Warga Luwuk: ‘Kalau Uang dari Jokowi Saya Terima, Tapi Uang dari Investor Saya Tolak’

Baca Juga

Floresa.co – Matahari sudah meninggi saat kami tiba di kampung Luwuk, Jumat, 17 April 2020 lalu.

Gerah dan lelah terasa setelah bersusah-payah mengendalikan sepeda motor yang terseok-seok melintasi jalan berbatu kurang lebih 30 menit dari persimpangan jalan utama jalur pantura Manggarai Timur, tepatnya di jembatan Satar Teu.

Beberapa ruas jalan di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur memang belum tersentuh aspal.

Selain ruas jembatan Satar Teu – Serise – Luwuk yang berjarak kira-kira 5 km itu, jalan tak beraspal juga terlihat di jalur menuju Kampung Lingko Lolok yang dilalui sehari sebelumnya.

BACA JUGA: Warga Lingko Lolok: ‘Kami Tak Mungkin Hidup di Langit Jika Tanah Kami Dikuasai Tambang’

Namun, rasa lelah perlahan-lahan pulih ketika tiba di kampung tepi pantai itu disambut Kontantinus Esa (60) dan beberapa warga lainnya. Kopi hangat, hidangan khas bagi tamu di Manggarai, tak lama menyapa setelah kami duduk mengelilingi meja panjang di ruang tamu rumahnya.

“Ayo pak, kita minum. Pasti haus karena perjalanan jauh dari sana,” kata suami dari Yudita Dias ini.

Beberapa warga lainnya pun datang. Ada Agustinus Fan (35), seorang guru sekolah dasar, dan ibunya Karolina Hinam (63).

BACA JUGA: Investor Tambang Kembali Goda Warga di Sirise, Manggarai Timur

Luwuk merupakan lokasi yang diincar PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai. Dua perusahan yang juga mengincar kampung Lingko Lolok itu akan mendirikan perusahan semen di atas lahan milik warga Luwuk.

“Kami ini sudah berkali-kali didatangi utusan dari pihak perusahan. Diajak, dirayu untuk terima uang dari perusahan,” ujar Kontantinus sambil menyeruput kopi.

Kontantinus memiliki beberapa bidang tanah. Tanah kering berupa ladang dan sawah yang dipanen tiga kali setahun, masuk dalam kawasan yang diincar perusahan tersebut.

Ia mengaku ditawari uang beberapa kali. Ada uang kompensasi senilai Rp20 juta, ditambah lagi dengan uang renovasi rumah senilai Rp30 juta. Jika bersedia menyerahkan lahan ke pihak investor, harga lahan tersebut akan disepakati kemudian. Namun ayah tiga anak ini tetap pada pendiriannya.

“Kalau uang dari Jokowi, itu bapak (presiden) saya. Saya terima, tapi  uang perusahan ini, saya tolak. Saya takut. Banyak rayuannya pak. Itu saja pendirian saya, tolak!” ujarnya.

Di balik sikapnya itu, Konstantinus beralasan, lahan yang dimilikinya saat ini merupakan warisan yang diterima dari orang tuanya dan orangtuanya, juga menerima warisan dari kakek dan nenek.

“Tanah yang saya miliki adalah pusaka dari orangtua saya. Pesan orangtua saya, berapa pun anak dan cucumu, wariskan (tanah) ini. Ini tanah warisan dari kakek nenekmu. Itu pesan yang harus saya taati,” ucapnya.

Ia mengatakan, semua lahan di sekitar Luwuk sudah digarap, sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk mendapatkan lahan yang baru jika lahannya diberikan kepada perusahan.

Kampung Luwuk dihuni oleh 73 kepala keluarga. Mayoritas warganya menyambut baik kehadiran investor. Hanya delapan kepala keluarga yang menolak.

Bagi yang menolak, selain tak ingin kehilangan warisan leluhur yang harus diteruskan ke anak cucu, mereka juga sudah punya pengalaman buruk dengan kehadiran tambang.

“Dampaknya itu paling kurang kita lihat seperti yang ada di Sirise, lingkungan rusak,” kata Agustinus Fan, menyinggung situasi di kampung tetangganya, tempat perusahan tambang mangan pernah beroperasi.

“Masyarakat Serise dulu itu banyak yang sakit karena menghirup udara campur debu. Kemudian sumber air menjadi kering,” tambahnya.

Agustinus Fan, warga lain yang menolak perusahan semen. (Foto: Floresa.co)

Kampung Sirise letaknya di tepi jalan sebelum kampung Luwuk.

Sejak 2009, PT Istindo Mitra Perdana mengeruk mangan dari lahan milik warga Sirise.

Yosep Tote, Bupati Manggarai Timur saat itu, memuluskan kehadiran investor mesti ditentang keras oleh masyarakat adat dan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng.

BACA JUGA: Tote Klaim Tidak Ada IUP Eksploitasi, Tapi Data Dinas ESDM Sebut Ada 2 IUP Eksploitasi

Bekas galian mangan Serise masih terlihat hingga saat ini. Galian yang menganga lebar dan dalam tak ditutup lagi usai masa penambangan berakhir tahun 2013 dan 2017.  Pada bekas galian itu kini tak lagi ditumbuhi pepohonan.

Kisah-kisah tentang retaknya relasi antarwarga hingga kriminalisasi terhadap pihak yang kontra tambang, mewarnai kehadiran investor di wilayah itu.

Agustinus bersama ibunya, Karolina, tak ingin merasakan pengalaman pahit Serise beberapa tahun lalu itu.

Mereka bertekad mempertahankan lahan warisan ayahnya yang telah meninggal beberapa tahun lalu.

“Bapa sudah meninggal. Hanya tinggal tanah. Saya rasa tanah ini kenangan dari bapa untuk kami anaknya. Makanya saya mati-matian menolak rayuan tambang ini,” ujar Agustinus.

Sedikit yang menolak, namun mayoritas warga menerima kehadiran tambang. Salah satu dari 73 keluarga yang mendukung tambang adalah Efridus Suhardi, Ketua RT Luwuk.

Efridus Suhardi, Ketua RT Luwuk. (Foto: Floresa.co)

Ia tampak irit bicara ketika didatangi wartawan di rumahnya. Saat itu, ia duduk santai di bale-bale di bawah pohon depan rumahnya.

“Kami tidak tahu persis. Coba tanya pihak perusahan saja,” ujarnya singkat.

Setelah lama terdiam, ia berujar, “Niat membangun pabrik semen supaya membuka lapangan kerja.”

Kehadiran perusahan yang akan menambang bahan baku untuk pabrik semen itu, lanjut dia, akan membawa kebaikan bagi warga setempat. Namun ketika masih ada warga yang menolak, ia mengatakan itu merupakan hak warga.

Efridus lalu meminta wartawan untuk tidak melanjutkan wawancara ketika ditanya terkait janji-janji kesejahteraan yang disampaikan pihak perusahan.

“Cukup sudah wawancara ini. Saya tidak suka,” ujarnya.

Setelah menyudahi wawancara, tampak dua orang warga lainnya mendekat, berbaur dalam obrolan dengan topik lain.

YOHANES/FLORESA

Terkini