Mengapa Mutu Pendidikan Kita Selalu Jeblok?

sekolah rusak

Oleh: JIMMY HYERONIMUS

Tentu bukan baru dan mengejutkan bahwa sektor pendidikan formal kita masih saja dilanda krisis. Bahkan, saat ini kualitas pendidikan di Indonesia berada di urutan 102 dari 162 negara. Sedangkan sesama negara Asia, seperti Vietnam berada pada posisi 101 dan Malaysia menempati urutan ke-49. Padahal sebelumnya,  orang Malaysia lebih banyak belajar di Indonesia (Kompas, 12/3/2014).

Data tersebut memperlihatkan kualitas pendidikan yang saban hari kian melorot, baik untuk konteks Asia maupun prestasi di pentas Internasional.

Mengapa mutu pendidikan kita jeblok?  Menurut saya, hal ini pertama-tama dipicu oleh sistem dan manajemen pendidikan kita yang masih amburadul. Sistem yang kita gunakan selama ini belum mampu menyentuh inti terdalam pendidikan an sich. Hal ini de facto terjadi di seluruh Indonesia, dan jelas dialami oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pula.

Bahkan, untuk konteks Indonesia, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mutu pendidikan NTT hampir selalu menempati posisi buntut.

Dalam tulisan kecil ini, saya hanya mencoba merefleksikan realitas pendidikan secara umum. Dalam hal ini, diandaikan bahwa realitas pendidikan NTT bisa dikonfrontasikan dan dilihat berdasarkan refleksi umum tersebut.

Secara khusus, saya merefleksikan persoalan pendidikan nasional dengan bertitik-tolak dari implemantasi kurikulum yang tampak tersentralisasi dan implikasi kurikulum tersebut terhadap cara belajar siswa, juga mengenai ekspektasi untuk prospek belajar siswa ke depan.

Kurikulum-Sentris

Ranah pendidikan kita tidak mengalami perkembangan dari waktu ke waktu karena terlalu sibuk mengurus kurikulum. Gonta-ganti kurikulum dan pemberlakuan kurikulum yang tersentralisasi tanpa memperhatikan aspirasi dan kebutuhan setiap daerah mencerminkan pola pendidikan Indonesia menyerupai sistem “coba-coba”.

Stakeholders  di negeri ini melihat seolah-olah tolok ukur kemajuan pendidikan adalah pergantian kurikulum yang terus-menerus dan pelaksanaannya yang rigid.

Padahal, standar pendidikan nasional tidak dapat dicapai hanya melalui uniformitas kurikulum saja. Apalagi dalam kenyataannya banyak orang yang dipusingkan karena kurikulum.

Para pendidik tampak “diatur” sedemikian rupa untuk bekerja hanya demi melayani kurikulum ketimbang melayani kebutuhan fundamental siswa.

Dalam hal ini, aktivitas pendidikan dan pengajaran lebih cocok dilihat sebagai suatu kegiatan sosialisasi dan percobaan kurikulum. Akibatnya, bukan mutu yang diperoleh atau dihasilkan, melainkan justru kegagalan dan kebingungan.

Karena terlalu memfokuskan diri pada upaya penuntasan target kurikulum, maka banyak aspek esensial yang mestinya diperhatikan dalam pendidikan, terabaikan.

Aspek psikomotorik dan afektif yang merangsang kegiatan kreatif dan inovatif peserta didik tidak diperhatikan lagi. Guru hanya sibuk menghabiskan materi pelajaran, tanpa memikirkan apakah siswa dapat mencerna secara maksimal atau tidak.

Para siswa pun demikian, mereka hanya bekerja ‘menghafal’ semua materi yang telah diterima dari guru demi kesuksesan dalam ujian semester dan Ujian Nasional (UN). Orientasinya bukan pada problem solving tapi kelulusan dalam ujian.

Para sisiwa hampir tidak pernah dilatih untuk mengerjakan tugas mandiri atau membuat penelitian ilmiah dalam skala kecil demi pengembangan ilmu dan wawasan.

Kenyataan miris ini sangat terasa di NTT, di mana anak-anak hanya bergumul dengan “catatan-catatan” hasil ramuan gurunya. Pendidikan semacam ini yang disebut Paulo Freire, seorang pedagog Brasil, sebagai “pendidikan gaya bank”.

Model pendidikan semacam ini memposisikan siswa tak ubahnya sebagai “bank”, tempat guru-guru mendepositokan modal pengetahuannya.

Dalam hal ini, parameter keberhasilan pendidikan terletak pada sukses atau tidaknya prosesi transmisi pengetehauan, bukan pada soal apakah proses transmisi tersebut membentuk pemahaman dan cara berpikir dalam diri siswa.

Akibatnya, kegiatan pendidikan tidak pernah maju-maju,  siswa bermental instan, tidak bisa berpikir kritis dan divergen serta orientasi belajarnya hanya pada pengejaran hasil, sementara prosesnya dinafikan.

Demikian juga halnya dengan peran guru yang tidak lebih dari pelayan kurikulum.

Metode Ujian yang Katrok

Masih ada persoalan lain mengenai kurikulum, yaitu menyangkut metode dan implementasi ujian. Salah satu sisi implemantasi kurikulum (KBK dan KTSP) adalah pemberlakuan Ujian secara masif untuk semua siswa (dari tingkat SD sampai SMA/MA) di seluruh Indonesia, atau yang kita kenal dengan sebutan UN.

Praktisnya, kita melihat bahwa implementasi UN yang menggunakan metode ojektif test” (pilihan ganda) de facto mengantar peserta didik pada kubangan mental easy going. Mentalitas ini lambat laun akan menyekap peserta didik pada pola pemikiran yang sempit.

Siswa tidak lagi dirangsang untuk belajar ekstra keras atau membaca buku-buku di persputakaan sebagai literatur alternatif demi pendalaman pengetahuan.

Pelaksanaan ujian yang diberlakukan hanya menuntut siswa untuk memilih dan menentukan jawaban yang telah disediakan.

Siswa tidak perlu memeras otak untuk belajar, berpikir dan beranalisa. Model implementasi ujian yang ada hanya menuntut mereka untuk belajar setengah-setengah.

Siswa tidak dipacu untuk bekerja serius karena dalam ujian, tidak hanya soal yang disediakan, tetapi juga jawaban-jawaban alternatifnya. Siswa tinggal memilih salah satu dari jawaban yang disiapkan. Gampang kan?

Logikanya, sekalipun siswa tidak belajar, ia tetap mampu menyelesaikan ujian karena jawaban sudah disediakan sekalipun hasilnya tidak maksimal.

Dalam hal ini, siswa yang belajar ekstra keras dan yang tidak belajar sama saja. Bahkan, sering kita lihat bahwa siswa yang tekun dan berprestasi justru tidak lulus dalam UN sementara mereka sudah belajar maksimal.

Sementara, di sisi lain, siswa yang tidak belajar atau tidak berprestasi bisa lulus, malah dengan pencapaian maksimal. Dalam tataran ini, implementasi Ujian Nasional terkesan pincang.

Karena modal dasar dalam memberikan jawaban bukan terletak pada kematangan daya kritis dalam beranalisa, melainkan feeling dan kemampuan dalam menebak.

Akibatnya, meskipun seorang siswa memiliki kecerdesan intelektual yang bagus, tetapi kalau ia tidak memiliki ‘daya tebak’ yang bagus, maka akan sia-sialah kecerdasannya dan pasti akan gagal dalam ujian.

Begitu pula sebaliknya, meskipun siswa tidak belajar, tetapi kalau ia memiliki nyali dalam ‘menebak’ jawaban, niscaya ia bisa mengalahkan anak-anak yang cerdas dan bisa mendapat hasil yang memuaskan dalam ujian.

Hal ini sama sekali tidak membantu siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Dan kondisi ini tentu sangat ironis karena esensi pendidikan terjebak pada mekanisme murahan.

Pendidikan yang pada galibnya bertujuan untuk meningkatakan daya berpikir, kreativitas, inovasi, dan semangat eksploratif sisiwa justru berbalik arah, malah mengerdilkan daya kritis, kreatif, eksploratif dan inovatif siswa.

Di sisi lain, pemberlakuan ujian dengan gaya “objektif test” kurang komprehensif. Dikatakan demikian, karena sulit diterima bahwa proses belajar selama tiga tahun (di tingkat SMP dan SMA) hanya diukur dengan durasi waktu 90 menit untuk setiap mata pelajaran UN.

Hal ini berimplikasi pada mental belajar siswa. Siswa tidak lagi menghargai proses dan cederung berorientasi pada pencapaian hasil. Apa lagi dengan adanya perubahan baru yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun ini, bahwa penentu final kelulusan siswa adalah pihak sekolah.

Hal ini, di satu sisi, dapat melahirkan penilaian akurat dari pihak sekolah, di mana prestasi atau kemampuan siswa tidak hanya diukur dari hasil pencapaian UN, tetapi juga dari proses yang bertahun-tahun yang sudah ditempuh siswa.

Akan tetapi, pada ekstrem lain, hal itu juga dapat mengendurkan semangat belajar siswa karena mereka akan berpikir bahwa sekalipun tidak lulus dalam UN, mereka jelas dapat “dibantu” oleh pihak sekolah. Karena itu, siswa hanya belajar setengah-setengah.

Hal ini didukung oleh faktor yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa kalaupun tidak bisa menjawab soal dalam ujian, mereka masih bisa menebak, sehingga siswa yang belajar dan tidak belajar sama saja.

Mereka tetap bisa menggelontorkan jawaban dalam ujian, karena cara memberikan jawaban dalam ujian tidak terlampaui sulit, tinggal menghitamkan salah satu opsi yang  dirasa benar.

Tanpa membaca soal terlebih dahulu pun siswa masih bisa menentukan jawaban. Inilah titik lemah implementasi UN sebagai produk kurikulum kita. Eksesnya, generasi bangsa ini hanya diisi oleh orang-orang katrok dan tidak memiliki integritas diri yang andal.

Harapan

Dunia pendidikan seharusnya menyentuh aspek subtansial dalam dirinya sendiri agar dengan demikian dunia pendidikan dapat mencetak outcome dan generasi bangsa yang berkualitas.

Pendidikan yang substansial berorientasi pada aspek “penyadaran” dan “pemanusiaan” manusia, pembinaan akhlak yang luhur, dan terlebih “pembebasan” manusia dari jerat kebodohan dan kemelaratan.

Hanya dengan sistem pendidikan yang bagus, seseorang akan menjadi kreatif, eksploratif, dan berintegritas dan akan terlepas dari jerat kemelaratannya.

Sudah saatnya pemerintah, masyarakat, dan komponen-komponen penting dunia pendidikan bekerja sama, bahu-membahu untuk membangkitkan kembali mutu pendidikan kita.

Penulis adalah Siswa Seminari Santo Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, Manggarai Barat

spot_img

Artikel Terkini