Floresa.co – Harapan warga di Kecamatan Lamba Leda agar Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) membangun jembatan di Wae Laing hingga kini masih belum terwujud.
Padahal, bagi warga sekitar, terutama di Kampung Lompong, Desa Golo Lembur jembatan itu sangatlah vital.
Namun, hingga kini harapan mereka belum dijawab oleh Pemkab Matim di bawah kepemimpinan Bupati Yosep Tote dan Wabub Andreas Agas.
Sungai Wae Laing membelah ruas jalan utama penghubung Benteng Jawa, ibukota Kecamatan Lamba Leda menuju Lamba Leda Timur dan Kecamatan Sambi Rampas.
Dua Fundasi Keropos
Di sungai itu, pemerintah sudah pernah merintis pembangunan jembatan permanen.
Ini terlihat dari adanya fondasi utama setinggi kurang lebih tujuh meter.
Dua fundasi itu dibangun pada tahun 2007, saat Matim belum dimekarkan dari kabupaten induk, Manggarai. Kini, dua fondasi itu sudah dikelilingi lumut dan tampak keropos.
Akibat tidak adanya jembatan, warga yang melintasi Wae Laing harus tabah menghadapi situasi sulit, terutama kala musim hujan tiba.
Wajah merengut dan mengeluh sudah jadi langganan ekspresi warga yang melewati sungai ini.
Air sungai yang meluap saat banjir menyulitkan warga untuk melintas, apalagi medan di sekitar sedikit terjal.
Setiap kali musim hujan dan air sungai tampak begitu ganas, warga hanya bisa melihat dengan tatapan nanar dua fundasi yang pernah dibangun itu.
Dulu, mereka berharap, sebuah jembatan kokoh akan segera hadir ketika 2007 silam pembangunan dua fondasi itu dimuali. Namun, ternyata, hingga kini, pembangunan jembatan itu tak kunjung dilanjutkan.
Penantian dan harapan panjang warga belum juga dijawab oleh Pemkab Matim. Padahal, beberapa kali warga meminta kepada pemerintah dan DPRD Matim. Namun, tak ada respon, tak ada kabar baik.
Bertaruh Nyawa
Marselinus Ten, warga asal Kampung Lompong menagatakan kepada Floresa.co belum lama ini, mereka sangat kecewa dengan situasi ini.
“Bagi kami di sini, Jembatan Wae Laing sangat penting. Memang aspal sudah mulai dibangun di sini. Namun, tanpa jembatan ini akses transportasi masih sulit,” ujar Marselinus.
Ia menambahkan, warga Lompong terpaksa membuat jembatan bambu agar bisa melewati sungai Wae Laing saat musim hujan.
Apalagi, beberapa anak-anak SMP asal Lompong tiap hari melewati sungai itu untuk pergi ke sekolah.
Memang ia mengakui, tingkat resiko saat melewati jembatan bambu yang dibuat warga sangat tinggi, di mana mereka harus bertaruh nyawa di jembatan itu.
“Mau tidak mau, anak-anak sekolah terpaksa melewati jembatan bamboo itu,” kata Marselinus seraya menunjuk jembatan bambu dari arah jalan raya.
Selain anak-anak SMP yang melewati sungai Wae Laing, tiap hari sejumlah petani pun menjalankan rutinitas yang sama.
Sebab, lokasi kebun dan sawah berada di seberang Sungai Wae Laing. (ADB/Floresa)