Floresa.co – Pemerintah memutuskan mencabut dan mengevaluasi sejumlah izin pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Izin dua perusahaan yang sudah diberi konsesi bisnis di wilayah Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat termasuk dalam daftar yang akan dievaluasi.
Langkah ini diambil di tengah perlawanan kuat masyarakat sipil dan peringatan dari dunia internasional terhadap komitmen pada upaya konservasi dan pariwisata berkelanjutan di wilayah yang terkenal dengan satwa langka komodo itu.
Lewat Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang terbit pada 5 Januari 2022, dijelaskan bahwa di samping ratusan izin yang dinyatakan dicabut, ada 106 unit perizinan/perusahaan seluas 1.369.567,55 hektar yang membutuhkan evaluasi dan penertiban.
Tugas itu diserahkan kepada Tim Pengendalian Perizinan Konsesi, Penertiban dan Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan bersama Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, dan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Izin usaha bisnis wisata di TNK yang dievaluasi itu merupakan milik PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) dengan SK No.796/Menhut-II/2014 dan milik PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) dengan SK No.7/1/IUPSWA/PMDN/2015.
Lokasi konsensi PT SKL berada di Loh Buaya, Pulau Rinca dengan luas 22,1 hektar, sementara PT KWE di dua lokasi, yakni di Loh Liang, Pulau Komodo seluas 151,94 hektar dan di Pulau Padar seluas 274,13 hektar.
PT SKL diketahui merupakan milik David Makes, Ketua Tim Percepatan Ekowisata Nasional Kementerian Pariwisata, yang juga tercatat sebagai penanam modal di beberapa tempat wisata. Sementara untuk PT KWE, nama Reza Herwindo, putra politisi Setya Novanto – yang kini dipenjara – tercatat sebagai komisaris utama.
Dalam SK-nya, Menteri Siti Nurbaya menyatakan, pencabutan dan evaluasi izin-izin itu mempertimbangan arahan Presiden Joko Widodo pada rapat intern kabinet pada 15 November 2021 tentang pengendalian penertiban perizinan pertambangan, kehutanan dan pertanahan.
Presiden yang ikut mengumumkan kebijakan itu pada 6 Januari menyatakan langkah pencabutan dan evaluasi itu diambil sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar “ada pemerataan, transparan, dan adil untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam.”
Sejak Awal Dilawan Warga
Langkah pemerintah ini diambil di tengah protes yang terus dilakukan oleh masyarakat sipil di Labuan Bajo yang peduli pada konservasi dan pariwisata keberlanjutan TNK. Mereka menganggap keputusan pemerintah untuk memberikan konsesi kepada perusahaan di wilayah TNK atas nama pembangunan pariwisata adalah kebijakan yang ceroboh.
Pada 2018, perlawanan dari elemen masyarakat sipil menjadi sangat intens, dengan menggelar beberapa kali aksi unjuk rasa di Labuan Bajo.
BACA: Elemen Sipil Gelar Aksi di Labuan Bajo Tolak Investasi Dalam Taman Nasional Komodo
Bahkan ketika itu, pada Agustus 2018, perwakilan mereka bertemu langsung dengan Menteri Siti Nurbaya di Jakarta dan mendesak agar izin-izin itu dicabut. Mereka juga mendesak pemerintah mencabut regulasi yang menjadi dasar bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk berinvestasi di kawasan TNK. Kendati dibangun di zona pemanfaatan, masyarakat sipil beralasan, pembangunan sarana pariwisata di dalam TNK akan sangat berbahaya bagi keberlanjutan satwa Komodo.
Aksi perlawanan itu disusul dengan pembongkaran pagar pembatas lahan PT SKL di area Loh Buaya Pulau Rinca, yang akan menjadi lokasi pembanguanan rest area.
Perlawanan masif warga membuat KLHK mengeluarkan Surat Keputusan S.975/T.17/RI/KSA/8/2018 terkait penghentian aktivitas perusahan itu. Namun, warga terus mendesak agar perizinan semua perusahaan itu dicabut.
Mereka terus gencar melakukan kampanye lewat tagar #SaveKomodoNow melalui media sosial dan mendesak Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengethuan dan Kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, UNESCO) untuk mengambil sikap. Hal itu dilakukan karena Taman Nasional Komodo adalah Situs Warisan Dunia (World Heritage Site).
Sikap UNESCO
Perlawanan elemen sipil itu akhirnya mendapat dukungan UNESCO. Dalam kesempatan Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam di Fuzhou, China, pada 16 hingga 31 Juli 2021, UNESCO menyuarakan kekhawatiran terhadap master plan pembangunan pariwisata terpadu yang membayakan keberlajutan konservasi di TNK.
Antara lain yang disorot tajam oleh UNESCO adalah proyek infrastruktur pariwisata super-premium seperti pembangunan sarana-prasarana untuk wisata Jurassic di Pulau Rinca serta konsesi perusahaan-perusahaan swasta di dalam dan sekitar TNK yang berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV) TNK, satu kriteria penilaian untuk penetapan status warisan dunia.
UNESCO juga prihatin soal penilaian dan analisis pemerintah yang minim soal dampak lingkungan dari proyek tersebut, terutama terkait target menarik pengunjung dalam jumlah banyak.
“Informasi pihak ketiga dari negara pihak (Indonesia) mengindikasikan proyek itu menargetkan 500 ribu pengunjung setiap tahun untuk proyek wisata itu telah diajukan. Jumlah itu dua kali lipat dari angka pengunjung sebelum pandemi,” menutut laporan UNESCO. “Ini menimbulkan pertanyaan bagaimana model wisata seperti ini sesuai dengan visi (Indonesia) beralih dari wisata massal ke wisata yang lebih ramah lingkungan.”
UNESCO kemudian meminta Indonesia memberikan lebih banyak informasi terkait proyek wisata tersebut. Namun setelah melakukan tinjauan, pada Oktober 2021 lembaga itu meminta Indonesia menghentikan berbagai proyek itu hingga dokumen terkait analisis dampak lingkungan diajukan dan ditinjau oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Consrevation of Nature, IUCN), organisasi non-pemerintah internasional yang memberikan evaluasi teknis situs warisan dunia kepada UNESCO.
Seperti dilansir Associated Press pada 23 Desember 2021, UNESCO belum mendapat laporan dari pemerintah Indonesia. Guy Debonnet, kepala departemen warisan alam lembaga itu menganggap pemerintah Indonesia tidak transparan soal kajian proyek wisata di TNK.
BACA JUGA: Jokowi dan Babak Baru Perizinan Investasi dalam Kawasan Taman Nasional Komodo
“Negara pihak (Indonesia) tidak memberi tahu kami, seperti yang disyaratkan dalam pedoman operasional (terkait situs warisan dunia). Ini jelas merupakan proyek yang menjadi perhatian, karena kami merasa bahwa dampaknya terhadap nilai universal (taman nasional) belum dievaluasi dengan baik,” tambah Debonnet.
Tidak Sekedar Evaluasi, Tapi Cabut Izin
Bagi masyarakat sipil, langkah pemerintah mengevaluasi izin dua perusahan itu perlu diapresiasi, namun dengan sejumlah catatan.
Venansius Haryanto, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, lembaga yang memberi perhatian serius pada isu pembangunan pariwisata di Labuan Bajo mengatakan, “kami berharap perusahaan-perusahaan dalam TNK ini tak sebatas dievaluasi, tapi izinya harus dicabut.”
“Evaluasi ini juga bukan semata karena alasan administrasi seperti izin-izin ini tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan, tetapi karena komitmen pemerintah terhadap konservasi satwa komodo dan masa depan pariwisata Indonesia yang berkelanjutan,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa jika evaluasi izin itu hanya terkait alasan administratif, maka akan ada peluang izin-izin itu akan berpindah tangan ke pihak lain.
Ia menambahkan, komitmen pemerintah terhadap konservasi itu masih menjadi tanda tanya besar, mengingat sudah ada proyek infrastruktur yang sudah berjalan, seperti pembangunan Jurassic Park di lahan seluas 1,3 hektar di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, yang menjadi salah satu fokus kritikan UNESCO.
Selain itu, kata dia, masih adanya izin lain di wilayah TNK yang tidak dievaluasi, termasuk izin yang terbit pada 2019 di Pulau Tatawa, sebuah pulau kecil dekat Padar dengan luas lahan 17 hektar milik PT Synergindo Niagatama (SN) untuk bisnis pariwisata alam. Di Loh Liang, Pulau Komodo juga ditemukan pilar-pilar batas konsesi milik PT Karang Permai Propertindo (PK KPP).
Venan juga menyoroti rencana pembanguna Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di atas lahan seluas 560 hektar di daerah Golo Mori, gerbang timur TNK sebagai lokasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G-20 tahun 2023.
Di atas lahan itu, pemerintah dilaporkan akan membangun hotel-hotel berbintang lima dan convention center dan untuk mendukung kawasan KEK ini status konservasi pulau terdekat yang terletak dalam kawasan TNK, yaitu Pulau Muang dan mungkin juga Pulau Bero, akan dicabut.
BACA JUGA: Akal Bulus KLHK di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo
“Pembangunan KEK ini tentu sangat berisiko bagi TNK. Selain karena lokasinya yang berdempetan langsung dengan kawasan konservasi, rencana alih fungsi pulau ini juga akan merusak keberadaan TNK sebagai sebuah sistem ekologi yang utuh,” katanya.
Ia mengatakan, sudah seharusnya pembangunan pariwisata di Labuan Bajo memperhitungkan aspek keberlanjutan.
“TNK adalah piring nasi bersama para pelaku wisata di kota Labuan Bajo serta penduduk tiga desa, yaitu Komodo, Papagarang dan Pasir Panjang yang berada dalam kawasan,” kata Venan.
“Kelestarian alam TNK adalah dasar yang kokoh bagi keberlanjutan pariwisata di Labuan Bajo. Kami berharap, pemerintah tidak kemudian malah merusaknya dengan mengusung model pariwisata yang justeru dasarnya tidak jelas,” katanya.
Sementara itu, Yohanes Romualdus, pelaku wisata di Labuan Bajo mendukung langkah evaluasi izin-izin perusahan di TNK dan mengingatkan pemerintah bahwa pada prisipnya mereka menolak segala bentuk pembangunan di dalam kawasan yang merusakan kealamiaan TNK.
“Di samping itu, investasi dalam kawasan TNK berpotensi membangun iklim bisnis yang tidak sehat dengan jurang persaingan yang menganga antara masyarakat lokal dan para kapitalis atau pemodal besar,” katanya.
Ia berharap, evaluasi atas izin PT KWE dan PT SKL memantapkan konsep berpariwisata yang menekankan sisi nature-nya (alamiah) daripada sisi bisnis yang serampangan dan berpotensi merusak keindahan alamiah TNK.
Menyitir istilah super premium yang dilekatkan pada pariwisata di TNK, kata dia, super premium dalam pemahaman mereka adalah terkait sisi nature itu, buka terkait bangunan-bangunan buatan manusia.
ARL/FLORESA