Floresa.co – Pelibatan perempuan dalam politik merupakan proses melunasi tanggung jawab peradaban manusia, namun hal itu masih menemui sejumlah kendala, menurut aktivis perempuan saat berbicara dalam forum diskusi Komunitas Puan Floresta Bicara baru-baru ini.
Pelunasan tanggung jawab itu, kata Yofani Maria Renya Rosari Francis yang juga bakal calon wakil bupati di Kabupaten Sikka, “termasuk mematahkan anggapan bahwa peran perempuan sebatas urusan domestik.”
Mengamati fenomena di sejumlah partai politik, Vonny – sapaannya – beranggapan “soal menjalankan tugas keseharian hingga pengambilan keputusan masih didominasi laki-laki.”
Ia menyebut fenomena itu sebagai “patriarki dalam politik,” hal yang menciptakan perspektif bias gender dan diskriminatif.
Pandangan Vonny disampaikan dalam diskusi daring bertajuk “Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik” pada 6 Juli. Diskusi inisiasi Puan Floresta Bicara, komunitas yang diluncurkan pada 19 Juni dan fokus pada masalah gender di Nusa Tenggara Timur.
Dalam diskusi yang dipandu Ketua Puan Floresta Bicara, Suster Herdiana Randut, SSpS tersebut, Vonny juga mengingatkan keterlibatan perempuan tak hanya terkait kontestasi elektoral.
Lebih dari itu “perempuan juga perlu hadir dan bersuara dalam ruang-ruang diskusi politik.”
Ketika itu terjadi, “niscaya akan lahir beragam kebijakan yang berpihak pada perempuan,” katanya.
Minimnya kebijakan yang berpihak pada perempuan juga menjadi sorotan Fenita Budiman, Sekretaris Jenderal Suluh Perempuan, organisasi advokasi masalah perempuan berbasis Jakarta.
“Masih banyak kebijakan diskriminatif mulai level komunitas hingga negara, yang akhirnya merugikan hak dan martabat perempuan,” kata Fenita.
Menyitir laporan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] pada 2018, ia menyebut 333 kebijakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Kebijakan itu berupa peraturan daerah dan surat edaran kepala daerah.
Vonny juga menyoroti substansi Undang-Undang [UU] Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota karena “tak memiliki pasal yang dapat mengafirmasi kehadiran perwakilan perempuan.”
Ketiadaan pasal afirmatif “memperkuat anggapan bahwa posisi gubernur, bupati dan wali kota hanya dapat dicapai laki-laki.”
Bahkan Provinsi Nusa Tenggara Timur “tak pernah dipimpin oleh perempuan,” katanya.
Sementara Fenita menilai kurangnya jumlah perempuan dalam kepemimpinan politik turut dipicu “biaya politik yang tinggi.”
Biaya kampanye yang “memakan ratusan juta rupiah membuat perempuan berpikir ulang, apakah terus maju.”
Selain itu, kata Fenita, kepemimpinan yang didominasi oleh laki-laki turut menggambarkan situasi ekonomi “yang belum berkeadilan gender.”
Salah satu indikatornya, kata dia, dapat dilihat dari tingkat partisipasi kerja yang didominasi laki-laki.
Klaim Fenita selaras dengan data dalam Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional yang diluncurkan Badan Pusat Statistik pada Agustus 2023.
Dokumen itu mencatat mencatat 65,86% laki-laki dan 34,14% perempuan bekerja pada sektor formal.
Sementaar sektor informal, menurut rangkuman data hasil survei paruh tahun itu, mempekerjakan 57,55% karyawan laki-laki dan 42,45% perempuan.
Editor: Anastasia Ika