Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di Flores Kian Marak, Bagaimana Upaya Pencegahan dan Penanganannya?

Di Sikka tercatat ada peningkatan kasus, di Manggarai Timur juga sama

Floresa.co – Seorang ayah di Kabupaten Sikka, Flores melaporkan  seorang pria yang diduga memperkosa putrinya yang berusia empat tahun. 

Peristiwa ini terjadi di salah satu desa di Kecamatan Hewokloang. 

Ayah korban melaporkan terduga pelaku YEMW, remaja berusia 15 ke Polres Sikka pada 4 April, setelah putrinya menceritakan dugaan pemerkosaan yang terjadi pada 26 Maret. 

Terduga pelaku, menurut keterangan ayah korban ke pihak kepolisian, mengajak korban ke kebun dengan mengimingi akan memberinya buah kelapa.

Sesampainya di kebun, terduga pelaku memperkosanya.

Laporan ini menambah jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sikka, di tengah upaya penegakan hukum yang belum maksimal memberikan efek jera kepada para pelaku.

Kepala Seksi Humas Polres Sikka, Iptu Susanto berkata kepada Floresa, tahun ini sudah ada 6 kasus persetubuhan anak yang dilaporkan ke Polres Sikka. 

Keenam kasus ini masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan. 

Selama 2022 dan 2023, kata dia, Polres Sikka juga menerima laporan puluhan kasus kekerasan seksual terhadap anak. 

Pada 2023 tercatat 28 kasus, meningkat dari 20 kasus pada 2022.

Susanto mengakui belum semua proses hukum kasus-kasus ini tuntas. 

Dari 28 kasus pada tahun 2023, katanya, masih ada empat kasus yang proses hukumnya masih berjalan. Demikian juga dari 20 kasus pada 2022, empat kasus masih dalam proses.

“Ada yang masih tahap penyelidikan, ada yang sedang penyidikan dan melengkapi berkas,” katanya.

Tidak hanya di Sikka, di wilayah lain di Flores, terjadi sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Di Kabupaten Manggarai Timur, enam kasus kekerasan seksual dilaporkan ke polisi pada awal tahun ini, dengan korban umumnya anak di bawah umur.

Pada 16 Februari, polisi menahan seorang pria asal Kecamatan Borong usai ditetapkan sebagai tersangka karena memperkosa anak kandungnya berusia di bawah umur. 

Tersangka, MN, 43 tahun, menjalankan aksinya sejak tahun 2021 saat korban masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama atau masih berusia 15 tahun. 

MN yang ditahan di Polres Manggarai Timur sempat kabur dari ruang, diduga keteledoran polisi. Ia berhasil ditangkap setelah polisi mencarinya selama dua hari.

Pada 8 Maret, seorang kakek berusia 74 tahun asal Kecamatan Elar Selatan dilaporkan ke polisi karena memperkosa cucunya sendiri yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kasus ini terjadi  pada 27 Februari dan terungkap setelah korban bercerita kepada ibunya.

Pada tahun lalu, seorang ayah di Kecamatan Elar Selatan juga dilaporkan memperkosa anaknya sendiri. Aksinya mulai terjadi pada 2020 saat anaknya masih berusia 10 tahun.  Kasus ini baru terungkap karena korban selalu mendapat ancaman pembunuhan jika berani memberitahu orang lain, termasuk ibunya.

Pada tahun yang sama, polisi menahan Pua Ibrahim, pemilik pesantren yang berlokasi di Borong, ibu kota Manggarai Timur karena memperkosa dua orang santri di bawah umur. 

Pengadilan Negeri Ruteng memvonis Ibrahim pada 27 Maret dengan hukuman penjara 15 tahun. Ia merupakan Aparatur Sipil Negara di Kantor Kementerian Agama Manggarai Timur.

Hukuman yang Belum Memberi Efek Jera

Ketua Lembaga Perlindungan Anak [LPA] Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], Veronika Ata berkata kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih marak terjadi karena penegakan hukum yang belum optimal. 

“Ini sangat ironis dan patut menjadi perhatian publik bahwa penegakan hukum hari ini tidak bisa andalkan,” katanya kepada Floresa pada 9 April.

Ia berkata, mestinya para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dihukum maksimal dengan pasal berlapis karena melanggar Undang-Undang [UU] Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [TPKS].

Penegakan hukum, kata Veronika, sangat penting untuk perlindungan korban sekaligus memberikan efek jera terhadap pelaku serta pembelajaran bagi masyarakat umum.

Pasal 4 UU TPKS menyebut setidaknya ada lebih dari 15 tindak pidana kekerasan seksual, di antaranya adalah persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak.

Sementara dalam UU Undang Perlindungan Anak, tindak pidana persetubuhan dan pencabulan anak diatur dalam pasal 76D dan 76E.  Pelanggaran atas ketentuan dua pasal ini  dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

Ketentuan pidana ini berlaku juga bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (pasal 81 ayat 2).

Berbicara khusus soal kasus di Sikka, di mana polisi mengakui penanganannya yang lamban, kata Veronika, polisi perlu menuntaskannya demi mencegah keberulangan.

Rita Handayani, Tim Pendampingan Kasus Kekerasan Seksual pada Anak dari organisasi Suluh Perempuan berkata,  selain proses hukum terhadap terduga pelaku, pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual juga perlu dilakukan.

Pendampingan itu, kata dia, tidak hanya untuk anak korban, tetapi juga untuk orang tuanya.

“Kalau belum ada lembaga khusus untuk pendampingan korban, seharusnya di Unit PPA [Pelayanan Perepmuan dan Anak] ada pendampingan korban. Terkait ini, ada di UU TPKS tapi belum disosialisasikan,” ujarnya.

Apa yang Harus Dilakukan Orang Tua untuk Mencegah Anak Jadi Korban?

Maraknya laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan peringatan bagi orang tua. 

Karena itu, kata Ketua LPA Provinsi NTT,  Veronika Ata, pendidikan seksual harus disampaikan kepada anak sejak dini.

Orang tua, katanya, harus memberikan informasi kepada anak tentang bagian tubuh mana yang bisa disentuh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain.

“Misalnya bibir, dada, alat kelamin, pantat/ bokong. Jika ada hal yang mencurigakan, anak harus berani menyampaikan pada orang tua, guru atau orang yang dipercaya,” ujarnya.

Veronika berkata, tugas orang tua dalam mendidik anak adalah memberikan rasa aman terhadap anak. 

Orang tua, kata dia, juga mesti membiasakan anak untuk menceritakan apapun yang terjadi dalam kehidupannya agar ketika mengalami situasi yang tidak diinginkan, mereka tetap aman untuk menceritakan dengan orang tua.

“Orang tua juga tidak boleh membiarkan anak sendirian, termasuk di rumah,” katanya.

Kontrol terhadap anak yang bermain gawai, kata Veronika, juga harus dilakukan agar mereka tidak mengkonsumsi konten porno.

Untuk anak yang menjadi korban kekerasan seksual, orang tua tak boleh menyalahkannya, karena hal itu akan menambah tingkat stres anak korban dan anak akan semakin terpojok, tambahnya.

Selain itu, menurut Veronika, jika terjadi kekerasan seksual terhadap anak, maka orang tua harus segera melaporkan ke kepolisian.

“Saya berharap agar anak-anak yang menjadi korban bisa didampingi secara hukum, psikologis, rohani maupun layanan kesehatan,” ujarnya.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA