Floresa.co – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah [Kemendikdasmen] mengklaim akan melakukan evaluasi secara menyeluruh sistem pendidikan serta berjanji akan memprioritaskan kesejahteraan dan distribusi guru.
Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah [Mendikdasmen], Abdul Mu’ti dalam rapat kerja bersama anggota Komisi X DPR RI di Jakarta pada 6 November.
Dalam rapat itu, ia menanggapi beberapa pertanyaan anggota DPR dan berbagai isu yang mencuat ke publik, termasuk penyelenggaraan kembali Ujian Nasional [UN].
Ia berkata, ide terkait kembalinya UN merupakan “aspirasi masyarakat, bukan pernyataan kami.”
Kemendikdasmen, kata dia, “fokus mempertahankan kebijakan yang baik dan memperbaiki yang perlu penyempurnaan.”
“Kami akan melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ada, namun keputusan terkait UN belum menjadi prioritas,” katanya.
Abdul berkata, pihaknya mengutamakan “pendekatan pembelajaran yang menyeluruh, bukan hanya berfokus pada ujian atau angka.”
Ia juga berkata, “kami lebih mengutamakan pembelajaran yang holistik, di mana para siswa tidak hanya mengejar angka atau nilai di atas kertas.”
“UN bukan satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan,” katanya.
Kesejahteraan dan Distribusi Guru
Isu lain yang juga dibahas dalam rapat kerja itu adalah terkait kesejahteraan dan distribusi guru.
Abdul berkata, pihaknya akan mengalokasikan anggaran untuk peningkatan kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada tahun depan.
Ia juga menyoroti distribusi guru “yang masih belum merata, terutama di daerah terpencil.”
Ia mengklaim pihaknya menghadapi kendala regulasi dalam menempatkan guru di daerah-daerah yang sangat membutuhkan.
“Distribusi dan penempatan guru honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja [P3K] masih terkendala regulasi yang rumit,” katanya.
Abdul mengatakan beberapa peraturan seperti UU ASN, UU Otonomi Daerah, dan UU Guru dan Dosen “masih menjadi bahan perdebatan dalam pelaksanaan distribusi guru.”
Karena itu, kata dia, “kami masih harus menyinkronkan regulasi-regulasi ini agar bisa membuat kebijakan penempatan yang lebih merata.”
Ia mengaku “ketimpangan distribusi guru tetap menjadi tantangan besar di berbagai wilayah Indonesia.”
“Rasio guru dan murid sebenarnya sudah ideal, tetapi masalahnya adalah pada distribusi yang tidak merata,” katanya.
Abdul mengatakan pihaknya akan mengundang kepala dinas pendidikan se-Indonesia untuk berdiskusi tentang distribusi guru, termasuk P3K dan zonasi pada 11 November.
“Mudah-mudahan, dengan masukan dari para kepala dinas dan dukungan dari anggota Komisi X DPR, kita bisa merumuskan solusi yang lebih baik,” katanya.
Abdul juga menyoroti “keluhan guru agama di sekolah umum yang merasa tidak diprioritaskan dalam sistem pendidikan dan menjadi seperti anak tiri.”
Guru agama, kata dia, “menghadapi kesulitan dalam memperoleh sertifikasi,” bahkan “ada yang harus menunggu hingga 40 tahun untuk mendapatkannya.”
“Hal ini sangat tidak adil dan akan menjadi prioritas kami,” katanya.
Karena itu, “kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama untuk mencari solusi terbaik bagi guru agama agar mereka mendapat perhatian yang layak dan bisa mendapatkan sertifikasi dengan lebih cepat.”
Kendala Infrastruktur
Abdul juga menyoroti soal proyek infrastruktur pendidikan yang selama ini “justru dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum, bukan langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.”
Pengelolaan semacam itu, memicu banyaknya “pembangunan infrastruktur yang tidak terlaksana dengan baik.”
Karena itu, “kami mengusulkan solusi moderat berupa pembagian tanggung jawab antara Kementerian Pendidikan dan Kementerian Pekerjaan Umum sehingga proyek-proyek dapat berjalan secara paralel.”
“Misalnya, sebagian nominal dianggarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan sebagian lagi oleh kami,” katanya.
“Dengan cara ini, proyek-proyek bisa dikerjakan secara paralel dan pencapaiannya akan lebih cepat,” tambahnya.
Abdul berharap “dengan dukungan dari Komisi X DPR RI, program-program ini dapat berjalan lebih lancar dan efisien.”
Ia menegaskan “pendidikan seharusnya tidak hanya fokus pada pembangunan sekolah fisik, tetapi juga pada pemberian akses belajar yang lebih luas bagi masyarakat.”
Ia berkata, “pendidikan tidak harus di sekolah karena belajar bisa dilakukan di mana saja.”
“Ini penting untuk daerah-daerah yang jaraknya jauh dan jumlah penduduknya sedikit. Terlalu mahal jika kita mendirikan sekolah di setiap titik,” katanya.
Abdul berkata, Kemendikdasmen juga mendorong inisiatif “Kedaulatan Bahasa Indonesia” untuk menumbuhkan kebanggaan berbahasa Indonesia di kalangan generasi muda.
Karakter bangsa, kata dia, tidak dibangun dengan teori, tetapi dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif di mana “generasi muda bangga dan mahir menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.”
Ia berharap agar Komisi X DPR “terus mendukung upaya Kemendikdasmen dalam membangun pendidikan yang lebih baik bagi generasi penerus bangsa.”
“Sinergi antara kementerian dan DPR sangat penting untuk memajukan pendidikan kita. Kami berjanji akan terus melakukan perbaikan demi masa depan anak-anak Indonesia,” katanya.
Editor: Herry Kabut