelik konflik antara warga adat Besipae dengan Pemerintah Provinsi NTT.

Menurut sejumlah dokumen yang diakses Floresa.co, ditarik ke belakang, polemik ini terjadi sejak 1982 ketika Pemprov NTT membangun kesepakatan dengan mereka untuk percontohan intensifikasi peternakan. Program tersebut merupakan kerja sama antara Indonesia dan pemerintah Australia.

Luas hutan adat Pubabu yang hanya 2.671,4 hektare belum cukup memenuhi kebutuhan lahan program itu. Para tetua adat setempat lalu sepakat memasukkan belukar dan pekarangan, sehingga luas tanah yang dialokasikan untuk proyek tersebut menjadi 6.000 hektare.

Dalam prosesnya, setelah proyek itu tidak dilanjutkan, pemerintah provinsi memperkenalkan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan [Gerhan] di atas lahan 6.000 hektare tersebut, dengan skema Hak Guna Usaha [HGU] yang berlangsung dari 1988 hingga 2008.

Namun, selama proses ini, pada tahun 1995 pemerintah mengubah status hutan adat Pubabu menjadi kawasan hutan negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.

Selama rentang waktu 2003- 2008, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS juga melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu seluas kurang lebih 1.050 hektare.

Karena rangkaian kebijakan tersebut, masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan pada April 2008.

Di tengah penolakan warga, pemerintah melalui sekelompok orang yang dibentuk Dinas Kehutanan TTS kembali membabat sebagian wilayah hutan di Desa Pollo dan Desa Linamnutu dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui Gerhan.

Aksi pembabatan hutan sepihak ini selanjutnya dilaporkan oleh masyarakat adat ke Komnas HAM pada 2009.

Dua tahun kemudian, Komnas HAM mengeluarkan surat himbauan agar menjaga situasi aman dan kondusif dan menghindari intimidasi terhadap warga sampai adanya solusi masalah tersebut.

Kendati gelombang protes terus terjadi. Pada Oktober 2012 pemerintah dituding mengkriminalisasi 17 masyarakat adat, yang dijebloskan ke dalam tahanan untuk beberapa bulan.

Pada November 2012, Komnas HAM kembali mengeluarkan surat yang meminta Pemprov NTT mengembalikan lahan pertanian yang telah dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang kontraknya telah berakhir pada 2012.

Alih-alih menanggapi gelombang desakan masyarakat ini, pada 19 Maret 2013, Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektare.

Sertifikat inilah yang diklaim Pemprov NTT sebagai dasar atas penguasaan hutan adat saat ini, yang membuat konflik dengan warga terus memanas.

Sementara akar konflik belum diselesaikan, dalam beberapa tahun terakhir Pemprov NTT berulang kali melakukan penggusuran terhadap pemukiman warga.

Penggusuran terakhir pada 20 Oktober 2022, sehari sebelum kasus dugaan penganiyaan yang dituduhkan kepada Nikodemus, tercatat sebagai aksi yang kelima sejak 2020 selama masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.

Konflik lahan di Besipae hanyalah salah satu dari ratusan konflik agraria di Indonesia.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], lembaga yang fokus pada riset dan advokasi isu agraria, terdapat 212 konflik agraria sepanjang tahun 2022, yang mencakup 1.03 juta hektare lahan dan berdampak terhadap 346.402 keluarga.

Data ini meningkat dari 207 kasus tahun 2021, yang mencakup 500 hektare lahan.

KPA  juga mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah, meningkat dibandingkan tahun 2021 sebanyak 150 kasus dan 120 kasus pada 2020.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA