Ini Kisah Patung Sang Penenun Flores yang Terdampar di Australia

Patung Penenun Flores yang saat ini berada di Museum Nasional Australia (Foto: Ist)
Patung Penenun Flores yang saat ini berada di Museum Nasional Australia (Foto: Ist)

Floresa.co – Menenun memang sudah menjadi tradisi orang Flores sejak berabad-abad lampau. Setidaknya, ini terkonfirmasi  oleh keberadaan sebuah patung dengan nama “Sang Penenun”.

Sayangnya, patung yang terbuat dari perunggu dan berusia 14 abad ini tidak lagi berada di tanah leluhurnya, tapi kini berada di museum Galeri Nasional Australia (National Gallery of Australia, NGA).

Patung dengan tinggi 25,8 cm, kedalaman 22,8 cm dan lebar 15,2 cm, ini menggambarkan seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. Sementara kedua kakinya berselonjor. Di atas kedua kakinya itu membentang alat tenun ikat.

Bagi sebagian besar orang Flores, penampakan semacam ini tentu tak asing lagi. Patung ini menggambarkan kehidupan perempuan Flores, terutama di desa-desa. Sebagaimana perempuan pada umumnya, mereka memiliki kewajiban untuk menyusui anak.

Di zaman dulu eksistensi perempuan Flores, terutama pada suku-suku tertentu, menjadi kian berarti ketika mereka memiliki keterampilan menenun. Menenun bukan sekadar kegiatan ekonomi tetapi juga memiliki nilai budaya sekaligus makna spiritual-magis.

Bagaimana kisah patung Sang Penenun ini bisa nyasar hingga ke negeri Kanguru?

Prof Ronny Rachman Noor dari Atase Budaya dan Pendidikan KBRI Australia, dalam artikelnya beberapa waktu lalu mengatakan sejak diberitakan di The Australian, koran nasional Australia, Sang Penenun (The Bronze Weaver) telah menjadi topik hangat pembicaraan dunia.

NGA membeli patung yang telah berusia 1.400 tahun itu  pada tahun 2006 dari seorang kolektor pribadi di Swiss dengan harga US$ 4 juta.

Siapakah Sang Penenun sebenarnya?

Prof Rony dalam artikela yang dia kirim ke detik.com pada Oktober lalu  itu menjelaskan, berdasarkan publikasi dari Ruth Barnes dari Museum Asmolean Museum di Oxford, Inggris yang diterbitkan di Oxford Asian Textile Group Newsletter No 37 Juni 2007, diperkirakan patung perunggu ini dibuat antara tahun 556-596.

“Patung mungil ini dinilai sangat unik karena menggambarkan sejarah perkembangan teknik menenun. Tergambar secara rinci baris dan lajur benang tenun dan juga motif tenun khas Flores pada alat tenun yang ada dipangkuannya,” tulis Prof Rony.

Disamping itu, lanjut dia, kombinasi tahun pembuatan dan juga bahan pembuatan patung ini membuat Sang Penenun semakin unik dan berharga sehingga pada tahun 2006 dinobatkan sebagai “Master Piece of the 6th Century of Indonesia Sculpture “ oleh NGA.

Keberadaan Sang Penenun, jelas Prof Rony dalam artikelnya itu, sebenarnya sudah dikenal lebih dari 30 tahun yang lalu berdasarkan publikasi dari Marie Jeane (Monnie) Adams di Asian Perspective (volume 22 tahun 1977), akan tetapi baru diterbitkan pada tahun 1979.

Pada saat itu Monnie berpendapat bahwa Sang Penenun adalah milik salah satu suku di Flores dan memiliki kesamaan dengan karakteristik ukiran kayu yang merupakan bagian dari budaya asli Indonesia yang tidak tersentuh oleh budaya India.

“Pada tahun 1977, Sang Penenun pernah difoto dalam pelukan seorang warga Larantuka Selatan. Selanjutnya pada tahun 1996 foto tersebut diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Fragile Traditions, Indonesian Art in Jeopardy, karya Paul Michael Taylor, yang sekarang adalah Direktur the Smithsonian’s Asian Cultural History Program,” tulisnya.

Dari lokasi yang ditunjukkan oleh Monnie di artikelnya, selanjutnya pada tahun 1982 Ruth Barnes melakukan penelitiannya di Flores Timur, Solor dan Lembata. Pada saat melakukan penelitian lapangan itu, Barnes menemukan fakta bahwa Sang Penenun menghilang dari desa tempat asalnya dan sudah berada di pasar antik internasional.

Rumor tentang lenyapnya Sang Penenun sebenarnya telah beredar di Jakarta pada tahun 1982. Beberapa saat kemudian, tepatnya tahun 1984, Sang Penenun berada di Laboratory of Archaeology and the History of Art, Oxford Research Laboratory untuk ditentukan tanggal pembuatannya.

Prof Rony mengatakan, Sang Penenun, walaupun memiliki ukuran yang relatif kecil, akan mengundang decak kagum bagi orang yang melihatkan karena akan membawa angan kita kembali ke kehidupan pada abad keenam.

“Sang bayi yang tidak diketahui jenis kelaminnya ini tengah menyusu pada ibunya sambil memegang baju ibunya. Celana yang dipakai oleh Sang Penenun panjangnya hanya sedikit di bawah lutut yang merupakan ciri khas pakaian wanita di daerah terpencil di Indonesia terutama di Kalimantan. Kalung yang dipakai Sang Penenun cukup sederhana dengan anting besar dan memakai pakaian tradisional setempat,” tulisnya.

Alat tenun sederhana yang digunakan Sang Penenun, menurut Prof Rony,  masih dapat kita jumpai di daerah terpencil di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan analisis pakar dari NGA tampaknya pembuat patung ini sangat mengetahui teknik menenun, sehingga alat tenun yang ada dipangkuan Sang Penenun dibuat demikian akuratnya.

“Fakta ini menunjukkan bahwa teknik menenun yang ada di Flores sudah ada sejak jaman perunggu. Berdasarkan detail postur tubuh patung tersebut, diduga pembuat patung ini adalah seorang laki-laki,”tulisnya.

Menurut kurator dari NGA, Sang Penenun merepresentasikan seni spesifik gender dari jaman animisme di kawasan Asia Tenggara di mana logam dan tekstil, sebagaimana aspek budaya lainnya, menggambarkan jagat raya ganda dimana nenek moyang dipercayai berpasangan.

“Dalam ritual yang berhubungan dengan kemakmuran dan kelangsungan hidup di tengah ketidakpastian dunia, kombinasi elemen laki-laki dan perempuan dianggap menguntungkan dan produktif,”tulisnya.

Pada era tersebut karakteristik patung laki-laki digambarkan sebagai figur yang keras, tegas dan tajam dengan warna lebih cerah cerah dan terkait dengan kegiatan di luar rumah. Hal ini sangat berbeda dengan gambaran patung perempuan yang digambarkan lebih sejuk, halus, lembut , berwarna gelap dan lebih banyak melakukan aktivitasnya di rumah .

Para pakar seni visual berpendapat bahwa Sang Penenun mengambarkan teknik lebur logam yang sangat tinggi yang digambarkan dengan kelenturan dan kelembutan pakaian yang dikenakannya dan kain yang sedang ditenunnya.

“Tidak bisa disangkal lagi terkadang kejujuran ilmiah baik yang diterbitkan dalam bentuk tulisan di jurnal maupun buku yang memuat benda-benda purbakala warisan bangsa dapat sangat bermanfaat sebagai bentuk konservasi informasi budaya. Di lain pihak publikasi ini apalagi mencantumkan lokasi dimana benda budaya tersebut berada dapat pula sebagai awal dari petaka karena dapat digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk mencuri dan memperdagangkannya,” jelas Prof Rony.

Prof Rony, dan juga mungkin masyarakat Indonesia terutama orang Flores berharap agar Sang Penenun yang sangat unik ini dapat kembali ke pangkuan pertiwi. (PTD/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini