Floresa.co – “Tangan berdarah, muslihat, amis, licik, licik. Bunuh dalam gelap. Mengambil yang bukan milik. Merampas yang bukan hak. Maka bangunlah bara dan merah.”
“Jauh di atas langit, tempat asal leluhur kami, terjadi perang yang mengguncang langit di antara para dewa yang menguasai semesta. Maka, turunlah tiga leluhur manusia.”
“Yang satu membawa teknologi perkapalan. Yang satunya membawa rumah adat, yang satu lagi membawa senjata perang. Setelah perang yang dahsyat di langit dan berlanjut sampai di bumi, mereka lalu mengikat diri dalam perjanjian damai. Bahaya.”
“Maka tak ada lagi perang seperti siang dan malam, panas dan dingin, itulah dua yang menyatu. Saling menjaga, saling melawan.”
Penggalan dialog itu muncul dari tiga pelakon Nara Teater Larantuka dalam pementasan mereka bertajuk “Ibu Tanah.”
Berdurasi empat puluh menit, pementasan tersebut digelar di Taman Kota Swaolsa Tite, Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata pada 19 Juli.
Pementasan melibatkan 15 pelakon, yang berbagi peran sebagai warga biasa, prajurit, orang tua, saudagar kolonial dan raja kecil bentukan bangsa kolonial.
Sepanjang pementasan, keseluruhan dialog mengangkat tema perampasan tanah antara kelompok pro dan kontra.
Berbicara kepada Floresa usai pementasan, Silvester Petara Hurit, penulis naskah sekaligus sutradara, berkata, pementasan “Ibu Tanah” adalah “sajian kecil dari penggalian tentang narasi-narasi orang-orang kalah yang hendak mempertahankan tanah dari perampasan.”
Lewat pementasan itu “pelakon membagikan kegelisahan mereka tentang ingatan panjang mengenai upaya untuk tetap menjaga tanah, laut dan langit.”
“Pembicaraan tentang perampasan masih sangat relevan hari ini. Jangan sampai kita tertipu pada segala janji manis kesejahteraan, tapi ujung-ujungnya hanya meninggalkan luka akibat konflik internal,” kata Sil-sapaannya.
Sejarah Kolonial, Sejarah Perampasan
Sil menjelaskan, konteks naskah “Ibu Tanah” berangkat dari penelusuran sejarah tanah dalam mitologi Lamaholot, di mana “tanah digambarkan sebagai ibu yang melahirkan, memangku dan memelihara manusia.”
Lamaholot merujuk pada bahasa dan budaya di bagian timur Flores, yang mencakup Larantuka, Solor, Adonara dan Lembata.
Ibu tanah atau “Ina Tana” dalam budaya Lamaholot “masih dianggap suci dan karenanya harus dijaga sebaik-baiknya oleh masyarakat,” katanya.
Pada tanah, kata dia, “ada sekian kehidupan yang saling berinteraksi, saling topang membentuk mata rantai kehidupan. Dalam kepercayaan orang Lamaholot, tanah sebagai ibu yang senantiasa berbagi dengan sabar dan penuh kasih.”
Namun, menurut Sil, di satu sisi pencaplokan dan perampasan atas tanah berwujud “penjajahan terus hadir dalam model baru seperti mengeksploitasi, memecah-belah dan menciptakan ketergantungan terhadap budaya konsumtif.”
Ia menyebut fenomena ini terjadi karena “sistem kekuasaan yang dibentuk raja dan tuan tanah sejak era kolonial yang melahirkan dominasi dan penguasaan sumber daya ekonomi secara timpang.”
“Sejak lama, sistem penguasaan tanah warga dipengaruhi sistem kolonialisme Eropa,” kata Sil.

Ia mengaku berani mementaskan naskah itu karena “para penguasa kerap mencaplok tanah warga, menciptakan rasa ketakutan, hingga menggerus iman dan secara perlahan mengusir mereka dari tanah leluhur.”
“Pengerukan sumber daya produktif dan kekayaan alam terus terjadi selama ini. Saya melihatnya dalam konteks tanah dikuasai, laut dikapling, tanah dibor atas dalil kesejahteraan. Masalah seperti ini mengancam kehidupan masyarakat kita,“ kata Sil.
Ia menyebut sektor vital kerap dicaplok, seperti pertanian, pendidikan dan kesehatan.
Masyarakat yang berada dalam ketiga sektor ini pun tunduk pada permainan pasar karena “dipengaruhi dominasi elit kekuasaan dan partai politik, lembaga gereja dan para investor.”
Dengan kehadiran dan peran kuat lembaga-lembaga besar itu, muncul masalah besar seperti migrasi secara masif, di mana “anak tanah keluar dari kampung halamannya dan menjadi buruh kasar pembantu rumah tangga di tanah orang.”
Sementara di satu sisi, “bertambah juga jumlah investor dan institusi-institusi korporat besar yang datang menguasai ibu tanah.”
Ekses kehadiran mereka adalah “warga semakin susah punya akses atas tanah.”
“Elit kita hanya memperpanjang sistem buruk warisan kolonial. Buktinya, distribusi kekayaan tetap saja timpang. Masyarakat terpecah antara pro dan kontra, kadang bertikai hanya karena kepentingan yang diciptakan pihak luar,” kata Sil
“Kita pun bertanya, narasi pembangunan untuk siapa? Kampanye politik, pidato pembangunan, sidang di lembaga Perwakilan Rakyat dan khotbah di mimbar-mimbar keagamaan untuk siapa? Siapa sesungguhnya yang mereka wakilkan dan perjuangkan?”
Menurut Sil, pembiaran terhadap fenomena ini tanpa disadari “pada akhirnya memperpanjang sistem buruk warisan kolonial, di mana ekonomi penjajah mendominasi ekonomi masyarakat lokal.”
Singgung Energi Terbarukan
Narasi lain yang digaungkan dalam “Ibu Tanah” adalah kritik para pelakon terhadap kerja sama elit lokal dengan kepentingan ‘pihak luar’ yang terus terjadi.
Salah satunya adalah dalam polemik geotermal yang juga hadir di Kecamatan Atadei, Lembata.
Menurut Sil, warga yang terpecah antara pro dan kontra bertikai hanya karena “kepentingan pihak luar memanfaatkan elit setempat dan aparat yang mestinya menjaga dan melindungi masyarakat.”
Selain itu, agama yang seharusnya menjadi kekuatan pembebas, justru “berkontribusi menggerus iman masyarakat lokal pada ibu tanahnya.”
Senada dengan Sil, Herman Yosep Ola Maran, salah satu pelakon yang berperan sebagai saudagar kolonial berkata, “kendati dalam konteks berbeda, penjajahan-penjajahan berwajah kolonialisme masih kuat terjadi di masyarakat.”
Ia menyebut contoh perairan laut di Flores yang telah “dikapling dan sebagian tanah dijual warga semata demi meraup keuntungan tanpa mempertimbangkan manfaatnya bagi anak cucu di masa depan.”
“Terhadap masalah pengkaplingan ini, masyarakat kerap terbius dengan janji-janji para penguasa dan korporat. Namun, hanya bisa pasrah jika menghadapi masalah yang berkaitan dengan tanah mereka,” kata Hero, sapaannya.
Sementara Rin Letizia, salah satu tokoh protagonis berkata “perannya menarasikan ibu tanah menggambarkan situasi warga hari ini yang rentan dengan kesedihan karena tanahnya dirampas.”
Pada bagian akhir pementasan, Rin menyuarakan narasi yang mengkritik peran penguasa dan korporat dalam merampas tanah warga.
“Kenapa kalian bertengkar untuk hal yang tak buatmu lebih mulia. Lihat tanahmu, makin dikuasai lembaga dan orang-orang berduit,” demikian salah satu penggalan narasinya.
Ia menambahkan, “budaya konsumtif disuntikkan ke nadimu, iman pada ibu tanah digeruskan dengan mimpi-mimpi tanah yang jauh. Lihat hari ini, perusahaan asing membangun perkebunan di tanahmu dan menggali lautmu.”
Tanahmu, lanjutnya, “digali, dibor atas nama energi terbarukan. Yang punya kepentingan entah ada di mana, sementara sesama kalian terpecah dalam ketegangan antara pro dan kontra, saudara lawan saudara.”
Kendati akan digarap oleh orang-orang berpengetahuan “narasi pembangunan atas nama kemajuan kerap mengorbankan masyarakat kecil.”
“Semua itu umumnya terdengar baik di awal, tetapi ke depan kita tidak tahu seperti apa?,” kata Rin.
Rin berkata, narasi “Ibu Tanah” relevan di Lembata di tengah polemik soal proyek geotermal.
Sil berharap, pesan dari pementasan ini bisa sampai kepada “mereka yang mengerti dan memahami konteks persoalan hari ini.”
Ia berkata, naskah “Ibu Tanah” dapat menjadi pembanding untuk melihat peristiwa yang punya kemiripan dengan kondisi Lembata.
Dari pementasan ini, kata dia, kita “bisa berpikir kritis untuk melihat bentuk kolonialisme yang datang dari luar.”
Editor: Petrus Dabu