Provinsi Flores: Ketika Para Elit Bertarung Melawan Kemustahilan

Floresa.co – Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Flores (P4F) sudah menyelenggarakan kongres kedua di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat, (20/3/20015).

Kongres yang dihadiri oleh seluruh kepala daerah dan pimpinan DPRD kabupaten se-daratan Flores ini, menghasilkan sembilan kesepakatan, diantaranya adalah pembentukan daerah persiapan provinsi dengan nama Provinsi Kepulauan Flores.

Kongres pertama yang diselenggarakan di Bajawa, Kabupaten Ngada, 26 Februari setahun silam,  menghasilkan kesepakatan kurang lebih senada dengan kongres kedua di Mbay, bahwa sudah saatnya Flores harus menjadi sebuah provinsi demi pelayanan maksimal kepada rakyat dan terwujudnya kesejahteraan bersama.

Benarkah demikian? Pembentukan daerah otonomi baru dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lebih banyak mitos ketimbang faktanya.

Simak saja catatan Kementerian Dalam Negeri, sejak daerah otonom baru (DOB) yang terbentuk  pada 1999 hingga sekarang 60% di antaranya belum mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan mensejahterahkan rakyatnya.

Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, selama ini, dinamika pembangunan di daerah otonomi baru menjauhkan cita-cita desentralisasi dan otonomi daerah.

“Rendahnya akuntabilitas dan visi kebijakan pemekaran tidak hanya mem­bentuk siklus kebijakan koruptif di daerah, sebagaimana tergam­bar dari banyak kebijakan antipublik dari lembaga-lembaga formal, tapi juga merugikan kepentingan masya­rakat di wilayah hasil peme­karan,” kata  Kumolo.

Selain pemborosan anggaran untuk melayani keperluan dan fasilitas dinas (kantor, mobilitas, dan pengi­sian jabatan pada lembaga-lembaga baru di daerah), lanjutnya, pelayanan publik di daerah baru juga cenderung stagnan, bahkan memburuk.

“Pada ujungnya, cita-cita mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal makin jauh panggang dari api,” pungkasnya.

Apakah kelak Provinsi Flores bernasib demikian? Jawabannya, bisa ya atau tidak. Jawaban ini tentu masih abu-abu karena Provinsi Kepulauan Flores belum tentu terwujud atau mustahil terwujud dalam waktu dekat.

Mengapa? Pemekaran Provinsi NTT tidak terdapat dalam Desain Besar Penataan Daerah (Desertada) sampai 2025 yang menjadi rujukan pemerintah melakukan pemekaran daerah baru.

Hal ini diungkapkan oleh pengamat Otonomi Daerah yang sekaligus Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. Ia menilai pemekaran NTT  sangat mustahil minimal untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Menurutnya, pemerintah pusat sedang berupaya mengerem laju pembentukkan DOB yang selama ini dinilai tidak berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dia mengatakan, Kemendagri sudah membuat Desertada periode 2010 sampai 2025. Dalam Desertada itu, Indonesia akan memiliki 44 provinsi dan 541 kabupaten atau kota hingga tahun 2025, meningkat dari keadaan saat ini, di mana hanya terdapat 34 provinsi dan 508 kabupaten atau kota.

“Apalagi, Provinsi NTT tidak termasuk dalam usulan 87 DOB yang ditangguhkan pembahasannya oleh DPR Periode 2009-2014. Usulan DOB ini harus sesuai dengan Desertada,” jelasnya.

Selain itu, Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah “mengerem” gelombang pembentukan daerah otonomi baru.

Sekali lagi menurut Endi Jaweng, semangat tersembunyi dengan pemberlakukan UU ini sebenarnya mengendalikan laju DOB  yang berdasarkan evaluasi pemerintah tidak terlalu berdampak positif untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks ini, sebenarnya Provinsi Kepulauan Flores masih sebatas mimpi para peserta kongres pembentukan Provinsi  Kepulauan Flores.

Jangan-jangan usaha pembentukan Provinsi Kepulauan Flores hanya untuk memenuhi ambisi politik peserta kongres yang notabene adalah elit-elit politik lokal.  Dugaan ini tentu beralasan  dan patut diskusikan jika melihat pengalaman sejumlah daerah pemekaran baru.

Menurut Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Wahidin Halim (11/12/2014), selama ini tidak sedikit DOB diusulkan berdasarkan pertimbangan politik demi meraih kekuasaan.

Hal yang sama diungkapkan  oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai  yang melarang Christian Rotok, Bupati Manggarai untuk menandatangani surat dukungan pembentukan Provinsi Flores pada 28 Januari 2015 lalu.

Ketua GMNI Cab. Ruteng Fabianus Apul mewanti-wanti, jangan sampai  pembentukan Provinsi Flores hanya untuk kepentingan elit saja.

Wanti-wanti  Fabianus tentu beralasan jika melihat kondisi masyarakat kecil yang katanya nasibnya diperjuangkan dan akan lebih baik jika provinsi ini terbentuk, tidak mendapat perhatian dari elit-elit politik lokal (bupati dan wakil bupati) yang gembar-gembor memperjuangkan Provinsi Flores.

Lucu, ketika para elit ini mengusung bendera kesejahteraan rakyat dalam perjuangan pembentukan Provinsi Flores yang masih samar-samar, tetapi saat ini, dimana mereka sedang mengemban amanat rakyat  yang riil sebagai kepala daerah dan wakil rakyat, mereka belum mampu membawa daerahnya lebih dekat ke pintu kesejahteraan.

Lebih menggelikan lagi, ketika dinamika politik nasional dan peraturan yang ada belum membuka pintu untuk DOB, para elit politik Flores masih saja berjuang untuk sesuatu yang mustahil dan menutup mata terhadap persoalan-persoalan riil yang ada di Flores.

spot_img

Artikel Terkini