Oleh: Saverinus Suhardin
Baru-baru ini, sebuah video yang cukup viral di media sosial menampilkan pertengkaran antara petugas sebuah koperasi kredit dengan salah satu nasabahnya. Dalam keterangan video itu, tertulis “Duka menjadi pegawai koperasi, tetap semangat para pejuang rupiah.”
Video dalam akun Instagram @ntt.upadate itu memang tidak menampilkan muka dua tokoh utamanya. Namun, dari suara mereka, petugas koperasi itu terdengar seorang perempuan, sedangkan nasabahnya seorang lelaki. Dari logat bicara mereka, diduga kejadian ini berlangsung di Flores.
Keduanya beradu mulut cukup lama sampai akhirnya si laki-laki berteriak, “Keluar!” Mendengar bentakan itu, sang perempuan membalas dengan nada tidak kalah tegas, sambil terus merekam kejadian tersebut.
Ia menuntut lelaki di hadapannya segera membayar utang. Sang lelaki makin meradang, lalu mengeluarkan banyak ancaman, dari yang biasa, hingga gelagat untuk menghilangkan nyawa.
Ketika lelaki itu masuk ke dalam rumah, ia tidak berhenti melontarkan ancaman. Beberapa orang yang ada di sekitar lokasi kejadian menyarankan perempuan itu segera pergi. Benar saja, pegawai koperasi itu segera berlari ketika mendengar suara lelaki itu kembali mendekat.
Video itu tiba-tiba berakhir. Petugas koperasi mungkin ketakutan dan fokus menyelamatkan diri.
Selang beberapa waktu, muncul lagi video serupa dengan judul “Perkara koperasi dan nasabah!!!”. Video ini melibatkan dua perempuan muda petugas koperasi yang berhadapan dengan seorang ibu.
Video pendek itu diawali dengan omelan petugas koperasi, tapi ditanggapi dingin oleh ibu yang sedang membawa jerigen air.
Ibu itu terus menghindar sambil membalas omelan petugas koperasi. Kalimat yang disampaikan ibu itu memang kurang jelas, tapi tampaknya ia tidak mau kalah, berusaha melampiaskan kemarahannya.
Utang dan Kesehatan Mental
Kita boleh saja menyampaikan berbagai tafsiran atas kedua video tersebut. Bagi saya, yang menjadi fokus artikel ini, kasus dalam kedua video ini dapat dibaca dalam konteks hubungan antara masyarakat yang terlilit utang dan isu kesehatan jiwa, hal yang belakangan juga menjadi konsentrasi para peneliti kesehatan jiwa.
Respons umum yang ditunjukkan oleh pengutang dari dua kasus di atas adalah malu, yang diikuti marah.
Kedua emosi negatif itu dapat saja mendorong orang untuk melakukan agresi atau penyerangan kepada pihak lain. Hal ini secara jelas terlihat dalam video pertama. Semua ekspresi emosi tersebut diringkas dalam istilah “perilaku kekerasan” yang merupakan bagian dari masalah kesehatan mental.
Sebagaimana gejala gangguan jiwa pada umumnya, perilaku kekerasan perlu diwaspadai sejak dini.
Jika tidak bisa dikendalikan, akan bisa melukai atau merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di sekitar.
Sebuah tinjauan literatur yang dilakukan tiga sekawan – Fitch, C., Hamilton, S., Bassett, P. and Davey, R. – pada tahun 2011 dengan judul “The relationship between personal debt and mental health: a systematic review” dan diterbitkan di Mental Health Review Journal merangkum dengan cukup jelas hubungan fenomena perilaku kekerasan sebagai masalah kesehatan jiwa di dalam masyarakat yang terlilit utang.
Mereka melakukan pendalaman terhadap berbagai hasil penelitian antara 1980-2009, khususnya yang berkaitan dengan topik utang dan kesehatan mental.
Berdasarkan penelaahan atas 50 artikel hasil penelitian, ketiganya menemukan bahwa utang bisa membuat penghutang mengalami masalah kesehatan mental. Situasinya akan makin para apabila pengutang didera kemiskinan dan memiliki pendapatan rendah.
Gejala awal gangguan kesehatan mental, demikian argumen yang dibangun ketiganya, terlihat melalui respons yang ditunjukkan para penghutang, yaitu marah yang berlebihan terhadap para penagih utang. Yang berutang tiba-tiba menjadi galak terhadap mereka yang memberi hutang.
Bila masalahnya tidak kunjung mendapat solusi, penghutang bisa mengalami gangguan jiwa yang berat dan bahkan bisa melakukan kekerasan.
Doyan Berhutang
Temuan penelitian init menarik untuk dihubungkan dengan Indonesia dan lebih khusus untuk konteks NTT.
Berutang menjadi salah satu praktik lumrah di Indonesia.
Selain terjerat utang dengan lembaga-lembaga keuangan yang resmi seperti bank dan koperasi kredit, fenomena yang sekarang menjamur adalah terjerat utang rentenir berkedok koperasi harian dan pemberi kredit lainnya.
Berdasarkan cerita yang saya rekam dari masyarakat, lembaga-lembaga keuangan yang tidak resmi ini justru menjadi preferensi pinjaman masyarakat karena prosedurnya yang tidak terbelit-belit.
Hal itulah yang kiranya terjadi dengan dua kisah dalam video di atas.
Akhir-akhir ini, utang yang juga sering menjerat masyarakat Indonesia adalah “Buy Now Pay Later (BNPL),” atau beli sekarang bayar kemudian pada berbagai layanan aplikasi belanja daring dan pinjaman online atau pinjol.
Sayangnya tingkat ketidakpatuha para pengutang juga cukup tinggi. Berdasarkan laporan semester satu tahun 2023, jumlah utang yang belum terbayarkan dari BNPL mencapai Rp25,16 triliun.
Sementara menurut Otoritas Jasa Keuangan [OJK], dari total dana pinjol mencapai Rp 52,7 triliun secara nasional, kredit macetnya mencapai Rp1,73 triliun.
Yang Perlu Dilakukan
Berhutang yang bisa berdampak pada kesehatan mental menjadi awasan bagi kita bahwa bukan tidak mungkin di Indonesia, juga khusus di NTT, akan banyak masyarakat yang terkena masalah mental karena utang.
Tekanan hidup karena utang bisa membawa orang pada kondisi depresi, munculnya ide bunuh diri, dan gangguan jiwa yang lebih parah seperti skizofrenia.
Bagaimana upaya mitigasi yang perlu dilakukan agar relasi pinjam-meminjam ini tidak memicu gangguan kesehatan mental?
Pertama, penyedia jasa keuangan perlu memahami risiko masalah kesehatan mental yang bisa dialami peminjam.
Karena itu, selain survei kemampuan membayar cicilan, penyedia jasa keuangan juga perlu mengembangkan instrumen untuk mengukur kesehatan jiwa seseorang sebelum pinjaman diberikan.
Urusan ini bisa dikerjakan bersama tenaga profesional kesehatan jiwa. Hasil skrining kesehatan jiwa bisa menjadi salah satu syarat orang layak diberi pinjaman atau tidak.
Kedua, masyarakat lebih baik meminjam pada lembaga-lembaga keuangan resmi, di mana relasi pinjam-meminjam dengan lembaga keuangan diatur secara jelas.
Amatan saya, lembaga-lembaga keuangan yang tidak resmi lebih cenderung mengejar keuntungan, ketimbang memperhatikan kondisi ekonomi para peminjam.
Dalam kaitan dengan hal ini, pemerintah dari berbagai tingkatan juga perlu memikirkan regulasi yang jelas bagi lembaga keuangan atau rentenir berkedok koperasi.
Ketiga, secara struktural atau pada tataran makro, tentu menjadi tanggung jawab pemerintah terus memikirkan strategi-strategi pembangunan yang membuat masyarakat semakin sejahtera. Pengandaiannya adalah semakin sejahtera suatu masyarakat, semakin kecil ruang untuk terjebak utang.
Selain itu, pemerintah perlu memberi perhatian pada praktik perjudian yang sepertinya telah membudaya dalam masyarakat kita. Praktik perjudian, termasuk judi online yang saat ini juga marak dipraktikkan di NTT, menjadi salah satu pemicu orang berhutang.
Meski tidak ada data resmi, namun dari informasi yang saya peroleh, banyak sekali kisah-kisah orang-orang yang mau berhutang, termasuk ke koperasi harian, hanya untuk berjudi.
Bijak Berutang
Hidup tanpa utang tentu menjadi impian kita semua. Namun, kebutuhan mendesak memang membuat kita sulit terhindar dari pilihan untuk berhutang, apalagi di tengah tawaran kredit yang makin mudah saat ini.
Harus diakui bahwa kehadiran lembaga-lembaga peminjam dana memang membantu dalam situasi terdesak. Namun, bagi siapapun yang memang terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan mendesak, tetap dipikirkan kemungkinan mengalami beberapa tanda dan gejala masalah kesehatan mental dan bagaimana cara mengolahnya.
Berhutanglah hanya untuk memenuhi kebutuhan yang benar-benar mendesak, sambil mengukur dan menyesuaikan kemampuan untuk mengembalikannya.
Jangan sampai karena berhutang, lalu menjadi galak, emosional, bahkan memilih jalan pintas menghindari utang dengan bunuh diri.
Saverinus Suhardin adalah dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Maranatha Kupang.