Komunitas Puan Floresta Bicara Hadir Merespons Persoalan Gender di NTT

Penggagas komunitas tersebut menilai masih lemahnya penanganan dan penyelesaian kasus berbasis gender di NTT

Floresa.co – Pegiat sosial di Nusa Tenggara Timur [NTT] meluncurkan Puan Floresta Bicara, komunitas yang berfokus pada perlindungan berbasis gender.

Peluncuran digelar secara virtual via aplikasi Zoom pada 19 Juni, yang diikuti puluhan peserta perwakilan organisasi sosial dan media berbasis Flores dan pulau-pulau kecil di NTT, termasuk Alor dan Lembata.

Puan Floresta Bicara “hadir atas keprihatinan dan keresahan terkait persoalan gender di NTT,” kata Suster Herdiana Randut, biarawati Katolik ketua komunitas ini.

Ia secara khusus menyoroti “lemahnya penanganan dan penyelesaian kasus berbasis gender” di NTT, kondisi yang menjadi salah satu titik tolak pembentukan komunitas tersebut.

Kondisi itu, kata Herdiana dari Kongregasi Suster Abdi Roh Kudus [SSPs] masih diperparah dengan minimnya ruang bicara bagi korban kekerasan seksual serta kasus ketimpangan relasi kuasa lainnya yang berbasis gender.

Arin Dampus, perwakilan Rumah Baca Aksara, komunitas kaum muda berbasis di Ruteng, Kabupaten Manggarai mengapresiasi kehadiran Puan Floresta Bicara. 

“Tak hanya perempuan, melainkan juga laki-laki menjadi korban kekerasan berbasis gender di NTT, dan suara mereka sering terabaikan,” kata Arin.

Ia berharap Puan Floresta Bicara dapat “menjadi wadah bersama bagi siapapun untuk menyuarakan persoalan gender.”

Peluncuran Puan Floresta Bicara diiringi pembacaan dua puisi, masing-masing oleh Bella Afina dari Suluh Perempuan dan Atrin Jemat dari Rumah Baca Aksara. 

Keadilan bagi perempuan, kata Bella Afina, “hanya bisa didapatkan jika kaum perempuan sendiri mampu dan mau bersuara untuk ketidakadilan itu sendiri.”

Sementara Atrin, lewat larik puisi bertajuk “Generasi Emansipasi” mengingatkan “raga perempuan bukan sekadar pajangan dan pemenuh nafsu” dan sebaliknya, “memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berekspresi.”

Peluncuran komunitas ini berlangsung di tengah tren maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di wilayah Nusa Tenggara Timur  akhir-akhir ini.

Di Manggarai misalnya, merujuk pada data JPIC SSpS, lembaga gereja yang salah satu fokusnya advokasi kasus kekerasan seksual, terdapat tiga kasus pada 2019; enam kasus pada 2020; 16 kasus pada 2021 dan 11 kasus pada 2022. Pada 2023 jumlahnya meningkat signifikan jadi 27 kasus kekerasan seksual, tujuh kasus pemerkosaan dan 34 kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Sementara di Kabupaten Manggarai Timur, tercatat 16 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke polisi selama 2023, meningkat dari 14 kasus pada tahun 20202.

Untuk tahun ini, Floresa mencatat enam kasus pemerkosaan, dengan pelaku mayoritas orang dekat korban.

Salah satu kasus terjadi di Kecamatan Borong. Polisi menahan tersangka pada 16 Februari yang memperkosa anak kandungnya berusia di bawah umur. Ia menjalankan aksinya sejak tahun 2021 saat korban masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Pada 8 Maret, seorang kakek berusia 74 tahun asal Kecamatan Elar Selatan juga dilaporkan ke polisi karena memperkosa cucunya sendiri yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kasus ini terjadi pada 27 Februari dan terungkap setelah korban bercerita kepada ibunya.

Sementara di Sikka, menurut Kepala Seksi Humas Polres, Iptu Susanto tahun ini sudah ada 6 kasus persetubuhan anak. Keenam kasus ini masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

Selama 2022 dan 2023, kata dia, Polres Sikka juga menerima laporan puluhan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pada 2023 tercatat 28 kasus, meningkat dari 20 kasus pada 2022.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA