Maumere, Floresa.co – Kasus perbudakan terhadap pekerja anak asal Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali terjadi. Jika sebelumnya, kabar terkait kisah miris demikian kerap terjadi di Pulau Jawa, kali ini, hal serupa dilakukan oleh pemilik sebuah toko roti di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.
Korbannya adalah 7 anak; 4 dari Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan 3 dari Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Anak-anak ini yang bekerja di Toko Roti Kaegi, Jalan Kesokuit mengalami perlakuan sadis selama bekerja di bisnis milik pengusaha Tionghoa asal Soe itu.
Informasi terkait penyiksaan yang mereka alami terungkap setelah anak-anak ini kabur dari rumah majikan dan kemudian diantar ke shelter milik Tim Relawan Kemanusiaan untuk Flores (TRUK-F), sebuah lembaga sosial yang dikelola para suster SSps dan biarawan SVD di Maumere.
“Karena tidak tahan dengan perlakuan pelaku, pada tanggal 12 Januari 2015, 3 orang anak nekat untuk kabur ketika pelaku keluar dari rumah. Ketiga anak keluar pada jam 23.00 WITA melalui pintu toko yang saat itu tidak dikunci karena sedang dikerjakan oleh tukang”, demikian keterangan dari Truk-F, yang didapat Floresa.co, Kamis (15/1/2015).
Sehari setelahnya, pada Selasa lalu, TRUK-F melaporkan kasus ini ke Polres Sikka yang kemudian langsung merespon.
Kasat Reskrim Polres Sikka bersama Intel langsung membekuk rumah dan toko roti pelaku serta menjemput ke-4 korban anak yang lain dan langsung diambil keterangan di Unit PPA Polres Sikka. Saat ini, 7 korban anak sedang berada dalam perlindungan TRUK-F.
Menurut informasi dari ke-7 anak korban masih ada 3 orang yang berusia di atas 17 tahun (usia 18-20 tahun) yang masih bekerja pada toko roti tersebut.
Anak-anak ini yang bekerja antara dua bulan sampai satu tahun dilaporkan tidak pernah diberi upah.
“Setiap kali korban meminta gaji, pelaku selalu menjawab nanti dikasih saat pulang ke kampung, tetapi kenyataannya saat korban izin pulang kampung, pelaku tidak menghiraukannya,” demikian menurut Truk-F.
Jam istrirahat pun dibatasi, di mana untuk laki-laki istirahat malam antara pukul 23.00 atau 24.00 Wita, sedangkan untuk perempuan pada pukul 01.00 dini hari, karena sehabis mengerjakan roti, perempuan harus mengepel lantai rumah.
Pagi harinya, mereka harus bangun pagi pukul 05.00. Tetapi saat stok roti berkurang dan banyak pesanan, korban akan disuruh bekerja lembur dari jam 03.00 pagi sampai jam 01.00 malam, dengan demikian waktu kerja mereka mencapai 20 jam.
“Apabila bangun terlambat, pelaku menyiram korban memakai air es atau menaruh garam pada mulut korban,” tulis Truk-F.
Selain disiksa dengan jam kerja yang melampaui batas normal, anak-anak ini juga tidak mendapat tempat tidur yang layak, di mana mereka tidur di gudang penggilingan tepung dan pembakaran roti.
“Bahkan ada yang sering tidur hanya beralaskan lantai yang kotor penuh bekas gula dan tepung.”
Saat ini, ke-7 korban anak sudah diambil keterangan awal oleh polisi, dan akan diambil keterangan lanjutan sambil menunggu kelengkapan berkas-berkas berupa surat babtis atau akta kelahiran untuk kepentingan proses hukum.
Sementara itu, jajaran pemerintah Sikka langsung merespon cepat hal ini. Pada Rabu kemarin, Bupati Sikka Drs.Yoseph Ansar Rera dan Wakil Bupati Sikka Paulus Nong Susarbersama jajarannya langsung ke TRUK-F untuk menemui korban. (ARL/Floresa)