Warga TTU Unjuk Rasa di Kantor Bupati, Desak Batalkan Perubahan Mutis Jadi Taman Nasional

Unjuk rasa pada 14 November itu merupakan aksi jilid dua, setelah jilid pertama pekan lalu

Floresa.co – Masa dari sejumlah organisasi mahasiswa dan masyarakat adat di Kabupaten Timor Tengah Utara [TTU] menggelar unjuk rasa pada 14 November, bagian dari rangkaian upaya perlawanan terhadap perubahan status kawasan di Gunung Mutis menjadi taman nasional.

Berlangsung di kantor DPRD dan Bupati TTU, massa aksi sekitar 500 orang merupakan gabungan dari 12 elemen gerakan, termasuk Aliansi Cipayung Plus dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Timor.

Masyarakat adat yang ikut berasal dari dua desa, Noepesu dan Fatunero dan beberapa daerah sekitar.

Yusuf Sela, koordinator aksi berkata kepada Floresa, unjuk rasa ini merupakan tindak lanjut dari aksi pertama pada 7 November.

Pada waktu itu, kata dia, anggota DPRD tidak lengkap dan pimpinan mereka DPRD tidak ada serta tidak sempat bertemu Pelaksana Tugas Bupati.

Karena itu, “hari ini kita lakukan aksi jilid dua,” katanya.

“Kami masih dengan tuntutan yang sama, yaitu menolak dengan tegas peralihan status Cagar Alam Mutis Timau menjadi taman nasional,” tambah Yusuf.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] mengumumkan penetapan Taman Nasional Mutis Timau pada 8 September, mengubah status kawasan itu dari sebelumnya sebagai Cagar Alam Mutis Timau.

Pengumuman dilakukan secara daring bersama Tim Bezos Earth Fund  – lembaga filantropi berbasis di Amerika Serikat – melalui teleconference dari Denpasar, Bali.

Di salah satu titik kawasan taman nasional seluas 78.789 hektare itu, sekelompok warga juga ikut serta. Mengenakan pakaian adat, mereka berdiri di depan sebuah poster berukuran besar, dengan tulisan ‘Deklarasi Taman Nasional Timau.’

Deklarasi tersebut menuai kritikan warga adat dari berbagai elemen di Timor yang menyebut KLHK mengambil keputusan sepihak.

Hal itu pula yang menjadi alasan aksi warga TTU pada 7 dan 14 November.

Yusuf Selan mempersoalkan hasil kajian dan rekomendasi tim terpadu yang dibentuk KLHK untuk penetapan taman nasional itu. Hasil kajian tim itu menjadi rujukan terbitnya Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 946 Tahun 2024 tentang perubahan status Mutis Timau.

Alasannya, kata dia, tim itu tidak memperhatikan partisipasi yang memadai dari komunitas adat di Timor.

Sementara itu Agustinus Bau, salah satu usif – sebutan untuk pemimpin di wilayah Timor  – yang juga anggota Forum Sejarah dan Budaya Timor berkata, penolakan terhadap taman nasional itu mengacu pada empat alasan.

Pertama, keputusan KLHK tidak representatif dan tidak melibatkan komunitas Timor serta masyarakat adat secara keseluruhan.

Kedua, kata “Mutis” berasal dari kata “Mumtis” yang berarti lengkap.

Karena itu, katanya, “pengambilan keputusan yang dilakukan secara sepihak tidak mewakili kepentingan dan kearifan lokal.”

Ia khawatir bahwa perubahan status kawasan itu membuat “semua aktivitas masyarakat adat akan terhambat dan terganggu.”

Ketiga, kata Agustinus, deklarasi pada 8 September yang diikuti sekelompok masyarakat, dilakukan tanpa adanya musyawarah bersama dengan masyarakat adat dan komunitas Timor lainnya.

Keempat, secara tradisi, “Mutis memiliki nilai sakral sebagai tempat akhir peristirahatan leluhur Timor dan tidak boleh diganggu oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah.”

Ia pun khawatir bahwa sejumlah ritual adat masyarakat adat yang sudah dipertahankan beratus-ratus tahun terancam.

Agustinus Bau (tengah) bersama masyarakat adat Mutis Babnain sebelum ikut dalam unjuk rasa pada 14 November 2024. (Dokumentasi Agustinus Bau)

Pemkab TTU Ikut Tolak Kebijakan KLHK

Desakan massa aksi dalam aksi itu membuat mereka bisa bertemu dengan Pelaksana Tugas Bupati, Eusabius Binsasi.

Dalam dialog di halaman kantor itu, Eusabius menyatakan, Pemerintah Kabupaten TTU juga ikut menolak kebijakan KLHK.

“Kami akan segera lengkapi [surat penolakan] dengan alasan-alasan kenapa kita menolak,” katanya.

Ia tidak merinci poin-poin alasan yang akan diajukan, hanya menyatakan pihaknya sudah mendiskusikannya, termasuk sebelum ia bertemu dengan massa aksi.

Eusabius berkomitmen alasan-alasan itu disusun dalam bentuk kajian, lalu dikirimkan ke KLHK.

Kajian itu, katanya, dirampungkan paling lambat tujuh hari lagi.

Alasan Perubahan Jadi Taman Nasional

Protes terhadap kebijakan KLHK sudah muncul semenjak September.

Dalam sebuah wawancara dengan Floresa pada akhir September, Arief Mahmud, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] NTT menampik keresahan warga.

BBKSDA NTT ditunjuk oleh KLHK sebagai pengelola sementara Taman Nasional Mutis Timau sebelum pembentukan Balai Taman Nasional Mutis Timau yang berada di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Arief mengklaim perubahan jadi taman nasional malah untuk perlindungan kawasan dan justru memberi payung hukum bagi aktivitas warga adat yang selama ini “ilegal.” 

BKKSDA juga mengakui kawasan itu akan dikembangkan untuk pariwisata, berdasarkan sistem zonasi yang penetapannya akan melibatkan masyarakat setempat.

“Yang dicemaskan [warga] itu ketakutan yang tidak berdasar, ketakutan yang belum terjadi, pemerintah itu kan gak ingin merusak, kawasan mana yang pemerintah mau merusak?” katanya dalam wawancara via telepon.

Pernyataan Arief kala itu merespon laporan Floresa sebelumnya tentang kekecewaan warga di sekitar Mutis terhadap KLHK.

Salah satunya disampaikan Aleta Kornelia Baun, aktivis perempuan asal Lelobatan, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

“Negara mau ambil apa dari hutan ini?” kata Aleta. 

“Hutan itu hutan keramat bagi masyarakat adat, karena di dalamnya ada tempat-tempat ritual,”  tambahnya..

Dicky Senda, penulis dan aktivis pangan dari Komunitas Lakoat Kujawas, Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan berkata, akar dari keputusan sepihak KLHK adalah “pemerintahan yang korup,” yang membuat aturan-aturan untuk “kepentingan dan niat jahat di kawasan Mutis.”

Kecurigaan warga beralasan karena “sudah banyak pengalaman kebijakan, undang-undang dan berbagai aturan yang dibuat sepihak, minim sosialisasi dan tidak melalui kajian yang melibatkan publik,” katanya.

Kritikan juga datang dari Forum Sejarah dan Budaya Timor Pusat [FSBT] yang meminta KLHK meninjau kembali putusannya.

Sekretaris Umum FSBT, Eben Tusalakh mencap kebijakan KLHK sebagai “tamparan keras terhadap tatanan adat, kearifan lokal budaya Mutis sekaligus keberlangsungan alam Mutis bagi generasi Timor pada umumnya.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA