Warga Adat di Flores Ikut Gugat Revisi UU Konservasi yang Dinilai Cederai Rasa Keadilan

Mikael Ane menganggap suara warga adat jarang didengar pemerintah, yang berakibat pada sengketa berkepanjangan di sekitar hutan lindung

Floresa.co – Warga adat di Flores yang pernah dipenjara karena konflik tapal batas lahan dengan pemerintah bergabung dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum mengajukan uji materi Undang-Undang [UU] tentang konservasi yang menurutnya “telah mencederai rasa keadilan bagi komunitas adat di tanah leluhur sendiri.”

Mikael Ane, warga adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai Timur bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI] dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [KIARA] mendaftarkan permohonan uji materi itu ke Mahkamah Konstitusi pada 19 September. Sejumlah organisasi ini merupakan bagian dari Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan.

Mereka mendaftarkan pengujian formil atas terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya [UU KSDAHE 32/2024].

“Pengujian formil ini dilakukan karena ada persoalan dalam konteks penyusunan UU 32/2024 yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020,” kata pemohon.

Setidaknya, menurut mereka, ada tiga alasan permohonan uji materi UU itu, yakni idak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta tidak memenuhi asas keterbukaan.

Para pemohon misalnya menyatakan UU 32/2024 tidak mengatur persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan [Padiatapa] atau Free, Prior, Informed Consent [FPIC].

Padahal, kata mereka, FPIC merupakan hak fundamental warga adat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah adatnya tanpa paksaan.

Karena itu, mereka menilai pembentukan UU 32/2024 berpotensi membuat negara mengabaikan kewajiban untuk menghormati [to respect], melindungi [to protect], dan memenuhi [to fulfill] hak-hak warga adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Mikael Ane berkata kepada Floresa keikutsertaannya dalam permohonan ini karena “kami yang mewarisi dan merawat tanah ini, tetapi suara kami jarang didengar pemerintah.”

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi menilai UU KSDAHE “dibentuk tanpa partisipasi penuh dan efektif warga adat.”

Padahal, “warga adatlah kelompok masyarakat yang paling terdampak UU tersebut.”

Alih-alih melindungi warga adat, revisi UU itu “telah menegasikan keberadaan warga adat, bahkan berpotensi kuat merampas tanah komunal dan mengkriminalisasi komunitasnya melalui perluasan preservasi.”

Organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum yang tergabung dalam Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan menggugat revisi UU Konservasi yang disahkan pada 9 Juli. Dokumen gugatan berupa judicial review diserahkan ke Mahkamah Konstitusi pada 19 September. (Dokumentasi Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan)

Revisi UU KSDAHE disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 9 Juli. 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut UU tersebut “akan menjadi warisan instrumen hukum nasional guna menjawab tantangan zaman terkait konservasi dan sumber daya alam.”

Sementara itu, Manajer Kajian Kebijakan WALHI, Satrio Kusma Manggala menyatakan “UU 32/2024 secara formil tidak sesuai dengan sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UUD 1945.

“WALHI telah menyampaikan catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE pada tanggal 25 Juni 2024 di Gedung DPR RI dan hingga hari ini tidak mendapatkan alasan dan kejelasan kenapa masukan-masukan kami tidak diakomodasi dan tidak direspons,” kata Satrio.

Ia juga berkata, para pemohon tidak bisa mendapatkan akses dokumen hasil rapat atau proses pembahasan UU 32 tahun 2024 itu.

Selain itu “prosesnya tak kami temukan melalui web DPR.”

Pemerintah, kata Satrio, “mestinya melibatkan warga adat serta organisasi masyarakat sipil untuk duduk bersama guna merumuskan ketentuan dalam UU tersebut,” hal yang tidak terjadi sepanjang pembahasan rancangannya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Gakkum] Rasio Ridho Sani menyebut pengesahan revisi UU tersebut turut memperkuat kewenangan penyidik di instansinya. 

Penguatan kewenangan itu termasuk “untuk menangkap, menahan, menggeledah dan menyita dalam tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem.”

Rukka dari AMAN berkata, “pembentuk undang-undang seharusnya tidak memandang masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai ancaman dalam penyelenggaraan konservasi, melainkan sebagai aktor utama dan sejajar yang dapat bekerja sama dengan pemerintah.”

Karena itulah, para pemohon dan Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU 32/2024 atau setidaknya memerintahkan pembentuk UU melakukan perbaikan dan  melibatkan masyarakat adat, komunitas lokal dan pihak-pihak yang memiliki fokus isu pada konservasi.

Siapa Mikael Ane?

Mikael Ane berada di dalam tahanan selama 14 bulan, usai ditangkap pada 28 Maret 2023.

Penangkapan terjadi dua tahun sesudah ia mendirikan rumah di atas tanah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari kawasan Taman Wisata Alam Ruteng.

Kawasan itu mencakup hutan hujan di wilayah pegunungan seluas 32.248 hektar yang melintasi dua kabupaten di Flores bagian barat – Manggarai dan Manggarai Timur.

Pengadilan Negeri Ruteng memvonisnya satu tahun enam bulan penjara pada 5 September 2023. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider enam bulan tahanan.

Rumahnya kemudian disita, sementara kebun kopi–yang berada di lereng belakang rumah sekaligus sumber penghidupan satu-satunya keluarganya–jadi tak terurus.

Setelah kalah saat banding ke Pengadilan Tinggi Kupang, ia diputus lepas oleh Mahkamah Agung pada 6 Mei. Ia dinyatakan tidak melakukan pelanggaran pidana, sehingga “lepas dari segala tuntutan hukum.” Hakim juga memerintahkan pemulihan harkat dan martabatnya.

Putusan itu menjadi landasan pengajuan praperadilan Mikael pada Agustus ke Pengadilan Negeri Ruteng untuk ganti rugi dan pemulihan nama baik terhadap Gakkum Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Polres Manggarai Timur, Kejaksaan Negeri Manggarai dan Kementerian Keuangan.

Menyatakan bahwa negara telah menerapkan hukum yang keliru hingga membuatnya dibui, ia menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp98.500.000 dan imateriil Rp450.000.000.

Namun, setelah lima hari sidang berturut-turut, hakim tunggal yang menyidangkan perkara tersebut, Carisma Gagah Arisatya, memutuskan “tidak menerima” permohonan praperadilan Mikael.

Carisma menyatakan “wewenang lembaga praperadilan terbatas pada hal-hal yang sifatnya prosedural.”

Berbicara kepada Floresa pada 19 September malam, Mikael berharap “keadilan sosial yang ada dalam sila kelima Pancasila dapat juga kami rasakan, bukannya terlibat dalam sengketa berkepanjangan.”

Belasan bulan dibui, Mikael–pencari nafkah utama keluarganya–kini mulai mengurus kembali kebun kopinya “tanpa sepeser pun dana.”

Ia belum bisa mengupah kerabat untuk membantunya memangkas dahan yang terlalu tinggi, juga membeli pupuk.

“Semua saya kerjakan sendiri,” katanya, “entah akan sekuat apa bekerja sendirian di kebun yang sudah berbulan-bulan saya tinggalkan karena dibui negara.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA