10 Jam Warga Flores Diperiksa Karena Tolak Proyek Strategis Nasional,  Ditanyai Polisi Soal Pihak yang Bekingi Aksi Mereka

Warga bersikeras menolak proyek itu karena kehendak mereka sendiri, bukan karena disuruh pihak lain

Baca Juga

Floresa.co – Warga di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur menjalani pemeriksaan selama 10 jam, dimana mereka ditanya sejumlah hal, termasuk pihak yang dianggap polisi membekingi aksi mereka menolak proyek geothermal, salah satu dari proyek strategis nasional.

Pemeriksaan ini, menurut kelompok advokasi, adalah bentuk upaya pembungkaman suara warga yang sedang berjuang untuk hidup mereka.

Ketujuh warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai itu diperiksa di Polres Manggarai pada Jumat 6 Oktober.

Arkadius Trisno Anggur, salah satu diantaranya mengatakan polisi menanyakan kronologi aksi penghadangan warga yang telah berlangsung hampir 20 kali terhadap petugas PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN], pegawai Pemda Manggarai.

“Ada juga pertanyaan tentang dasar penolakan dan apakah ada intervensi atau pengaruh dari orang lain yang menyuruh warga menolak,” katanya kepada Floresa.

Terkait pertanyaan polisi tersebut, kata Arkadius, ia menjawab bahwa prinsip ‘tanah sebagai ibu’ yang mendorong warga tidak mau melepaskan tanah ulayatnya untuk proyek, “dan tidak pernah karena pengaruh atau provokasi pihak lain.”

Ponsianus Lewang, warga lainnya mengatakan polisi menanyainya perihal pertemuan khusus yang dilakukan untuk mengadakan penolakan.

Ia mengatakan membantah hal itu dan menyatakan “pengadangan dilakukan secara spontan, sebab warga sepakat untuk menyelamatkan tanah ulayatnya.”

“Mereka juga menanyakan terkait apakah ada yang menyuruh warga untuk menolak,” katanya.

Ponsianus mengatakan, kepada polisi yang memeriksanya, ia menyampaikan bahwa “warga tidak pernah menghadang aparat, tetapi menghadang perusahaan dan pemerintah yang memiliki kepentingan dalam proyek tersebut.”

“Kami yakin polisi hadir untuk mengamankan kedua belah pihak, bukan perwakilan salah satu pihak,” ujarnya mengulangi pernyataannya kepada polisi.

Pertanyaan lainnya, menurut Maksimilianus Neter, adalah terkait “apakah warga membawa barang-barang tajam dan tumpul saat melakukan aksi pengadangan.”

Selain Arkadius, Ponsianus, dan Maksimilianus, empat warga lain yang diperiksa saat itu adalah Heribertus Jebatu, Agustinus Egot, Bonavantura Harun, dan Ponsianus Nongol.

Dituding Melanggar UU Cipta Kerja

Pemanggilan terhadap tujuh warga itu terkait pengadangan terhadap rombongan PT PLN — yang dikawal 30-an aparat kemanan — saat menuju lokasi proyek geothermal pada 27 September.

Dalam surat Nomor: B/161/IX/2023/Tipidter/Sat Reskrim yang diterbitkan pada 28 September, polisi mengacu pada Undang-Undang [UU] Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Laporan Informasi dan Surat Perintah Penyelidikan bertanggal 27 September 2023.

Polisi menjelaskan melakukan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana “yang dengan sengaja menghalangi kegiatan pengusahaan pembangunan panas bumi dan/atau melakukan kekerasan terhadap pejabat.

Ketujuh warga, berdasarkan surat itu, berpeluang dijerat dengan UU Cipta Kerja dan atau Pasal 212 KUHP.

Pada 2 Oktober malam, yang semula dijadwalkan sebagai hari pemeriksaan, tujuh orang warga tersebut menyerahkan surat permohonan penundaan pemeriksaan.

Mereka kemudian memenuhi panggilan pada 6 Oktober, didampingi oleh 11 orang pengacara publik dari Tim Advokasi Poco Leok, yang datang dari Ruteng, Labuan Bajo, dan Jakarta.

Pemeriksaan ketujuh warga tersebut berlangsung sejak pukul 13.00 Wita, dibagi ke dalam dua sesi, masing-masing 4 orang pada sesi pertama dan 3 orang sesi kedua hingga sekitar pukul 23.00 Wita.

Pembungkaman Hak Warga

Muhammad Haedir, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum [YLBHI-LBH] Makassar yang juga pengacara warga menyatakan pemanggilan ini  “jelas merupakan bentuk pembungkaman terhadap warga.

“Warga mempunyai hak untuk mempertahankan hak atas tanahnya, dan mempunyai hak untuk menolak pengukuran tanah adat,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan secara filosofis tanah di Poco Leok itu sendiri “adalah tanah adat, bukan tanah individu maupun tanah milik.”

Sementara itu, Muhammad Jamil, pengacara lainnya yang juga Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] menyatakan “pemanggilan warga dengan tuduhan menghalangi kegiatan proyek geothermal dan menghalangi pejabat yang sedang bertugas itu ngawur.”

Jamil yang mendampingi seorang warga ketika diperiksa polisi mengatakan, salah satu warga tersebut “terkonfirmasi ternyata tidak berada di lokasi aksi” penghadangan.

“Dengan begini justru pihak PLN dan BPN dengan pengawalan aparat kepolisian, bisa kena pasal penyerobotan lahan dan memasuki pekarangan warga, tanah adat warga, tanpa hak. Hal tersebut jelas berkonsekuensi pidana,” ungkapnya.

Proyek geothermal Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu, sekitar 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang beroperasi sejak 2012.

Pemerintah menargetkan proyek ini menghasilkan energi listrik 2 x 20 megawatt. meningkat dari 10 megawatt yang sudah beroperasi saat ini.

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

Warga Poco Leok terus melakukan perlawanan terhadap proyek yang berada di tanah ulayat dan dekat dengan pemukiman mereka.

Mereka terlibat dalam beberapa kali upaya penghadangan aparat dan perusahaan yang mendatangi wilayah mereka, selain dengan menggelar rangkaian unjuk rasa.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini