Ritual-ritual Ini Dilakukan Petani Manggarai Saat Menggarap Lahan

Penti, salah satu upacara adat Manggarai  di Kampung Wisata Wae Rebo (Foto: Ist)
Penti, salah satu upacara adat Manggarai di Kampung Wisata Wae Rebo (Foto: Ist)

Floresa.co – Bagi masyarakat Manggarai yang bercorak agraris, kebun atau ladang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tak heran tradisi syukuran atau mohon berkat atas kebun  dalam periode tertentu, mewarnai dinamika hidup suku di ujung barat Pulau Flores ini.

Seiring dengan perubahan zaman, banyak di antara generasi muda daerah ini yang tak lagi mengenal bahkan sudah melupakan upacara-upacara adatnya sendiri.

Sebenarnya, kalau dimaksimalkan seperti yang dilakukan masyarakat Bali, upacara-upacara adat ini bisa menjadi kekayaan wisata budaya di  tanah Manggarai, yang dikenal juga dengan sebutan Tana Congka Sae.

Berikut tujuh ritual adat petani di Manggarai mulai dari pembukaan lahan hingga syukuran atas panen, yang diolah Floresa.co dari berbagai sumber.

1. Lea Lose

Lea lose adalah upacara (adak) saat membuka kebun baru. Adak yang dipimpin tua teno (ketua adat yang bertanggung jawab dalam urusan tanah ulayat) ini bertujuan untuk meminta restu para pemilik atau penjaga hutan yang sebentar lagi dijadikan kebun. Lea lose penting, selain memohon berkat dari nenek moyang, juga menghindari beo (kampung) dari bala yang mungkin ditimpakan si empunya hutan.

2. Benco Raci

Setelah hutan dibuka, biasa disebut rimu (tebang hutan) dan dibakar, tua teno atau setiap pemilik kebun, mengadakan adak benco raci. Adak ini dibuat sebelum menanam padi atau jagung di lahan yang sudah disiapkan. Tujuannya untuk memohon berkat atas benih baru.

3. Wasa

Wasa diadakan saat padi atau jagung berumur sekitar 1-2 bulan untuk memohon perlindungan dan berkat atas benih yang sudah tumbuh. Maklum, saat-saat seperti ini jagung atau padi menjadi incaran kera atau babi hutan.

Sawah Lodok, model sawah khas Manggarai, mirip jaring laba-laba.
Sawah Lodok, model sawah khas Manggarai, mirip jaring laba-laba.

4. Oli

Oli adalah adak memohon berkat kesuburan atas seluruh tanaman dari wura agu ceki (nenek moyang suku).  Ada dua jenis oli, yaitu oli beo dan oli uma weru (kebun baru). Oli beo dibuat di kampung dan oli uma weru dibuat di kebun baru. Kedua jenis oli ini dipimpin oleh tua teno, yang ditandai dengan penanaman satu biji jagung di natas beo (halaman kampung) oleh tua teno. Kemudian, sang tua teno melempar sebuah biji pinang yang sudah dibelah ke udara. Apabila kedua belah biji pinang jatuh dalam keadaan terbuka, maka itu menandakan  seluruh tanaman di kebun akan bertumbuh subur. Tapi, kalau salah satu atau kedua belah biji pinang jatuh dalam keadaan tertutup, maka seluruh tanaman ditengarai tidak akan bertumbuh sesuai dengan harapan. Saat adak oli, warga beo biasanya menanak nasi dalam bambu yang dibakar, biasa disebut tapa kolo.

5. Hang Latung Weru dan Hang Rani

Kedua adak ini dibuat untuk menandakan jagung dan padi siap dipanen.  Sebelum adak ini dibuat, setiap pemilik kebun atau siapa saja tidak boleh memanen jagung atau mengetam padi. Biasanya dikenal istilah “tako le anak koe” untuk orang-orang yang diam-diam memanen jagung di kebunnya sebelum adak ini dibuat.

6. Penti

Penti merupakan adak untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen dan kehidupan, yang telah dilalui selama satu tahun terakhir. Upacara ini juga sebagai ungkapan mohon perlindungan serta keharmonisan untuk kehidupan yang akan datang. Penti biasanya dilakukan saat dimulainya kegiatan berladang (wulang cekeng).  Adak ini biasanya diisi dengan upacara adat, pemberkatan, serta atraksi budaya yang sangat unik, seperti caci (tarian ketangkasan).  (ARS/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini