Warga Adat di Flores Gugat Presiden dan DPR Terkait RUU Masyarakat Adat yang Tak Kunjung Disahkan

Ada 10 penggugat, tujuh di antaranya sedang berada dalam penjara, termasuk Mikael Ane, anggota komunitas adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai Timur.

Baca Juga

Floresa.co – Salah satu anggota komunitas adat di Flores, yang sedang berada dalam penjara karena konflik lahan dengan pemerintah, merupakan seorang dari kelompok warga yang menggugat Presiden Joko Widodo dan DPR RI karena tidak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang [RUU] Masyarakat Adat.

Gugatan itu didaftarkan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN] ke Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] pada 25 Oktober 2023.

Mikael Ane, 57 tahun, anggota komunitas adat Ngkiong, Desa Ngkiong Dora, Kecamatan Lamba Leda Timur, Kabupaten Manggarai Timur yang divonis 1,6 tahun penjara pada bulan lalu adalah salah satu dari 10 penggugat.

Sembilan di antara penggugat adalah perwakilan komunitas adat dari berbagai wilayah, sementara satu lainnya perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN].

Dari sembilan komunitas adat itu, tujuh orang di antaranya yang saat ini sedang dipenjara, termasuk Mikael.

Gugatan diajukan karena “RUU Masyarakat Adat yang berproses sejak 2009 hingga kini tak ada kepastian,” kata Ermelina Singereta, Manajer Litigasi PPMAN kepada Floresa pada 29 Oktober. Ermelina juga termasuk satu dari tiga kuasa hukum Mikael.

RUU Masyarakat Hukum Adat telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas [Prolegnas Prioritas] DPR pada 2022. Namun, RUU itu tak juga naik ke tingkat II atau paripurna.

Kesepakatan anggota DPR membawa suatu RUU ke tingkat paripurna mengindikasikan tahap pembahasan dengan pemerintah yang berbuah pada pengesahannya sebagai UU.

Melalui gugatan tersebut, PPMAN menilai “badan dan/atau pejabat pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum [onrechtmatige overheidsdaad].”

Pembentukan UU Masyarakat Hukum Adat mengacu Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yang intinya berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.”

Pengesahan UU tersebut, kata Ermelina “merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara.”

Menurutnya, ketiadaan undang-undang [UU] perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat menyebabkan “mereka rentan mengalami kriminalisasi.”

Selain itu, kata Ermelina, “mereka akan kehilangan tanah ulayat dan, yang terburuk, kehilangan identitas adat.”

AMAN mencatat 301 kasus perampasan wilayah adat selama lima tahun terakhir. Sementara PPMAN mendata selama Januari-September 2023 telah terjadi 12 kasus kriminalisasi terkait konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.

“Hidup di tanah ulayat sendiri, anggota komunitas adat seperti Mikael dengan mudahnya dipenjara,” kata Ermelina.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada Rabu, 25 Oktober 2023. (Dokument PPMAN)

Kasus Mikael

Pengadilan Negeri Ruteng menjatuhkan hukuman terhadap Mikael pada 5 September.

Selain divonis penjara 1,6 tahun, ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider 6 bulan kurungan.

Dalam putusannya, hakim menyatakan Mikael bersalah lantaran membangun rumah di lokasi yang oleh pemerintah diklaim tercakup dalam Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng, yang berada di bawah Bidang Konservasi dan Sumber Daya Alam II Ruteng.

Ini merupakan vonis penjara kedua untuk Mikael. Delapan tahun lalu, ia menerima vonis setahun penjara lantaran menebang pohon berkayu dalam kawasan TWA Ruteng.

Kawasan konservasi seluas 32.245,6 hektare itu membentang di wilayah pegunungan mencakup 57 desa di sembilan kecamatan yang masuk wilayah administratif dua kabupaten. Masing-masing Manggarai dan Manggarai Timur, yang terletak di sisi barat Pulau Flores.

Di Manggarai Timur, wilayah TWA Ruteng meliputi Lembah Colol dan Ngkiong Dora. Keduanya merupakan sentra kopi di kabupaten tersebut.

Mikael ditangkap pada 28 Maret 2023. Sejak itu ia tak pernah pulang, hingga akhirnya disidang dan divonis.

Ia merupakan bagian dari komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat Ngkiong. Disebut “mengidentifikasi diri” karena keberadaan mereka belum diakui dalam rezim hukum Indonesia. Rekognisi negara atas keberadaan masyarakat adat dinyatakan melalui peraturan daerah [Perda]. 

Perda Kabupaten Manggarai Timur Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat mengatur proses rekognisi masyarakat adat di kabupaten tersebut. 

Secara berurutan, prosesnya adalah [1] pembentukan panitia masyarakat hukum adat, [2] identifikasi masyarakat hukum adat, [3] verifikasi dan [4] validasi.

Setahun kemudian, Bupati Manggarai Timur Agas Andreas menerbitkan Surat Keputusan bernomor HK/57/Tahun 2021 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kecamatan Lamba Leda Timur.

Pada tahun yang sama, panitia masyarakat hukum adat “mengidentifikasi Ngkiong sebagai satu dari empat masyarakat adat di Manggarai Timur,” kata Ermelina.

Namun, “entah kenapa prosesnya mentok di situ. Tak ada kejelasan hingga hari ini.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini