Lembaga Advokasi Sebut Ada Indikasi Korupsi Dana Ganti Rugi Proyek Jalan Persiapan ASEAN Summit di Labuan Bajo

JPIC-SVD mempertanyakan alasan pemerintah tidak memberikan ganti rugi kepada warga terdampak proyek jalan itu yang sebetulnya sudah diatur dalam undang-undang.

Floresa.co – Sebuah lembaga advokasi Gereja Katolik menyebut ada indikasi korupsi dana ganti rugi yang seharusnya diterima warga terdampak proyek jalan di Labuan Bajo untuk persiapan ASEAN Summit tahun depan.

Sebelumnya pemerintah meminta sejumlah warga yang rumah dan lahannya digusur untuk proyek jalan yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] itu ikhlas dan tidak menuntut ganti rugi.

Jalan itu menghubungkan Labuan Bajo dengan wilayah Tana Mori di bagian selatan yang dikembangkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Selain untuk menyambut pertemuan anggota organisasi negara-negara di Asia Tenggara atau ASEAN Summit tahun 2023, proyek ini, menurut Kementerian PUPR, juga bentuk dukungan untuk memperlancar konektivitas Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo.

Pastor Simon Suban Tukan, direktur Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) dari Serikat Sabda Allah [SVD] mempertanyakan alasan pemerintah tidak memberikan ganti rugi bagi warga terdampak di sejumlah kampung.

“Kami menduga bahwa anggaran kompensasi telah diterima oleh pihak lain yang selama ini berusaha menghalang-halangi masyarakat untuk mendapat ganti rugi. Dengan demikian, proyek ini berindikasi korupsi,” katanya dalam konferensi pers Minggu malam, 11 Desember 2022.

Acara yang digelar di Aula milik SVD di Labuan Bajo dihadiri warga yang belum mendapat ganti rugi. Mereka berasal dari Kampung Nalis, Cumbi dan Kenari.

Pastor Simon mengatakan, seharusnya tidak ada alasan untuk tidak memberikan ganti rugi bagi warga untuk proyek dengan total anggaran Rp 407,04 miliar itu.

Hal itu, jelasnya, sudah ada dalam UU N0. 2 Tahun 2012, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020, dan PP No.19 Tahun 2021 yang antara lain mengatur ganti rugi lahan masyarakat yang digunakan untuk kepentingan umum.

Ia menjelaskan bahwa sejak awal, pejabat yang memberikan sosialisasi pembangunan jalan tersebut sengaja menutupi informasi ganti rugi yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.

Dugaan ini, kata dia, mengacu pada dokumen digital dan data yang dihimpun lembaganya. Ia juga menyebut ada indikasi tekanan dan intimidasi kepada masyarakat untuk menandatangani dokumen persetujuan pembangunan jalan tanpa ganti rugi.

Ia juga menyoroti bahwa hampir semua tahapan dan proses pembangunannya tidak melibatkan semua masyarakat. Sosialisasi di tingkat desa hanya mengundang dan melibatkan perwakilan atau utusan kampung.

“Hal ini menyalahi aturan dan prosedur pembangunan karena setiap tahapannya tidak melibatkan individu pemegang hak atas tanah dan rumah,” jelasnya.

Pastor Simon juga menyoroti perlakuan yang berbeda bagi warga di Kampung Nanga Nae, Desa Macang Tanggar yang telah mendapat ganti rugi atas rumah yang terdampak.

Sebagaimana dalam laporan Floresa.co sebelumnya, warga di Nanga Nae mendapat dana ganti rugi yang beragam, hingga ratusan juta.

“Proyek ini telah menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat,” katanya.

Bagi Pastor Simon, hal ini adalah aneh karena semua proyek strategis nasional di seluruh Indonesia memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada masyarakat yang asetnya diambil untuk kepentingan umum.

Presiden Joko Widodo, katanya,  bahkan menyebutnya sebagai ganti untung karena selain mendapat keuntungan dari pembangunan itu, masyarakat juga mendapat kompensasi terhadap aset yang diambil untuk kepentingan pembangunan.

“Apakah warga Cumbi, Nalis, dan Kenari bukan warga negara Indonesia?” tanyanya.

Warga Diperlakukan Tidak Adil

Proyek jalan dengan panjang 25 km dan row 23 meter itu membelah kampung, menggusur tanah, kebun serta rumah-rumah beberapa kelompok warga.

Warga terdampak mulai dari Desa Gorontalo, Desa Macang Tanggar [Kampung Nanga Nae, Mberata, Nalis], Desa Warloka [Cumbi, Kenari, Warloka] hingga Desa Golo Mori.

Di Kampung Cumbi, Nalis, dan Kenari, terdapat 51 warga – mayoritas petani dan guru honorer – yang tidak mendapat ganti rugi atas aset mereka yang telah digusur. Aset tersebut antara lain 2 rumah permanen berlantai dua, 5 rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 m² pekarangan, 1.790 m² sawah, dan  1.080 m² ladang.

Proyek yang dikerjakan Perusahaan Konstruksi BUMN Wijaya Karya [WIKA] ini sudah dimulai sejak Februari 2022 dan dijadwalkan berakhir pada 15 Desember 2022.

Dalam konferensi pers itu, perwakilan dari 51 warga Cumbi, Nalis, dan Kenari membacakan tuntutan-tuntutan untuk pemerintah dan pihak terkait lainnya.

Mereka mendesak pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR  dan PT WIKA melaksanakan amanat undang-undang dan peraturan lainnya yang mengatur pemberian ganti rugi yang wajar dan adil.

Selain itu, mereka juga  meminta pemerintah pusat, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi segera melakukan audit keuangan dan audit lapangan terhadap semua kontraktor yang mengerjakan pembangunan jalan itu. Mereka juga meminta memeriksa Kementerian PUPR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat terkait anggaran ganti rugi  pembangunan jalan tersebut.

Terakhir, mereka meminta aparat keamanan untuk tidak terlibat mengintimidasi warga yang menuntut hak, tetapi mengayomi dan menjaga ketertiban serta ketenteraman masyarakat.

Akan Tempuh Jalur Hukum

Sebelumnya, warga telah melakukan berbagai upaya untuk mendapat hak mereka. Mereka menyuarakan aspirasi dengan menemui Komisi III DPR RI pada 10 Mei 2022, kemudian mengirim surat ke Presiden RI dan instansi terkait pada 21 Juni 2022.

Saat Presiden Joko Widodo ke Labuan Bajo pada 22 Juli 2022, mereka juga berusaha menyampaikan langsung aspirasi mereka. Namun, mereka dihadang aparat kepolisian dan spanduk-spanduk yang mereka siapkan diamankan.

Pada 5 Oktober 2022, mereka menemui Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan DPRD Manggarai Barat; dan pada 24 Oktober 2022 menemui sejumlah pejabat di kabupaten, termasuk Asisten I, Hilarius Madin dan dari Dinas Perhubungan.

Namun, kata Pastor Simon, upaya-upaya tersebut tidak mendapat tanggapan.

Bahkan, dalam beberapa kesempatan hendak beraudiensi dengan warga, kata dia Bupati Manggarai Barat, Editasius Endi selalu beralasan sibuk dengan berbagai tugas negara. 

“Itu berarti pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak memiliki kepedulian sama sekali terhadap hak rakyatnya yang dilanggar,” kata Pastor Simon.

Ia pun menyatakan akan membantu waerga menempuh jalur hukum jika masalah ini tidak dibereskan.

“Kami meminta teman-teman pengacara untuk membantu warga dalam kasus ini. Mungkin habis Minggu ini gugatannya masuk. Data-datanya sementara kami lengkapi, dan akan masuk ke pengadilan,” katanya.

Klaim Pemerintah

Sebelumnya, dalam wawancara dengan Asisten I, Hilarius Madin yang pernah ikut beraudiensi dengan warga membahas masalah ganti rugi ini mengatakan kepada Floresa.co bahwa mereka tidak bisa memenuhi tuntutan warga.

Menurutnya, sejak awal Pemda Manggarai Barat sudah menyosialisasikan kepada masyarakat untuk meminta kesediaan memberikan tanah bagi proyek itu tanpa ganti rugi.

“Terkait warga Cumbi, ada surat pernyataan warga yang sudah ditandatangani bahwa tidak ada ganti rugi,” lanjutnya. 

Sementara menyangkut perlakuan terhadap warga Nanga Nae yang sudah menerima ganti rugi, Hilarius  mengklaim tidak mengetahui hal tersebut dan berjanji untuk menelusuri sumber dana yang mereka terima.

Hal senada juga disampaikan Camat Komodo, Yohanes R. Gampur, yang aktif dalam rangkaian proses pengerjaan proyek itu, termasuk saat sosialisasi awal bersama Bupati Edi dan dengan Satuan Kerja dari Kementerian PUPR.

Gampur mengatakan, warga terdampak tidak mendapat ganti rugi karena anggaran pembangunan tersebut digelontorkan untuk proyek fisik saja.

Ia juga berpegang pada kesepakatan awal warga bahwa mereka tidak menuntut ganti rugi.

Gampur mengakui, dalam salah satu audiensi kemudian dengan pemerintah daerah, memang disinggung kembali soal ganti rugi itu, di mana disepakati untuk mencari dana yang bisa digunakan untuk ganti rugi.

Namun, katanya, setelah dikalkulasi dengan kemampuan dana APBD Manggarai Barat makan butuh sekitar 10-15 tahun untuk bisa memenuhi ganti rugi bagi warga terdampak. 

Karena itu, jelas Gampur, ganti rugi itu tidak dianggarkan dalam APBD.           

Camat Gampur kemudian mengatakan penggusuran tanah warga Cumbi tanpa ganti rugi merupakan bagian dari pengorbanan. Ia beralasan, saat ini sebagian warga Labuan Bajo juga menyerahkan tanah untuk pembangunan dan penataan kota.

“Mungkin sekarang giliran keluarga di Cumbi. Jangankan jalan Jayakarta-Cumbi-Golo Mori, jalan dalam kota ini kan sebenarnya sama, riwayatnya sama, tanpa ganti rugi. Semua kita nikmati,” katanya.

“Kami selalu mengajak begini, karena ini memang tidak ada ganti rugi [bagi warga Cumbi], kami minta nai ngalis, tuka ngengga [keikhlasan hati, kelapangan dada] dari warga, karena ini pembangunan.”

Ia mengatakan, terkait ganti rugi yang diberikan kepada warga Nanga Nae, sedang ditelusuri sumber pendanaannya dan landasannya.

Viktor Frumentius, warga Cumbi yang hadir dalam konferensi pers pada 10 Desember mengatakan, pembangunan jalan itu seharusnya memperhatikan hak-hak dasar warga setempat.

“Kita mendukung program pemerintah, tapi hak-hak kami harus diperhitungkan,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA