Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat di tengah Pembangunan yang ‘Makin Kencang,’ Aparat Makin Apatis 

Ini merupakan laporan dalam diskusi publik bertema “Perspektif HAM dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan Anak”, yang diinisiasi oleh Koalisi 16HAKTP Labuan Bajo.

Baca Juga

Floresa.co – Kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat di tengah masifnya proyek-proyek pembangunan di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Hal tersebut diperparah oleh sikap aparat penegak hukum yang apatis dalam penanganan kasus, bahkan terlibat sebagai pelaku kekerasan dan intimidasi.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi publik bertema “Perspektif HAM dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan Anak”, yang diinisiasi oleh Koalisi 16HAKTP Labuan Bajo, Flores, Sabtu, 9 Desember.

Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan secara nasional kelompok perempuan “belum berada di titik aman” karena maraknya kasus kekerasan, yakni kekerasan dalam rumah tangga [KDRT], kekerasan seksual, dan kekerasan siber berbasis gender.

“Total data pelaporan yang terkumpul di Komnas Perempuan pada tahun 2022 adalah  510.584 kasus kekerasan terhadap perempuan. Naik 11 persen dari tahun 2021,” ungkapnya.

Lebih dari setengah atau 61 persen kasus tersebut, kata dia, adalah kekerasan di ranah personal, terutama dilakukan oleh mantan pacar dan suami.

“Kasus terbanyak adalah kekerasan seksual, dengan 65 persen pengaduan, naik 8 persen dari tahun 2021, terutama KSBE [Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik] dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan berbasis keagamaan,” lanjutnya.

Ia mengatakan, dari jumlah kasus tersebut, korban terbanyak berada dalam rentang usia 18 sampai 24 tahun [54 persen atau 1453 orang], dan terdapat 285 korban usia anak, 12 korban usia lansia. 

“Ibu rumah tangga dan pelajar adalah yang paling banyak dicatatkan sebagai korban,” ungkapnya.

Sementara itu, pelaku sebagian besar berusia 18 sampai 24 tahun [40 persen] dan 25 sampai 40 tahun [38 persen], dan sebanyak 227 tercatat masih berstatus pelajar.

Kasus lainnya yang dicatat Komnas Perempuan adalah kekerasan terhadap perempuan pekerja migran. Pada 2022 lembaga tersebut menerima 859 kasus dengan 1.621 bentuk kekerasan, yakni kekerasan fisik [588 kasus], kekerasan psikis [442 kasus], dan kekerasan seksual [199 kasus]. Satu orang korban dapat mengalami lebih dari satu kekerasan.

 

Hal tersebut bersamaan dengan tingginya angka tindak pidana perdagangan orang, termasuk salah satu penyumbang terbesar dari Provinsi NTT.

Ia juga menyoroti secara khusus kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lokasi-lokasi konflik agraria akibat Proyek Strategis Nasional, yang menurutnya terjadi karena “minimnya konsultasi substantif dalam pelaksanaannya.”

Makin Rentan di Tengah Proyek Pembangunan

Rizki Mareta, pembicara lainnya dari Koalisi Perempuan Indonesia mengetengahkan secara khusus kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya dalam proyek-proyek pembangunan yang “makin kencang” saat ini.

Ia mengatakan, kekerasan terhadap perempuan di lokasi konflik agraria disebabkan oleh maraknya pembangunan yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat, atau berdalih mementingkan rakyat tetapi “tidak tahu rakyat yang mana”.

“Pembangunan di Indonesia ada yang bermasalah, maka ada perlawanan dalam pembangunan, termasuk dari perempuan,” ungkapnya.

Menurut Rizki terdapat tiga pola pembangunan yang bermasalah, yang kemudian menimbulkan perlawanan dari kelompok perempuan di berbagai wilayah, yakni pembangunan yang berbasis ekonomi, minim perhatian pada kualitas hidup masyarakat pedesaan, dan pembangunan yang dirancang sangat maskulin.

Ia mengambil contoh kasus Proyek Strategis Nasional di beberapa daerah, yakni pembangunan Bendungan Bener di Wadas, Eco City Rempang di Batam, Proyek Geothermal di NTT, dan Pabrik Semen Kendeng.

“Pemerintah hanya menghitung untung rugi dari adanya proyek tersebut, hanya lihat yang penting investasinya berhasil dan bisa diprivatisasi. Contohnya geothermal di Flores yang membutuhkan 1.7 triliun untuk satu pengeboran,” ungkapnya.

“Kenapa warga Wadas tolak pembangunan? Karena di sana PSN merusak mata air yang digunakan perempuan dan keluarganya untuk kehidupan sehari-harinya,” lanjutnya.

Kasus perlawanan perempuan di Kendeng, kata dia, terjadi karena pembangunan versi pemerintah hanya mementingkan nilai ekonomi, yang menurut warga justeru merusak kawasan konservasi.

“Inisiatif perempuan di desa seringkali dianggap primitif, tidak menguntungkan, skalanya kecil, tidak berguna secara ekonomi,” ungkapnya.

Hal tersebut menyebabkan negara merasa memiliki hak untuk membangun proyek-proyek yang justru merusak lingkungan, padahal “perempuan di desa hidup lebih lama di daerahnya, tahu cara mengelola dan cara melestarikannya”.

Dalam kasus geothermal Poco Leok, kata dia, kelompok perempuan berada pada posisi rentan ketika tahu bahwa proyek tersebut akan berdampak buruk bagi lapangan pekerjaan sebagai petani, menyebabkan bencana, termasuk gempa bumi seperti yang terjadi di Pohang, Korea Selatan pada tahun 2017.

Sementara itu, pembangunan yang dirancang “secara sangat maskulin”, kata dia menyebabkan perempuan di desa dianggap terbelakang dan tertinggal.

“Misalnya proyek food estate di Kalimantan Tengah. Perempuan di sana lebih sering menanam karet, ketika dipaksa menanam singkong dan beras, akhirnya tidak jadi, karena mereka lebih paham tentang lahan gambut, apalagi (food estate) dibuka skala besar,” ungkapnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya pembangunan yang berbasis ekofeminisme, yaitu paradigma yang “mengoreksi secara total sistem pembangunan yang masih bersifat menguatamakn modal, dan membaca ulang situasi politik dan spiritual [manusia dan alam] di lokasi-lokasi yang beragam”.

Aparat Pelaku Kekerasan dan Makin Apatis

Salah satu pola pendekatan pembangunan yang merugikan kaum perempuan, kata Rizki, adalah militerisme, di mana negara menggunakan alat kekerasan berupa aparat keamanan untuk membungkam perlawanan warga.

Ia mengangkat contoh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Poco Leok, Rempang, dan Wadas, dan Kendeng.

Bagian akhir diskusi publik tersebut diisi oleh berbagi pengalaman seorang wisatawan yang menjadi korban kekerasan seksual saat sedang berlibur di Labuan Bajo pada tahun 2020.

Korban tersebut, yang didampingi pengacaranya Siti “Ipung” Sapurah mengisahkan perjuangannya mengungkap kasus tersebut, di tengah sikap polisi di Polres Manggarai Barat yang apatis dan menyuruhnya “mencari sendiri alat bukti”.

“Sulit sekali mencari keadilan, polisi seperti acuh tak acuh, setiap kali kita kirim surat bertanya tentang perkembangan kasus, polisi tidak kooperatif dan cenderung membela pelaku, bukannya bersama korban mencari barang bukti,” ungkapnya.

“Ketika wartawan Floresa datang ke Polres Manggarai Barat, polisi menuduh saya sebagai pelaku. Ini kan lucu, korban kasus pemerkosaan dituduh sebagai pelaku,” lanjutnya.

Ia juga mengatakan polisi tersebut mengancam untuk memviralkannya, “meskipun akhirnya bilang ini hanya candaan”. 

“Sampai sekarang kasus itu tidak ada tindak lanjutnya, saya tidak lagi mendapatkan informasi, kasusnya ngambang,” ungkap Siti Sapurah.

Elisabeth Irma Parera, Dosen Unika St. Paulus Ruteng yang berbicara sebagai peserta diskusi mengatakan tindakan polisi dalam kasus tersebut tampak tidak sedang menjalankan fungsinya, sebab banyak konflik kepentingan “yang terhubung dengan beberapa hal yang sangat punya dampak terhadap isu besar, apalagi isu Labuan Bajo sebagai kota wisata premium”.

“Kita sekarang sudah ada di fase tidak tahu lagi siapa lagi yang kita percayai sebagai pengayom, pelindung kita,”, ungkapnya.

Henny Dinan, Direktur Sunspirit for Justice and Peace mengatakan kinerja kepolisian terbukti “sangat parah” dan “intimidatif”, berhubungan dengan pengalamannya memenuhi panggilan polisi di Polres Manggarai Barat terkait kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang yang dialami seorang remaja perempuan pada Mei 2023 lalu.

Diskusi publik “Perspektif HAM dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan Anak” adalah salah satu dari beberapa agenda yang diadakan oleh Koalisi 16HAKTP Labuan Bajo, selain Ruang Tuang Pikiran, yaitu kesempatan menulis artikel tentang isu perempuan dan anak yang dipublikasikan di Floresa. Koalisi mengusung tema umum “Perempuan Melawan; Galang Solidaritas Hapus Kekerasan.”

Koalisi 16HAKTP Labuan Bajo yang diinisiasi Sunspirit for Justice and Peace, Puanitas Indonesia, Yayasan Ani’s, dan Rumah Singgah St. Theresa dengan media partner Floresa menggelar kampanye tersebut untuk pertama kalinya pada tahun ini, bagian dari kampanye global dan nasional dalam rangka Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2023.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini