Pelajaran dari Perjuangan Warga Flores Melawan Pembangunan yang Kapitalistik

Dari perlawanan terhadap kebijakan di Taman Nasional Komodo, proyek geothermal di Wae Sano dan tambang di Desa Satar Punda, gerakan warga memberi pelajaran penting, tidak saja untuk konteks kasus lainnya di Flores, tapi juga di Indonesia

Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila

Dalam  satu dekade terakhir, wilayah Flores secara intensif menjadi target investasi, setidaknya dalam tiga sektor yaitu pertambangan, pariwisata dan energi. 

Kendati pemerintah terus membangun klaim bahwa semua itu dalam rangka memajukan kesejahteraan, sebagian warga justeru terus mengkonsolidasi diri melakukan gerakan perlawanan. Alasan utamanya adalah kekhawatiran terhadap pembangunan yang berpotensi membahayakan ruang hidup mereka, baik ekonomi, sosial, budaya maupun lingkungan.

Berkat berbagai strategi perlawanan itu, sejauh ini sebagian dari proyek-proyek pembangunan tersebut gagal dilanjutkan, meski pemerintah terus mencari beragam cara untuk meloloskannya. 

Gerakan warga Flores ini telah memberi pelajaran penting, setidaknya untuk dua hal yang akan menjadi fokus utama tulisan ini. Pertama adalah mengoreksi cara pandang dominan terhadap pembangunan dan kedua terkait bagaimana kita semestinya membangun strategi perlawanan. 

Gelombang Perlawanan Warga

Pembangunan di Flores, yang dimotori oleh negara dengan janji kesejahteraan, kenyataannya memang tidak seperti tertulis di atas kertas. Janji pembangunan yang digadang-gadang mampu mendorong perekonomian masyarakat di Flores justru mengandung dimensi perampasan ruang hidup warga dan keterasingan dari alat produksi.

Perlawanan warga yang dahsyat terjadi atas sederetan kebijakan kontroversial pemerintah untuk mengubah Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat dari kawasan konservasi menjadi ladang investasi. 

Sejak 2018 hingga sekarang, warga yang tergabung dari berbagai elemen seperti pelaku wisata, pegiat konservasi, masyarakat dalam kawasan dan forum-forum masyarakat sipil terus memprotes kebijakan pemerintah untuk membawa masuk berbagai korporasi pariwisata ke dalam wilayah itu.

Perusahaan-perusahaan yang diprotes warga itu antara lain PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca, PT Komodo Wildlife Tourism di Pulau Padar dan Pulau Komodo dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa yang mendapat izin konsesi bisnis ratusan hektar.

Berbagai strategi perlawanan ditempuh seperti protes di jalan, ke Jakarta menemui pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], selaku otoritas pusat atas TN Komodo. Inti dari tuntutan warga adalah izin dari perusahaan-perusahaan ini mesti dicabut karena berdampak buruk bagi konservasi serta pariwisata komunitas dalam kawasan TN Komodo.

Sebagai dampak dari gelombang perlawanan warga ini, hingga sekarang perusahaan-perusahaan ini belum mulai merealisasikan proyek mereka. Pada 2022, KLHK bahkan menyatakan mengevaluasi izin dari PT SKL dan KWE, meski hasil evaluasinya belum dibuka ke publik.

Perlawanan keras warga di TN Komodo juga datang dari Ata Modo, suku asli yang telah lama mendiami Pulau Komodo. Pada tahun 2019, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mencap mereka sebagai penduduk liar dan mau memindahkan mereka dari pulau tersebut dalam rangka menyulap Pulau Komodo sebagai destinasi wisata eksklusif berkelas dunia. Namun, konsolidasi warga yang begitu kuat membuat rencana ini berhasil dibatalkan.

Baru-baru ini warga juga melawan dengan keras kebijakan Pemerintah Provinsi NTT melalui PT Flobamor, BUMD-nya yang hendak menaikan tarif masuk ke Pulau Komodo, Pulau Padar serta perairan sekitarnya yang menjadi Rp. 3,75 juta per orang mulai awal tahun ini.

Meski pemerintah mengerahkan aparat untuk meredam perlawanan, gerakan warga yang tergabung dari berbagai elemen pada akhirnya berhasil membatalkan kebijakan ini. Per Januari 2023, tiket ke kawasan tersebut tetap dipatok sebesar Rp 120.000.

Perlawanan yang konsisten terhadap investasi juga datang dari warga adat di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Sejak 2018, warga di beberapa kampung terus melawan kehadiran proyek geothermaldi dalam ruang hidup mereka. 

Warga menolak keras kehadiran proyek ini karena menganggapnya berakibat fatal terhadap ruang hidup dan keberlanjutan hidup generasi mereka. Mereka juga belajar dari contoh kasus pembangunan proyek geothermal di Mataloko, Kabupaten Ngada, yang memicu dampak kerusakan lingkungan, rusaknya lahan produktif masyarakat dan tercemarnya udara, sementara proyeknya tidak dilanjutkan. 

Berkat konsistensi perlawanan dengan berbagai strategi, hingga sekarang proyek ini belum mulai dijalankan. Bahkan Bank Dunia selaku pihak pendana memberi signal tidak akan melanjutkan proyek ini jika tetap ditolak oleh warga setempat.

Di tempat lain, di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur, gerakan warga adat setempat berhasil membatalkan rencana pertambangan batu gamping di wilayah ulayat mereka. Izin itu dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi NTT dan didukung pemerintah kabupaten. Di dekat lokasi izin tambang itu, pemerintah juga menerbitkan izin pabrik semen. 

Kebijakan ini menuai protes dari berbagai elemen masyarakat sipil. Meski menurut perhitungan pemerintah, kebijakan itu akan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat dan menggenjot pendapatan daerah, namun warga di lingkar tambang yang mayoritas sebagai petani akan menanggung risiko terganggungnya sumber kehidupan mereka. Tambang itu juga berpotensi merusak lingkungan, hilangnya sumber air bersih dan berakibat pada pencemaran tanah. Apalagi wilayah itu masuk dalam cakupan ekoregion karst, yang menyimpan cadangan air tanah.

Setelah upaya protes di jalan tidak didengar, warga kemudian menempuh jalur hukum menggugat izin tambang itu. Perjuangan itu berakhir manis setelah pada Oktober tahun lalu mereka menang dalam putusan kasasi di Mahkamah Agung. Putusan itu menyatakan izin tambang yang telah dikeluarkan tidak sah.

Pembelajaran Penting

Bagi saya cerita-cerita konsolidasi diri warga dalam pengalaman-pengalaman perlawanan di atas memberikan dua pelajaran penting.

Pertama, perlawanan-perlawanan warga ini merupakan contoh terbaik dari bagaimana warga mengeritik cara pandang yang dominan terhadap pembangunan yang selalu diidentikkan dengan kemajuan, investasi, pertumbuhan ekonomi atau kemewahan infrastruktur. Sebaliknya pembangunan juga merupakan nama lain dari upaya penetrasi jaringan kapital tertentu yang mau menguasai sumber-sumber penghidupan dari komunitas warga tertentu.

Sebab itu, bagi komunitas warga Flores yang melawan, pembangunan yang hadir di Flores tidak terlepas dari upaya pemiskinan dan penghancuran terhadap ruang hidup mereka. Pembangunan model ini perlu dikritik keras karena alih-alih  menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat, pembangunan model ini justru memperparah kemiskinan, ketimpangan ekonomi, terpinggirnya hak-hak dasar masyarakat.

Dalam hal ini, saya sependapat dengan studi mendalam yang dilakukan Cypri Jehan Paju Dale melalui bukunya Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013) yaitu bahwa akar kemiskinan di NTT (Flores) bukan hanya karena kurangnya pembangunan atau macetnya proses demokrasi prosedural, melainkan lahir dari proses-proses politik dan ekonomi pembangunan yang membawa serta eksploitasi, marginalisasi, ketidakberdayaan (powerlessness), imperialisme kultural, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya.

Jadi, kemiskinan di Flores di tengah kelimpahan sumber daya alam bukan karena masyarakat di Flores tidak bisa mengelolanya atau kurang terampil dalam memanfaatkan sumber daya alam, sebuah anggapan yang menempatkan akar kemiskinan sebagai hasil dari kemalasan.  Masalahnya terletak pada kelimpahan sumber daya yang dimiliki tidak dikelola dengan baik oleh negara, yang memiliki kekuatan untuk itu, dengan sebuah model pembangunan berkeadilan.

Kedua, dari sisi gerakan, cerita-cerita di atas juga membuktikan betapa pentingnya konsolidasi lintas aktor dan institusi sebagai bagian dari strategi perlawanan. Konsolidasi itu bisa terlihat dari gerakan perlawanan dalam kasus di TN Komodo, Wae Sano dan di Desa Satar Punda, di mana elemen sipil bergerak bersama untuk menopang kelompok warga yang paling terdampak dari berbagai proyek itu. Dalam seluruh gerakan itu, tampak jelas bahwa warga adalah pemain utama, sementara kelompok-kelompok sipil lainnya hadir untuk memperkuat gerakan.

Konsolidasi seperti ini amatlah penting untuk melawan kekuatan korporasi, yang seringkali memakai tangan negara, juga aparat, untuk meredam suara warga. Hal itu tampak jelas misalnya dalam pemaksaan pelaksanaan kebijakan kenaikan tiket ke TN Komodo, di mana lebih dari seribu aparat dikerahkan ke Labuan Bajo, merespons aksi mogok pelaku wisata pada Agustus lalu. Pola serupa juga terjadi dalam proyek lain.

Perlawanan warga di tiga lokasi itu akhirnya bisa menjadi inspirasi perlawanan di berbagai tempat lain di Flores. Berbagai upaya perlawanan warga merupakan bentuk ‘kesadaran kelas’ kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari arena pembangunan negara. Perlawanan mereka menjadi referensi dalam membangun agenda perlawanan dari bawah yang massif, sekaligus dengan eskalasi perlawanan yang lebih solid, mandiri, dan terorganisir.

Lebih luas, perlawanan masyarakat Flores juga bisa memberikan ‘semangat baru’ bagi kelompok masyarakat lain di Indonesia yang menghadapi persoalan yang sama atas kebijakan negara yang kapitalistik. 

Berbagai macam upaya yang disebut pembangunan, apapun bentuknya, sudah seharusnya dikritisi, dibongkar logikanya agar kita tidak mudah tertipu dengan berbagai jargon yang sebetulnya berusaha menyembunyikan ancaman bagi masa depan warga dan lingkungan.

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini bekerja dan berdomisili di Jakarta.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya