Floresa.co – “Negara mau ambil apa dari hutan ini?”
Aleta Kornelia Baun mengungkap kekecewaannya pada langkah pemerintah yang baru-baru ini menurunkan status kawasan hutan konservasi di Gunung Mutis dan sekitarnya dari cagar alam menjadi taman nasional.
Aktivis perempuan asal Lelobatan, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan itu mengibaratkan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] tersebut “seperti pencuri” yang datang untuk mengambil sesuatu dari harta warisan leluhur masyarakat adat.
“Hutan itu hutan keramat bagi masyarakat adat, karena di dalamnya ada tempat-tempat ritual,” kata Aleta, 64 tahun, kepada Floresa pada 23 September.
Menteri LHK, Siti Nurbaya mengumumkan penetapan Taman Nasional Mutis Timau pada Minggu, 8 September, mengubah status kawasan itu dari sebelumnya sebagai Cagar Alam Mutis Timau.
Pengumuman dilakukan secara daring bersama Tim Bezos Earth Fund [BEF] – lembaga filantropi berbasis di Amerika Serikat – melalui teleconference dari Denpasar, Bali.
Di salah satu titik kawasan taman nasional baru itu, sekelompok warga juga ikut serta. Mengenakan pakaian adat, mereka berdiri di depan sebuah poster berukuran besar, dengan tulisan ‘Deklarasi Taman Nasional Timau.’
Siti mengklaim, taman nasional itu “bukan hanya menjadi paru-paru bagi Nusa Tenggara Timur,” tetapi juga simbol sekaligus implementasi penting upaya “melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, berkeadilan dan bertanggung jawab demi generasi mendatang.”
Seperti dikutip dari siaran pers KLHK, katanya, penetapan taman nasional tersebut merupakan komitmen pemerintah melindungi flora dan fauna endemik.
Ia menggambarkan kawasan itu sebagai “penyedia sumber obat-obatan, madu alam, sumber pewarna untuk tenun, sumber air, lokasi ritual adat serta pemanfaatan tradisional lainnya yang telah berjalan secara turun temurun.”
KLHK menyatakan warga dari 40 desa di sekitarnya akan dilibatkan dalam pengelolaan kawasan “sebagai subjek,” untuk “peningkatan ekonomi.”
Warga Adat Tak Dilibatkan
Sejumlah klaim KLHK dikritisi warga adat karena mengambil Keputusan tanpa melibatkan mereka.
Aleta Baun berkata, ia dan warga di Lelobatan tahu kabar deklarasi itu dari pemberitaan media massa.
Ia memprotes deklarasi yang dilakukan diam-diam, apalagi berlangsung pada hari Minggu.
Menteri Siti “tahu bahwa pada hari itu di NTT semua orang sedang ibadah di Gereja.”
“Kalau memang ada penurunan status, harus didiskusikan dulu dengan masyarakat, apakah masyarakat yang tinggal di sekitar situ, setuju atau tidak,” katanya.
Ia menyesalkan keputusan yang tidak melalui “duduk bersama,” hanya melibatkan sebagian orang.
Padahal, kata Aleta, kawasan Mutis tidak hanya milik kelompok tertentu, tetapi “seluruh orang NTT, sehingga perlu dibicarakan bersama-sama sebelum mengambil keputusan.”
“Negara baru lahir tahun 1945, sedangkan nama Mutis tidak diberikan oleh negara atau Menteri Lingkungan Hidup. Itu nama dari leluhur,” katanya.
“Negara tahu ko tidak,” katanya, bahwa “masyarakat yang jaga Mutis supaya dia bisa mensuplai sumber kehidupan kepada manusia.”
Sementara itu, Dicky Senda, penulis dan aktivis pangan dari Komunitas Lakoat Kujawas, Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan berkata, akar dari keputusan sepihak KLHK adalah “pemerintahan yang korup,” yang membuat aturan-aturan untuk “kepentingan dan niat jahat di kawasan Mutis.”
Kecurigaan warga beralasan karena “sudah banyak pengalaman kebijakan, undang-undang dan berbagai aturan yang dibuat sepihak, minim sosialisasi dan tidak melalui kajian yang melibatkan publik.”
Ia menyebut contoh Undang-undang Nomor 32 tahun 2024 tentang Perubahan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat, “alih-alih memperkuat posisi mereka untuk kerja-kerja konservasi.”
Kebijakan terkait konservasi sumber daya alam, kata Dicky kepada Floresa, seharusnya pertama-tama mempertimbangkan pengakuan secara mendasar terhadap identitas masyarakat adat.
Salah satunya adalah dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sudah diusulkan sejak 2003 dan naskah akademiknya telah disusun sejak 2010.
“Yang terjadi di level akar rumput adalah saling curiga, pro dan kontra warga adat yang satu dan yang lain karena proses yang tidak transparan dan partisipatif bagi semua, tidak adil bagi semua,” katanya.
“Selain kesal, kami juga bingung, kawasan itu pematokan lokasinya dari mana sampai di mana?” kata Teodorus Tefa, warga adat dari Desa Noepesu, Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara yang masuk dalam kawasan tersebut.
Ia dan warga desa lainnya menyayangkan pengambilan keputusan “yang tidak melakukan sosialisasi secara utuh kepada semua kalangan warga adat.”
“Yang ada di sekitar Mutis itu bukan hanya satu suku adat, tetapi sangat banyak dan tersebar di tiga kabupaten, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Kupang,” kata Teodorus, 50 tahun.
“Pemerintah datang hanya bertemu satu suku saja, sementara itu bukan hanya mereka punya. Pemerintah ambil keputusan sepihak untuk merusak alam dan situs budaya.”
Ia menyebut kawasan Gunung Mutis sebagai “jantung peradaban orang Timor.”
Selain sebagai “sumber air dan dimanfaatkan warga untuk bertani, berkebun dan beternak,” kawasan itu juga “tempat ritual” yang “menjamin keberlangsungan hidup kami.”
Kesakralan kawasan tersebut “benar-benar dijaga oleh warga”, misalnya dengan “menanam dan memelihara pohon, tidak sembarangan masuk ke dalamnya, dan tidak memotong sembarangan pohon berkayu.”
“Masing-masing usif atau tetua adat bertanggung jawab menjaganya, termasuk melarang secara ketat aktivitas warga yang berpotensi merusak dalam kawasan itu,” lanjutnya.
Kepala Desa Noepesu, Yosef Mamo, 54 tahun menambahkan, pemerintah tidak pernah melakukan sosialisasi kepada warga desa.
Informasi penurunan status “sangat mengagetkan kami,“ katanya.
Ia menyebut strategi peningkatan ekonomi yang disebut KLHK dengan perubahan status jadi taman nasional tidak bisa diterima begitu saja oleh warga adat.
Selama ini, katanya kepada Floresa, prioritas warga adalah “mengutamakan kelestarian alam Mutis,” tidak sekedar memikirkan keuntungan ekonomi dari kawasan itu.
Forum Sejarah dan Budaya Timor Pusat [FSBT] yang mengklaim beranggotakan 46.504 orang ikut melayangkan protes, meminta KLHK meninjau kembali putusannya.
Sekretaris Umum FSBT, Eben Tusalakh mencap kebijakan KLHK sebagai “tamparan keras terhadap tatanan adat, kearifan lokal budaya Mutis sekaligus keberlangsungan alam Mutis bagi generasi Timor pada umumnya.”
Upaya Berulang Ubah Status Gunung Mutis
Kawasan Taman Nasional Mutis Timau memiliki luas 78.789 hektare, meliputi tiga wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Kupang seluas 52.199 hektare, Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 22,313 hektare serta Kabupaten Timor Tengah Utara seluas 4.277 hektare.
Kawasan tersebut mengandung hutan alam yang didominasi Ampupu [Eucalyptus urophylla], tumbuhan endemik Indonesia yang penyebaran alaminya berada di NTT.
Kawasan tersebut juga menjadi habitat 88 spesies burung, delapan di antaranya adalah burung yang dilindungi, seperti Perkici Timor [Trichoglossus euteles].
Delapan spesies mamalia juga hidup di kawasan itu. Dua di antaranya – Kus-kus [Phalanger orientalis] dan Rusa Timor – masuk kategori dilindungi.
Kawasan itu juga habitat bagi 13 spesies herpetofauna, termasuk Biawak Timor dan Sanca Timor yang dilindungi.
Selain keanekaragaman flora dan fauna, Mutis juga daerah tangkapan air dari 17 Daerah Aliran Sungai, sumber air untuk masyarakat di tiga kabupaten sekitar.
Sebelum terbitnya keputusan KLHK, upaya penurunan status Cagar Alam Mutis Timau sudah berulangkali dicanangkan pemerintah.
Pada 2021, rencana itu batal akibat gelombang protes warga adat di sekitarnya.
Kepala Desa Noepesu, Yosef Mamo berkata, kala itu warga menolak dengan alasan yang sama, ingin menyelamatkan fungsi ekologis dan budayanya.
Teodorus Tefa, warga adat Desa Noepesu berkata, mereka sempat menyampaikan aspirasi melalui Yohanis Fransiskus ‘Ansy’ Lema, anggota DPR RI dari daerah pemilihan NTT 2, yang salah satunya meliputi Pulau Timor.
Penolakan direspons KLHK dengan pembatalan rencana itu pada Februari 2021.
Kendati sudah dinyatakan batal pada awal 2021, isu penurunan status Cagar Alam Mutis terus menerus bergulir.
Pada Oktober tahun yang sama, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi NTT yang berada di bawah KLHK memulai kembali upaya penurunan statusnya.
Warga adat kembali menolak rencana itu, disusul penyampaian kembali aspirasi oleh Ansy dalam Rapat Dengar Pendapat dengan KLHK pada 24 November 2021, di mana ia meminta KLHK untuk tidak mengutak-atik kawasan Mutis.
“NTT yang sudah miskin air, kekurangan air jangan lagi dirusak dengan taman wisata alam, yang pasti akan terjadi pembongkaran,” kata Ansy dalam rapat tersebut.
Dalam pernyataan pers pada 9 September, KLHK mengklaim tindak lanjut penurunan status kawasan tersebut dilakukan lagi setelah pada awal 2023 muncul usulan dari Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Ia merupakan politisi Partai Nasdem, seperti halnya Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar.
Berdasarkan usulan tersebut, kata KLHK, Menteri Siti membentuk tim terpadu dengan anggota dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Universitas Nusa Cendana Kupang, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT serta unsur KLHK, baik di tingkat pusat maupun Unit Pelaksana Teknis di NTT.
Hasil kajian dan rekomendasi tim itulah yang kemudian mendorong penerbitan Surat Keputusan Nomor 946 Tahun 2024 tentang status Taman Nasional Mutis Timau.
Ansy Lema, yang kini sudah mengundurkan dari DPR RI, ikut kaget dan protes dengan keputusan terbaru KLHK.
“Saya mempertanyakan secara sungguh bagaimana komitmen KLHK pada saat rapat bersama Komisi IV DPR RI telah memutuskan bahwa status Cagar Alam Mutis tidak pernah akan diturunkan,” katanya dalam video yang diunggah pada akun Instagram dan Facebooknya pada 16 September.
Kesepakatan untuk tidak menurunkan status tersebut, kata Ansy, hingga kini “belum pernah direvisi atau dievaluasi.”
“Tidak pernah terjadi konsultasi dengan masyarakat sekitar, terutama para tua adat, usif, dan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan Cagar Alam Mutis,” katanya dalam video itu.
Khawatir Nasib Mutis ke Depan
Perubahan status kawasan itu akan berdampak terhadap keberadaan flora dan fauna, mengingat ada perbedaan mendasar antara cagar alam dan taman nasional, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
Meski sama-sama berfungsi melindungi keanekaragaman hayati, cagar alam mengharuskan perkembangan alami flora dan fauna dan tidak terbuka bagi berbagai aktivitas, termasuk wisata dan rekreasi.
Sedangkan taman nasional didefinisikan sebagai “kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.”
Aleta mengkhawatirkan dampak keputusan KLHK bagi masa depan kawasan Mutis, seperti Nasib pohon-pohon endemik, satwa endemik, mata air, hingga situs adat yang selama ini dipelihara warga adat.
“Mutis itu adalah ‘gunung air’, yang menampung dan menyuplai air, bukan hanya untuk warga Indonesia, tetapi juga sampai ke Distrik Oekusi di Timor Leste,” katanya.
Keputusan KLHK, kata Dicky Senda, mengorbankan masyarakat yang posisinya lemah di hadapan pemerintah, sebagaimana yang telah terjadi di berbagai taman nasional lainnya di Indonesia.
“Kecurigaan masyarakat selalu terbukti dengan begitu banyak kasus perampasan tanah, kriminalisasi masyarakat adat, penyerobotan dan pembatasan akses,” katanya.
Ia juga menyebut narasi pemerintah terkait perubahan status kawasan demi “memberi ruang dan hak masyarakat adat mengelola ruang hidupnya” patut dicurigai.
Dalam banyak kasus di kawasan konservasi yang berubah jadi taman nasional, “kepentingan elit politik, investor lebih kuat di tataran ini.”
“Masyarakat adat yang paling lemah dan mudah dikriminalisasi,” katanya.
Sementara itu Yosef Mamo berkata penurunan status kawasan tersebut berpotensi buruk bagi kelestarian alam “yang sudah kami jaga sejak zaman nenek moyang.”
“Kawasan itu oleh Orang Timor dianggap sebagai rumah adat yang memberikan kehidupan untuk semua masyarakat,” katanya.
Di dalam kawasan, kata dia, “penuh dengan nilai kearifan lokal yang dilestarikan sebagai tempat ritual yang sangat sakral, misalnya Wae Kanaf atau air marga dan Faot Kanaf atau batu marga.”
“Tidak bisa orang masuk sembarang, tidak bisa melakukan hal-hal yang tidak sesuai ketentuan adat, misalnya tebang pohon sembarangan, apalagi sampai membakarnya,” katanya.
Ia menambahkan, kekhawatiran terhadap nasib kawasan itu juga terkait dengan informasi pengelolaan berbagai taman nasional di Indonesia yang “alamnya sudah berubah dan rusak akibat investasi, yang sebelumnya diciptakan Tuhan untuk kita lestarikan.”
“Di taman-taman itu terbalik, Tuhan sudah ciptakan baik, kita malah merusaknya,” katanya.
Editor: Ryan Dagur