Usai Dideportasi dari Malaysia, Ibu Pekerja Migran Asal Sikka Meninggal Dunia di Nunukan

Pekerja migran ilegal atau yang tidak mengikuti jalur resmi dan karena itu rentan menghadapi persoalan terkait perlindungan kerja dan keselamatan masih menjadi masalah serius di wilayah NTT.

Floresa.co – Seorang perempuan pekerja migran asal Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] yang terpaksa terpisah dari keluarganya yang masih berada di Malaysia karena dideportasi meninggal dunia saat hendak kembali ke kampung halamannya.

Ririen Antonius, perempuan 43 tahun itu, meninggal dunia di RSUD Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara pada Jumat 14 Oktober 2022 sekitar pukul 04.37 Wita, demikian informasi dari Benedicta Noben Da Silva, relawan di Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI] NTT.

Korban yang berasal dari Desa Maluwiru, Kecamatan Palue itu, kata dia, merupakan salah satu dari 135 orang pekerja migran bermasalah yang dideportasi pada 13 Oktober dari Malaysia.

Menurut Noben, korban dideportasi dari kota Kinabalu, Negara Bagian Sabah dan mulai mengalami sakit sejak mulai diberangkatkan dari Malaysia hingga tiba di Nunukan.

Ia mengatakan kepada Floresa.co, Senin, 17 Oktober 2022 bahwa korban sempat dirawat di RSUD Nunukan, namun nyawanya kemudian tidak tertolong.

Ia menjelaskan, setelah mendengar berita meninggalnya korban, komunitas orang-orang Maumere di Nunukan langsung menuju RSUD dan meminta bantuan ke BP3MI Nunukan.

Noben mengatakan, BP3MI Nunukan kemudian meneruskan informasi ini kepada dirinya.

“Saya ditelepon oleh Pak Ibrahim dari BP3MI Nunukan. Beliau minta saya, mungkin ada relasi atau jaringan supaya jenazah itu dipulangkan, karena dari pihak BP3MI Nunukan tidak ada biaya sama sekali untuk memulangkan jenazah itu,” katanya.

Ia menjelaskan, BP3MI Nunukan sempat menelepon suami korban yang saat ini masih berada di Malaysia untuk meminta pertanggungjawaban agen yang memperkerjakan korban saat berada di Malaysia.

Namun, kata Noben, agen menolak bertanggung jawab karena mengklaim korban sudah berada di luar wilayah Malaysia.

“Agen jawab, [karena] sudah di Indonesia, tidak ada lagi urusan,” katanya.

Noben mengatakan, suami korban belum bisa kembali karena tidak diizinkan oleh perusahaan tempatnya bekerja.

“Suaminya juga tidak punya dokumen. Keluar [dari Malaysia] juga takut. Kayaknya juga anak mereka di sana, tidak bisa keluar dari Malaysia,” tuturnya.

Ia menjelaskan, satu-satunya dokumen yang berada di tangan korban adalah paspor.

Berdasarkan informasi terbaru yang disampaikan Noben kepada Floresa.co, Selasa, 18 Oktober, jenazah telah diberangkatkan dari Nunukan ke Kupang, lalu lanjut ke Maumere.

Yang membantu proses pemulangan, kata dia, adalah, keluarga besar Maumere-Palue.

Persoalan Laten Pekerja Migran NTT

Pekerja migran ilegal atau yang tidak mengikuti jalur resmi dan karena itu rentan menghadapi persoalan terkait perlindungan kerja dan keselamatan masih menjadi masalah serius di wilayah NTT.

Laporan investigasi Floresa.co yang dipublikasi baru-baru ini menemukan bahwa setiap bulan ratusan pekerja migran ilegal berangkat dari sebuah pelabuhan di wilayah Flores Timur menuju ke Kalimantan, dan selanjutnya ke Malaysia.

Laporan itu juga menemukan bahwa kendati otoritas setempat mengetahui masalah pekerja migran ilegal ini, namun tidak ada upaya serius menyelesaikannya.

Dari 135 pekerja migran, 111 orang pria dan 24 orang wanita, yang dideportasi pada 13 Oktober 2021 misalnya, 17 di antaranya dari NTT.

Yang lainnya berasal dari Kalimantan Utara (31), Sulawesi Tenggara [7], Sulawesi Selatan [58], Sulawesi Barat [5], Sulawesi Tengah [3], Nusa Tenggara Barat [1], dan Jawa Timur [13].

Heni Hamidah, Kepala Perwakilan Konsulat RI di Tawau, Malaysia mengatakan, para pekerja migran itu yang dipulangkan melalui jalur laut dari Pelabuhan Tawau ke Pelabuhan Tunontaka di Nunukan sebagian besar terlibat pelanggaran keimigrasian berupa kelebihan masa tinggal, tidak berdokumen keimigrasian resmi dan sebagiannya terkena kasus pidana.

Noben dari BP2MI NTT mengatakan, banyaknya pekerja migran ilegal di NTT karena sikap acuh tak acuh dan keras kepala untuk tidak mau mengikuti prosedur resmi.

Padahal, kata dia, mereka sebenarnya sudah tahu tentang kendala yang dihadapi jika pergi dengan jalur ilegal, misalnya harus membeli paspor dengan harga yang cukup mahal karena ditipu calo.

“Cuma, orang-orang kita itu, kita beri pemahaman, mereka kepala batu, mau pergi cepat,” katanya.

Ia mengatakan, dari informasi yang mereka peroleh, biaya pengurusan paspor yang melibatkan calo di Nunukan berkisar antara tiga sampai tujuh koma lima juta rupiah, 14 kali lipat dari biaya normal 350 ribu rupiah.

Ia menambahkan, kebiasaan menggunakan calo ini menjadi laten karena kebanyakan pekerja migran dari NTT ke Malaysia untuk mencari kerja, bukan pergi kerja.

“Pergi kerja itu mereka sudah tahu majikan, perusahaan mereka kerja, upah dan lain-lain.Tapi kalau ke sana mencari kerja, berarti harus lewat calo. Berarti calo yang mencari kerja untuk dia. Calo di sana itu orang kita. Calo itu bermain di imigrasi di sana [Nunukan dan Malaysia],” jelasnya.

Aktivis yang sejak 2014 memberi perhatian pada isu pekerja migran ini mengatakan, mereka masih terus melakukan sosialisasi tentang bahaya menjadi pekerja migran ilegal “agar perlahan-lahan memutuskan mata rantai persoalan ini.”

“Kita kampanye terus-menerus supaya sanak saudara kita sadar dan tahu proses menjadi pekerja migran,” kata Noben.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini