Pameran Hari Tenun di Labuan Bajo, Momen Apresiasi dan Evaluasi Upaya Pelestarian Tenun

Ini merupakan pameran pertama yang diinisiasi oleh Rumah Tenun Baku Peduli dalam rangka Hari Tenun Nasional

Baca Juga

Floresa.co – Pada 7-10 September 2023, Rumah Tenun Baku Peduli tidak seperti biasanya, hanya melayani wisatawan yang ingin mengenali beragam tenun dari berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur.

Tempat itu, yang berlokasi di persawahan Watu Langkas, 15 kilometer ke arah timur dari Labuan Bajo, ditata menjadi lokasi pameran tenun yang terbuka untuk publik.

Berbagai jenis tenun, beserta alat pembuat tenun dipajang di sejumlah bagian rumah itu.

Mereka yang berkunjung datang dari beragam latar belakang, selain wisatawan yang memang rutin mengunjungi tempat itu setiap hari.

Tomy, ‘Toje’ Jedoko, manajer rumah itu mengatakan, mereka mencatat sekitar 100 orang pengunjung selama pameran.

“Mereka adalah warga lokal yang memang datang untuk menyaksikan pameran,” katanya.

Pameran itu diadakan dalam rangka perayaan Hari Tenun Nasional 7 September.

Wisatawan sedang mendengarkan penjelasan tentang beragam jenis tenun di berbagai wilayah Nusa Tenggara Timur (Dokumentasi RTBP)

Bagi Rumah Tenun Baku Peduli, tahun ini merupakan pameran pertama yang khusus diadakan dalam rangka merayakan hari tenun, sejak diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2021.

Acara tahun ini mengangkat tema “Ekonomi Tenun dan Upaya Pewarisan Budaya di Tengah Gelombang Pariwisata,” yang diisi dengan seminar, pentas seni, dan musik, melibatkan berbagai komunitas.

Ney Asmon, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manggarai Barat yang berbicara dalam sesi seminar mengapresiasi acara itu.

“Mewakili pemerintah, saya berharap kegiatan seperti ini akan terus dilakukan,” katanya.

Ia mengatakan, dengan perkembangan Labuan Bajo yang pesat di sektor pariwisata, pemerintah juga memberi perhatian pada aspek kekayaan budaya, salah satunnya tenun.

Ia mengatakan, tenun tentu tidak hanya soal produk budaya, tetapi juga mengandung nilai sebagai warisan dan kekayaan intelektual masyarakat setempat.

Para pembicara dalam seminar “Ekonomi Tenun dan Upaya Pewarisan Budaya di tengah Gelombang Pariwisata” yang diadakan pada hari pertama pameran, 7 September 2023. (Foto: Anjany Podangsa/Floresa.co)

Ia mengatakan, selama ini pemerintah juga telah berupaya mengambil langkah konkret untuk melestarikan tenun.

Salah satunya, kata Ney adalah “memfasilitasi pemasaran tenun yang dihasilkan oleh penenun.”

Ia mengatakan, pemerintah juga telah melihat potensi lain yaitu menjadikan aktivitas menenun sebagai bagian dari atraksi wisata.

Karena itu, kata dia, pemerintah saat ini memiliki program khusus menenun.

“Upaya itu dilakukan melalui proses perekrutan mereka yang berbakat menenun, lalu didampingi. Mereka merupakan anak-anak muda,” katanya.

Ia mengakui bahwa tantangan bagi upaya pelestarian tenun memang komplekss, termasuk soal praktik imitasi, yang kian marak saat ini.

Industri kreatif, kata dia, juga bisa menjadi ancaman yang menghilangkan nilai dan kekayaan intelektual tenun.

Ia mengatakan, pemerintah tetap pada koridor memberi penghargaan pada nilai, filosofi, kekayaan intelektual pada setiap karya tenun.

“Tidak bisa dibayangkan bahwa nenek moyang kita yang pada zamannya tidak mengenal huruf, juga model, apa lagi tren, melampaui batas dalam menghasilkan karya tangan mereka dan diwariskan sampai saat ini,” katanya.

Elisabeth Hendrika “Henny” Dinan, Pegiat Rumah Tenun Baku Peduli dan Direktur Sunspirit for Justice and Peace yang juga berbicara dalam seminar itu mengatakan ia mengapresiasi upaya promosi tenun yang dilakukan oleh berbagai pihak saat ini, termasuk oleh pemerintah, hingga ke berbagai belahan dunia.

Salah satunya, kata dia, yang dilakukan Presiden Joko Widodo yang memakai tenun dalam berbagai acara resmi, menetapkan perayaan Hari Tenun Nasional dan menghadiahkan tenun kepada tamu-tamu negara.

“Ini menunjukan pengakuan resmi bahwa tenun setara dengan batik sebagai satu karya kebudayaan bangsa,” katanya.

Namun, kata dia, semua pihak juga harus menyadari beragam persoalan dalam upaya pewarisan budaya tenun dan bagaimana memberikan dampak ekonomi bagi para penenun.

Ia menyebut salah satu masalah serius adalah regenerasi penenun karena “minat untuk menenun semakin berkurang.

Ia mengatakan, salah satu pemicu masalah regenerasi ini karena kurangnya apresiasi terhadap para penenun.

Banyak penenun, kata dia, yang kemudian mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadikan menenun sebagai opsi pekerjaan terakhir.

Persoalan lain, kata Henny adalah, menghilangnya para pengrajin alat tenun.

“Persoalan ini dipicu oleh langkanya kayu-kayu lokal bahan baku peralatan tenun yang dulunya sangat banyak tersedia,” katanya.

Sama seperti yang disinggung Ney Asmon, Henny juga menyoroti berkembangnya berbagai produk imitasi, yang diklaim sebagai tenun, padahal itu adalah produk tekstil.

Ia berharap bahwa semua pihak bekerja sama menjaga tenun karena ini adalah “warisan yang tidak ada batas masanya.”

“Artinya, mesti ada sebuah sebuah aktivitas pelestarian budaya,” katanya.

Sementara itu, Gheryl Ngalong dari Rumah Baca Aksara – sebuah komunitas seni yang diinisiasi oleh anak-anak muda di Ruteng – mengatakan, dengan perkembangan industri pariwisata dan teknologi, menjadi tantangan besar dalam mempertahankan nilai tenun.

Karena itu, ia mengharapkan perlunya gerakan bersama, berkomunitas, terutama oleh kaum muda untuk memenangkan persaingan global lewat ekonomi kreatif yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tenun.

“Ekosistem yang ada dalam komunitas ini juga dibangun dengan menanggalkan segala bentuk egoisme agar peran yang dicapai dalam berkomunitas tercapai,” katanya.

Peran yang bisa dimainkan dalam berkomunitas itu, kata dia, adalah termasuk distribusi pengetahuan, menciptakan ruang kesadaran dan pemetaan potensi yang dilakukan dengan bermusyawarah. 

Gheryl juga menganjurkan perlunya batasan dalam memproduksi tenun, yakni kain tenun yang dijadikan sebagai identitas dan kain yang dipasarkan untuk industri pariwisata.

Ia mengatakan mengapresiasi pameran ini, karena “disamping kita merayakan Hari Tenun Nasional, Rumah Tenun Baku Peduli juga hadir untuk menunjukkan kepada pada masyarakat luas bahwa dalam tenun ada warisan dan nilai yang dibangun dan dijaga kuat.”

Yosef Ansi Kalansa, pelajar dari SMK Stella Maris Labuan Bajo yang mengunjungi pameran itu mengatakan, ia tergerak karena ingin mendalami warisan budaya tenun.

Ia mengatakan, sebagai generasi muda ia kagum dengan kekayaan intelektual nenek moyang kita zaman dulu “yang sudah seharusnya kita jaga dan kita lestarikan.”

“Saya sangat apresiasi acara ini. Ini pertama kalinya saya melihat tenun-tenun yang begitu cantik,” katanya.

Wisatawan yang menyaksikan pameran di Rumah Tenun Baku Peduli. (Dokumentasi RTBP)

Toje dari Rumah Tenun Baku Peduli mengatakan usai penutupan pameran pada 10 September bahwa mereka senang karena untuk pertama kalinya, sebagai komunitas yang ikut dalam pengembangan dan pemberdayaan tenun, bisa memperingati Hari Tenun Nasional dengan cara seperti ini.  

“Walaupun sederhana, tetapi ini adalah kegiatan pertama yang dibuat untuk memperingati Hari Tenun Nasional di Rumah Tenun Baku Peduli, bahkan di kota Labuan Bajo,” katanya.

Ia mengatakan, acara ini “cukup membantu kami untuk mendistribusikan berbagai pengetahuan dasar tentang budaya tenun.” 

“Rencananya tahun depan bisa dibikin lebih bagus dan ramai,” kata Toje kepada Floresa.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini