Oleh: Fransiskus Silin Gunadi
Sejak awal periode kedua pemerintahannya pada 2019, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa infrastruktur merupakan fondasi bagi Indonesia untuk mampu berkompetisi secara global. Karena itu, pembangunan infrastruktur perlu dilakukan secara masif. Setelah infrastruktur memadai, agenda besar kedua yang akan menjadi perhatian adalah pembangunan sumber daya manusia dan selanjutnya ke agenda besar inovasi dan teknologi.
Komitmen pemerintah pada upaya pembangunan fisik dapat dilihat pada jumlah Proyek Strategis Nasional atau PSN yang telah, sedang dan akan dikerjakan. Dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar PSN, terdapat 208 proyek dan 10 program strategis nasional periode 2020-2024.
Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] menjadi salah satu daerah yang mendapat perhatian besar pemerintah pusat dalam bidang pembangunan infrastruktur. Dalam Permenko Nomor 7 tahun 2021 itu, terdaftar 7 proyek dan 2 program strategis nasional di NTT, yang mencakup pembangunan infrastruktur bendungan, pelabuhan, bandara, program pengembangan kawasan strategis pariwisata dan program ketenagalistrikan.
Pada satu sisi, proyek-proyek dan program strategis tersebut secara positif dipercaya dapat meningkatkan pemerataan pembangunan, mengurangi disparitas antarwilayah, meningkatkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja. Namun, dalam implementasinya, proyek-proyek tersebut mengalami persoalan dan memicu konflik sosial. Pemerintah sebagai inisiator berhadap-hadapan dan bahkan berkonflik dengan masyarakat. Salah satunya, yang menjadi sorotan dalam artikel ini adalah proyek geothermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT.
Terus Ditentang Warga
Proyek geothermal di Poco Leok – wilayah di Kecamatan Satar Mese yang mencakup 10 kampung adat – merupakan perluasan atau pengembangan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu di Desa Wewo, sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok.
PLTP Ulumbu mulai beroperasi sejak Januari 2012 di bawah pengelolaan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] di areal seluas 18.280 hektare dengan kapasitas energi listrik yang dihasilkan 10 MW. Pengembangan dan perluasan PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok dilakukan dengan dasar hukum Surat Keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok. Perluasan wilayah operasi ini bertujuan untuk menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 10 MW menjadi 40 MW.
Di antara proyek-proyek dan program strategis di NTT, proyek geothermal Poco Leok menjadi salah satu yang sampai hari ini menyedot perhatian publik, menyisakan polemik serius. Sejak awal pelaksanaannya, proyek ini diwarnai kontroversi dan bahkan konflik yang bersifat vertikal [rakyat vs pemerintah] dan juga secara horizontal [antara kelompok pro pemerintah dan kontra pemerintah].
Pada berbagai media massa dapat ditemukan berita-berita terkait persoalan-persoalan seputar proyek ini. Yang mencuat adalah aksi protes, penolakan masyarakat, kericuhan dalam aksi demonstrasi, penghadangan terhadap kehadiran pemerintah dan petugas PT PLN, aksi paksa dan represi aparat terhadap masyarakat dan dugaan pelanggaran hukum oleh aparat.
Berita termutakhir, seperti yang dirilis Floresa adalah Komnas HAM yang meminta klarifikasi PT PLN, Gubernur NTT dan Badan Pertanahan Nasional terkait dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam pelaksanaan proyek ini.
Pendekatan Top Down dan Monologis
Tentu tidak hanya dalam polemik geothermal Poco Leok, pelaksanaan proyek-proyek lain di NTT juga diwarnai polemik dan bahkan konflik. Misalnya dalam pembangunan kawasan pariwisata di Taman Nasional Komodo yang memberi akses korporasi ke kawasan konservasi, proyek geothermal di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat; pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Labuan Bajo; pembangunan pabrik semen dan batu gamping di Lengko Lolok, Kabupaten Manggarai Timur; pembangunan Bendungan Kolhua di Kecamatan Maulafa, Kota Kupang dan pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo.
Pada hampir semua proyek dan program strategis di NTT, termasuk di proyek geothermal di Poco Leok, agak sulit untuk menemukan publikasi yang lengkap tentang bagaimana proses pembangunan-pembangunan itu direncanakan, dikomunikasikan, dan dilaksanakan, termasuk hasil analisis dampak lingkungan, dampak sosial, dan ekonomi dari penyelenggaraan proyek ini. Hal ini membuat yang terbaca di media dan ruang komunikasi publik adalah mayoritas upaya pembangunan ini menuai kontroversi, aksi protes, penolakan masyarakat, dan tindakan represif aparat.
Saya membaca, kelemahan penyelenggaraan proyek-proyek ini terletak pada bagian ini, yakni pada pendekatan dan model komunikasi yang digunakan. Pendekatan pembangunan cenderung bersifat top down, dari atas ke bawah dan kurang mengakomodasi pikiran dan kearifan-kearifan lokal masyarakat.
Dalam kasus proyek geothermal di Poco Leok misalnya, masyarakat kurang atau bahkan tidak dilibatkan. Padahal, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan adalah unsur esensial yang berguna untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi, kebutuhan, sikap dan dukungan. Komunikasi pembangunan pun dilakukan secara linear, monologis, dari atas ke bawah dan bersifat komando.
Format komunikasi dikemas dengan pola-pola yang kurang humanis bahkan cenderung represif. Alih-alih memperlancar proses pelaksanaan proyek, pendekatan pembangunan dan model komunikasi seperti itu malah melahirkan konflik dan ketegangan antara masyarakat dengan aparat dan semua pihak terkait. Dengan demikian tidak mengherankan jika kemudian proyek ini berjalan terseok-seok.
Pendekatan Partisipatif-Dialogis
Pada setiap proses pembangunan, di dalam bidang apapun, pilihan pendekatan dan model komunikasi menjadi satu bagian yang penting dan berpengaruh.
Dalam hal ini, pemahaman pembangunan dapat mengacu kepada Melkote (2001) yang mendefinisikannya sebagai proses perbaikan dan peningkatan kondisi kehidupan masyarakat. Sementara itu, komunikasi dapat mengacu pada Laswell (1960) yakni suatu proses yang menjelaskan siapa mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dan dengan akibat atau hasil apa.
Dalam bidang pembangunan kemudian dikenal subjek komunikasi pembangunan yang oleh Harun dan Ardianto (2012) didefinisikan sebagai subyek studi yang berkaitan dengan peran dan fungsi komunikasi sebagai suatu aktivitas pertukaran informasi secara timbal balik di antara semua pihak yang terlibat di dalam sebuah upaya pembangunan. Jan Servaes (2003), ahli komunikasi pembangunan, menekankan bahwa komunikasi pembangunan pada intinya adalah berbagi pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai konsensus tentang semua kegiatan, terkait kepentingan dan kebutuhan semua pihak.
Protes dan penolakan masyarakat dan adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam proyek geothermal Poco Leok mengindikasikan adanya miskomunikasi dan absennya consensus semacam itu.Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan seputar proyek ini, pemerintah sebagai pihak pemrakarsa perlu mereformulasi pendekatan dan model komunikasi yang digunakan.
Pendekatan yang selama ini cenderung top down-monologis perlu diformulasi ulang, diganti dengan pendekatan yang partisipatif dan komunikasi humanis-dialogis dan berbasis kearifan lokal. Pemerintah bersama masyarakat perlu duduk kembali dan menghasilkan konsensus yang mutualistis.
Namun, tentu saja pada akhirnya, seperti dikemukakan Cleveland dan Lubis (1990), pembangunan yang tidak benar-benar dilandasi prinsip keadilan dan akses setara dan terbuka terhadap informasi, kesempatan, pelayanan dan fasilitas, dan elit penguasa yang tidak secara murni dimotivasi oleh prinsip-prinsip ini hanya akan melahirkan ketimpangan-ketimpangan, ketidakadilan sosial dan ekonomi, penindasan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
Dalam cara pandang ini, penting untuk mengajukan pertanyaan ini, apakah proyek ini akan membawa perubahan, atau justeru membawa persoalan serius yang akan melanggar hak asasi warga. Klaim-klaim besar bahwa proyek ini akan membawa kemajuan penting untuk diuji. Di sinilah, suara-suara dan keprihatinan warga perlu didengar, tidak kemudian diabaikan dan direpresi.
Fransiskus Silin Gunadi adalah Mahasiswa Magister Komunikasi Pembangunan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta