Penguasaan Lahan Skala Masif: Sisi Gelap Pembangunan Pariwisata di Labuan Bajo

Penulis, seorang imam Katolik, menyoroti dua skema penguasaan lahan secara masif di Labuan Bajo yang berdampak bagi ekologi dan sosial; pembangunan berbagai infrastruktur skala besar dan alih kepemilikan lahan dari warga setempat ke para pemodal.

Oleh:  Romo Silvianus M Mongko

Pembangunan pariwisata di Labuan Bajo –  salah satu dari 10 destinasi wisata yang diberi label super prioritas – terus memperlihatkan sisi paradoks. Kendati di level permukaan, sebagian masyarakat setempat antusias menyambut gegap gempita pembangunan yang sedang berlangsung, namun di balik semua itu ada fakta yang mengkhawatirkan, yaitu gelombang penguasaan lahan dalam skala masif yang menimbulkan dampak sosial dan ekologi.

Dari pengalaman di lapangan, saya menemukan penguasaan lahan untuk melayani kebutuhan investasi ini berlangsung dalam dua skema, yaitu pembangunan berbagai infrastruktur dan kawasan bisnis pariwisata oleh negara dalam skala besar; dan alih kepemilikan lahan yang masif dari warga setempat ke tangan para pemodal, yang umumnya disebut sebagai ‘orang-orang dari Jakarta.’

Infrastruktur yang Boros Lahan

Data Dinas Perizinan Kabupaten Manggarai Barat menunjukkan tren peningkatan arus investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Labuan Bajo.  Sampai triwulan III tahun 2019, 118 perusahaan asing dan 107 perusahaan dalam negeri yang mengantongi izin investasi di Labuan Bajo dan sekitarnya. Ini belum terhitung perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin selama tahun 2020 hingga 2022.

Di satu sisi, invasi kapital ke Labuan Bajo ini tentu menunjukkan tren positif untuk iklim investasi. Namun, yang patut dicatat bahwa investasi-investasi ini membawa serta soal lain, ketika terjadi ekspansi pembangunan fasilitas turisme meningkat tajam, seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, sementara di sisi lain proses peminggiran dan pengabaian masyarakat setempat juga berjalan beriringan.

Kita menyaksikan bahwa berbagai infrastruktur dalam skala besar memang terus dibangun di Labuan Bajo dalam rangka menyulap kota kecil di ujung barat Pulau Flores itu sebagai destinasi pariwisata kelas dunia. Di sini, saya hanya menyebut beberapa contoh.

Pertama adalah pembangunan infrastruktur jalan menuju Golo Mori, sekitar 25 kilometer ke arah selatan Labuan Bajo. Dibangun menuju lokasi yang disebut Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Golo Mori, panjang jalan ini adalah 21 kilometer, dengan lebar 23 meter.

Jalan itu memang dibangun untuk persiapan ASEAN Summit atau pertemuan para kepala negara anggota ASEAN, namun penting dicatat bahwa pembangunan ini menggusur pemukiman dan lahan-lahan warga, yang sebagiannya tidak mendapat ganti rugi. Di samping itu, pembangunan KEK di Golo Mori juga memakan lahan 320 hektar.

Kedua, pembangunan kawasan bisnis pariwisata di Hutan Bowosie oleh Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BPO-LBF). Kawasan yang berada di pinggir kota Labuan Bajo yang disebut Parapuar itu memanfaatkan lahan 400 hektar.

Selain bahwa perolehan lahan itu yang berdasarkan Keputusan Presiden Joko Widodo tahun 2018 masih menimbulkan polemik karena sejumlah kelompok warga juga ikut mengklaim sebagai pemiliknya, proyek ini dikhawatirkan banyak pihak akan menimbulkan krisis ekologi bagi kota Labuan Bajo. Di tengah protes yang masih terus berlanjut, BPO-LBF dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terus memasarkannya, dengan target investasi 800 miliar rupiah.

Di sisi timur kawasan Hutan Bowosie, pemerintah juga telah membangun kawasan persemaian (nursery) bibit tanaman. Diklaim dalam rangka menyediakan benih tanaman bagi Provinsi NTT, infrastruktur kawasan persemaian ini telah menumbangkan 30 hektar pohon-pohon besar yang selama ini ikut berkontribusi menjamin ketersediaan sumber-sumber air bagi warga sekitar.

Selain dua contoh di atas, kita juga bisa melihat pembangunan infrastruktur lainnya, seperti Water Front City yang dengan klaim demi penyediaan ruang bagi publik, telah mereklamasi sebagian wilayah laut di Labuan Bajo.

Penggunaan lahan dalam skala luas untuk melayani berbagai proyek pembangunan ini telah membawa dampak serius bagi ekologi serta kehidupan sosial warga setempat. Letak soalnya menurut saya adalah pada dua hal.

Pertama, imaji pariwisata kita terlampau kuat oleh pengaruh konsep-konsep pariwisata dari luar. Seakan-akan pariwisata itu identik dengan pembangunan fisik, sehingga semua bentuk destinasi harus ada unsur kemajuan yang direkayasa. Kita kehilangan orientasi dan konsep pembangunan pariwisata yang betul-betul datang dari kekuatan alam pikiran khazanah kita sendiri, yang memperhitungan betul dampak dan manfaatnya bagi warga lokal.

Kedua, selama tiga tahun lebih bertugas di Labuan Bajo, saya menemukan kondisi pariwisata yang terlampau didikte oleh pusat dan imaji pembangunan pariwisata berbasis kekuatan modal. Ada kekuatan invasi kapital yang mendorong obsesi pariwisata ke sektor pembangunan fisik melulu. Kapital di sini tidak semata-mata modal finansial, melainkan juga kemudahan akses terhadap kekuasaan.

Ketika orang berduit juga menguasai jalur-jalur kekuasaan dari pusat hingga daerah, maka ia akan dengan mudah menguasai bisnis di level apa pun, apalagi di daerah. Gelombang oligarki seperti ini diduga juga sedang ramai-ramainya mendarat ke Labuan Bajo, karena melihat prospek pariwisata Labuan Bajo yang terus berkembang pesat. Sebagian besar datang dengan modus memiliki dan menguasai lahan-lahan strategis dalam skala besar untuk bisnis pariwisata.

Labuan Bajo Tanah Airnya Orang Jakarta

Sudah menjadi pemandangan umum di Labuan Bajo dan sekitarnya, para pemodal yang sebagian besar berasal dari Jakarta telah menguasai lahan berhektar-hektar. Bahkan di beberapa tempat kita menemukan nama pemilik yang sama atas lahan yang luasnya bisa mencapai belasan hingga puluhan hektar.

Kepemilikan lahan seperti itu untuk konteks Labuan Bajo akan mempertajam ketimpangan sosial di tengah kebutuhan lahan untuk kepentingan warga yang juga terus meningkat. Celakanya, proses penguasaan dan pemilikan lahan sering berujung masalah karena sarat mafia. Tak heran kalau di atas lahan yang sama bisa diterbitkan hingga empat sertifikat tanah sebagaimana yang telah banyak diberitakan media belakangan ini.

Wilayah menuju KEK Golo Mori merupakan salah satu contoh yang sangat signifikan bagaimana lahan-lahan milik warga setempat telah dikuasai oleh para pemodal dari Jakarta.

Selama 3 tahun melayani umat di Stasi Golo Mori (2019-2021) yang kini menjadi KEK, di sepanjang jalan menuju ke wilayah itu, saya menemukan nyaris tak ada lahan yang tersisa karena sudah dikapling oleh nama-nama pemilik lahan yang sangat asing untuk telinga orang Manggarai.

Diduga, mereka adalah kelompok investor yang sudah jauh ke depan membaca potensi pariwisata alam yang menakjubkan ke wilayah selatan Labuan Bajo, dan telah lebih dahulu mengetahui agenda pembangunan pemerintah.

Proses beralilhnya kepemilikan tanah dari warga lokal ke tangan-tangan para pemodal ini berjalan bersamaan dengan lemahnya konsolidasi politik di tingkat lokal. Di lapangan saya menemukan begitu lemahnya sistem perlindungan terhadap aset tanah di zona-zona strategis pariwisata.

Seorang warga dua tahun lalu pernah berkisah bahwa sebidang tanahnya yang sangat strategis di pesisir pantai dibeli secara paksa oleh investor dengan harga yang sangat murah. Menurut kisahnya, dalam proses transaksi itu, ada dugaan keterlibatan oknum aparat keamanan.

Kondisi seperti ini memperlancar penguasaan lahan oleh investor yang membawa modal besar, dan di sisi yang lain memperlemah posisi warga lokal. Jika tidak ada sistem perlindungan melalui produk legislasi di tingkat daerah, maka besar kemungkinan proses-proses alih status kepemilikan lahan bisa dengan mudah mengakali masyarakat.

Pada tahun 2020, saya juga mendapat kisah seorang warga di pesisir selatan Labuan Bajo yang keluarganya pernah dipaksa untuk menandatangani surat pelepasan hak atas tanah yang masih berstatus tanah ulayat untuk dijual kepada pihak asing.

Kalau masalah seperti ini terus terjadi, maka pariwisata Labuan Bajo akan menjadi cerita kekalahan orang-orang di daerah karena ikut menyumbang secara paksa untuk kepentingan akumulasi kapital para investor.

Ekspansi penguasaan lahan dalam skala besar ini tentu saja membawa dampak buruk bagi warga dan lingkungan setempat.

Dalam konteks kehidupan masyarakat Manggarai, tanah adalah identitas yang tidak terpisahkan. Maka ketika terjadi pengasingan tanah dalam skala yang besar, pelan tapi pasti eksistensi masyarakat lokal dengan segala keberakaran pada budayanya sendiri juga akan mengalami kemerosotan.

Sebagai putra daerah, saya mengalami kecemasan tentang suatu masa di waktu yang akan datang di mana kita menjadi pengemis di atas tanah sendiri karena tidak ada lagi lahan dan kebun untuk menanam singkong dan jagung, atau tanaman untuk menopang perekonomian masyarakat.

Pentingnya Memperkuat Kepemimpinan Lokal

Bertolak dari kenyataan di atas, sepatutnya kita perlu bersikap kritis terhadap pembangunan pariwisata yang selama ini sudah terlanjur diklaim sebagai bagian dari model pembangunan yang berkelanjutan.

Untuk melihat semua ini secara kritis, kita dapat dibantu dengan studi-studi kritis para ilmuwan. Salah satunya adalah sebuah penelitian mendalam yang dilakukan oleh Guru Besar Andreas Neef dari Universitas Auckland di New Zealand yang menunjukkan sisi gelap pariwisata di negara-negara selatan. Menurutnya hal ini terjadi karena persekongkolan yang buruk antara pemerintah dengan para investor yang memanfaatkan akses-akses kekuasaan.

Masyarakat lokal, kata dia, selalu menjadi korban dari bencana kapitalisme yang  berhasil melahap semua sumber daya pariwisata. Dia mencatat bahwa; “Masyarakat telah menjadi korban dari bencana kapitalisme, di mana pejabat pemerintah setempat dan perusahaan pengembang pariwisata berkolusi dalam merampas tanah adat dari mereka yang dulunya pelaut, seperti pantai, kawasan bakau, kebun-kebun kelapa, dan wilayah pemakaman” (Andreas Neef, Tourism, Land Grabs, and Displacement, 2021). Apa yang digambarkan Andreas Neef ini juga sedang kita saksikan dalam proses pembangunan pariwisata di Labuan Bajo.

Sambil terus memperkaya diri dengan pandangan-pandangan kritis, saya mengusulkan perlunya penguatan  kepemimpinan  pada level lokal.

Kebijakan politik di tingkat daerah mesti mempertimbangkan potensi dan kemampuan daerah. Idealnya, pariwisata berkembang selaras dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pemerintah daerah mesti merespons secara cerdas intervensi pembangunan dari pemerintah pusat supaya agenda-agenda pembangunan tidak melulu untuk pembangunan fisik, daripada pembangunan sumber daya manusia.

Selain itu, pemerintah perlu memperkuat posisi DPRD melalui produk legislasi yang memberi jaminan bagi perlindungan hak-hak ulayat masyarakat dan masa depan pariwisata di Labuan Bajo, terutama keberlanjutan ekosistem di Taman Nasional Komodo, keselamatan ekologis, serta budaya daerah.

Yang perlu menjadi agenda strategis pemerintah ke depan adalah melindungi hak-hak dan kepentingan ekonomi masyarakat melalui penciptaan regulasi penguasaan lahan. Dalam hukum tanah nasional, penguasaan lahan itu harus dibatasi. Regulasi seperti ini bisa diturunkan ke peraturan-peraturan daerah, apalagi untuk konteks Labuan Bajo.

Hal itu dimaksudkan untuk memastikan keberlanjutan alam dan budaya masyarakat sebagai konten utama pariwisata Labuan Bajo, bukan malah menciptakan kegaduhan oleh wacana-wacana kebijakan yang merugikan masyarakat.

Di pihak lain, semua pihak di tingkat daerah mesti bergerak untuk mengisi ruang kosong kebijakan pariwisata agar betul-betul berbasis pada kekuatan dan potensi masyarakat lokal, bukan terpesona pada konsep dan produk-produk impor.


Romo Silvianus M Mongko adalah imam Katolik Keuskupan Ruteng, pernah bertugas di Labuan Bajo. Saat ini sedang studi ilmu hukum di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya