BerandaREPORTASEMENDALAMDakwaan untuk Gregorius Jeramu...

Dakwaan untuk Gregorius Jeramu dalam Kasus Terminal Kembur: Argumen Hakim yang Berbeda dengan Isi Dokumen Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur

Rincian belanja modal untuk pembangunan gedung terminal yang termuat dalam dokumen pemerintah Kabupaten Manggarai Timur yang diperoleh Floresa bertentangan dengan opini hakim terkait alasan dakwaan untuk Gregorius Jeramu dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk Terminal Kembur.

Floresa.co – Anggaran tahap kedua pembelian tanah Terminal Kembur pada 2013 yang diklaim hakim Pengadilan Tipikor Kupang sebagai penyebab didakwanya Gregorius Jeramu – pemilik lahan -, termuat dalam Peraturan Bupati (Perbup) Manggarai Timur Nomor 25 Tahun 2012 dan Perbup Nomor 21 tahun 2013.

Dalam dua Perbup itu yang dokumennya diperoleh Floresa itu dituliskan rinci bahwa belanja modal untuk Program Pembangunan Sarana dan Prasarana Perhubungan khususnya item Pembangunan Gedung Terminal terdiri dari belanja modal pengadaan tanah terminal dan belanja modal pengadaan konstruksi.

Pada item belanja modal pengadaan tanah, tercantum anggaran sebesar Rp 127.000.000 dan belanja modal pengadaan konstruksi gedung terminal sebesar Rp 1.955.425.000.

Rincian belanja modal untuk pembangunan gedung terminal yang termuat dalam dua Perbup tersebut bertentangan dengan opini Ketua Majelis Hakim, Wari Juniati dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang pada 20 Februari 2023.

Dalam sidang itu, ia menyatakan bahwa penetapan tersangka Gregorius hingga kemudian berstatus terdakwa karena ia mendapat aliran dana yang sebenarnya digunakan untuk pembangunan terminal, bukan untuk ganti kerugian pengadaan tanah terminal.

“Itu tadi, uang kedua [tahap II] itu untuk pembangunan terminal, tetapi dilarikan untuk pembayaran terdakwa. Jadi, pembangunan terminal tahun kedua itu [jadinya] untuk pengadaan tanah,” ujar Hakim Juniati dalam sidang itu.

Uang kedua yang dimaksudkan Hakim Juniati merujuk pada pembayaran tahap II pada tahun 2013 sebesar Rp127.000.000 di mana Gregorius mendapat Rp121.227.273 setelah dipotong pajak 5%. Sementara pembayaran tahap pertama dilakukan pada tahun 2012 di mana Gregorius memperoleh Rp 294.000.000.

Vinsensius Aliman, mantan ketua Komisi C Bidang Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat DPRD Manggarai Timur Periode 2009-2014 mengatakan, kedua Perbup tersebut merupakan rincian program pembangunan yang secara umum telah termuat dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2013 dan Perda Nomor 13 Tahun 2013 tentang APBD Perubahan  tahun 2013.

“Memang dalam Perda APBD 2013 dan Perda Perubahan APBD 2013, nama item program pembangunannya adalah pembangunan gedung terminal. Di situ  tidak ada rincian tentang pembelian tanah terminal,” katanya kepada Floresa, Selasa, 14 Maret 2023.

“Tetapi di Perbup, baik Perbup untuk anggaran induk 2013 maupun anggaran perubahan 2013 dirincikan bahwa belanja modal untuk item pembangunan gedung terminal itu adalah pengadaan tanah dan pengadaan konstruksi gedung terminal,” tambahnya.

Rincian belanja modal pembangunan terminal dalam Perbup Nomor 21 tahun 2013 tentang penjabaran anggaran perubahan APBD 2013. (Foto: Floresa.co)

Ia menjelaskan Perda APBD dan Perbup APBD merupakan dua dokumen anggaran pemerintah daerah yang saling berhubungan. Perbup merupakan dokumen yang menjabarkan semua program pembangunan yang telah dimuat dalam Perda APBD.

“Jadi, kalau terkait pengadaan tanah (Terminal Kembur) tahap kedua, itu memang rujukannya ada di Perbup Nomor 25 Tahun 2012 dan Perbup Nomor 21 Tahun 2013. Di situ ada item belanja modal pembelian tanah terminal untuk kepentingan umum,” ujarnya.

Kasus Terminal Kembur mulai mencuat ke publik setelah media menyoroti kondisi terminal yang terletak di Kembur, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong itu yang mubazir sejak selesai dibangun pada 2015.

Kejaksaan Negeri Manggarai mulai menyelidiki dugaan korupsi pembangunan terminal itu sejak awal 2021.

Pada akhir Oktober tahun lalu, Gregorius bersama Benediktus Aristo Moa ditetapkan sebagai tersangka yang kemudian menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.

Aristo dinilai bertanggung jawab karena perannya sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Hubkominfo) Manggarai Timur kala itu.

Bayu Sugiri, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai mengatakan usai penetapan tersangka terhadap Gregorius dan Aris pada 28 Oktober 2022, lahan pembangunan terminal tersebut ternyata belum bersertifikat dan saat melakukan perjanjian pembebasan lahan, Gregorius hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) sebagai alas hak.

Padahal, kata Bayu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.

Pihaknya pun menilai PPTK tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.

“Dokumen kesepakatan tersebut bertentangan dengan Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,” kata Bayu.

Berdasarkan perhitungan Inspektorat Daerah Provinsi NTT tanggal 29 Agustus, jelas dia, perbuatan keduanya telah memperkaya orang lain sekaligus merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian total (total loss) atau senilai yang telah dibayarkan kepada Gregorius, yakni Rp 402.245.455.

Dakwaan JPU itu telah dibantah oleh Roberto Simarmata, saksi ahli yang dihadirkan pihak Gregorius dalam sidang sebagai saksi ahli yang meringankan dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor Kupang pada 20 Februari 2023.

Dalam kesaksiannya, Simarmata menyatakan bahwa terdakwa Gregorius Jeramu ‘berhak’ mendapat ganti rugi.

Selain terlibat dalam dialog dengan Hakim Juniati, Simarmata juga diajukan cukup banyak pertanyaan oleh tim kuasa hukum Gregorius dalam sidang tersebut.

Selama proses tanya jawab itu, Simarmata menegaskan bahwa Gregorius adalah pemilik sah atas tanah yang kini dipersoalkan oleh JPU.

Namun, Hakim Juniati tetap bersikukuh dengan opininya dan menyatakan dalam sidang itu bahwa titik persoalan dalam kasus ini adalah Gregorius sebagai pemilik tanah menerima pembayaran dua kali dari proses pengadaan tanah yang kini sudah menjadi aset pemerintah itu.

“Jadi, di sini kita masyarakat bukan mempermasalahkan sertifikat yang sudah jadi, tetapi pengeluaran uang negara sampai dua kali [dalam] dua tahun,” kata Hakim Juniarti saat sidang tersebut.

Sementara, proses pengadaan tanahnya, poin yang menjadi dakwaan pihak kejaksaan terhadap terdakwa Gregorius, kata Hakim Juniati, sama sekali tidak bermasalah.

“Kalau pengadaan tanahnya sih gak masalah. Jadi, kerugian negaranya itu di situ [pembayaran dua tahap],” tuturnya.

Ia menjelaskan, masalahnya adalah pada “pengeluaran keuangan negara dua tahun berturut-turut dan itu ada penyimpangan.”

Namun, Hakim Juniarti, tidak menyebutkan secara rinci penyimpangan yang dimaksud.

“Kalau tanah ini pasti milik negara, sudah muncul sertifikat, tetapi pengeluaran keuangan negara untuk mendapatkan tanah ini yang kita sidangkan di sini. Masalahnya di situ,” ujarnya.

Hakim Juniarti kemudian menyatakan, masalah ini dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena negara mengeluarkan uang secara tidak wajar.

“Bukan karena perolehannya, tetapi pengeluaran keuangan negara itu wajar tidak seperti ini. Itulah prosedur yang dilalui oleh mereka, bukan perolehan tanah itu,” katanya.

“Kok, sampai banyak uang keluar untuk itu,” tambahnya.

Sementara, Simarmata dalam kesaksiannya mengharapkan pengadilan untuk mencari tahu apakah tindakan Gregorius “menerima uang ganti rugi” dari Pemda Kabupaten Manggarai Timur sebagai sebuah “tindak pidana korupsi” jika disandingkan dengan peraturan perundang-undangan pengadaan tanah.

“Tinggal mencari, apakah terdakwa termasuk yang memenuhi unsur [korupsi] dan dilihat dari peraturan perundang-undangan pengadaan tanah,” katanya.

Ia juga menegaskan agar pengadilan melihat hubungan antara cara Gregorius memperoleh tanah tersebut dengan kerugian negara sebelum menjatuhkan putusan.

“Silakan majelis hakim melihat fakta-faktanya,” katanya.

Dokumen Perda APBD induk 2013, APBD Perubahan 2013, Perbup APBD induk 2013 dan Perbub APBD perubahan 2013. (Foto: Floresa.co)

Tuntutan JPU

Pengadilan Tipikor Kupang telah melaksanakan sidang lanjutan kasus tersebut dengan agenda pembacaan tuntutan JPU pada Senin, 13 Maret 2023.

Dalam sidang yang dilakukan secara virtual itu, JPU menuntut Gregorius dengan tuntutan 2,6 tahun penjara dan membayar kembali uang pembelian lahan Terminal senilai yang telah ia terima. Sedangkan Aris dituntut dengan hukuman 2 tahun penjara.

Kuasa Hukum Aristo, Hipatios Wirawan mengatakan kepada  Floresa bahwa pihaknya akan mengajukan pledoi atau pembelaan dalam sidang lanjutan yang akan digelar pada Senin, 20 Maret mendatang.

“Menurut kami, bukan terdakwa Aristo yang bertanggung jawab, tetapi atasannya,” katanya.

Dalam kesempatan sidang  pada Senin, 6 Februari 2023, Aristo memang mengatakan bahwa ia hanya menjalankan perintah  atasannya dan mengklaim Surat Keputusan penunjukan sebagi PPTK adalah janggal.

“Saya tidak tahu apa tugas saya, maka pada saat ditunjuk menjadi Ketua PPTK, saya keberatan,” katanya kala itu.

Aristo menjelaskan, dua mantan atasannya di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai Timur – Fansialdus Jahang dan Gaspar Nanggar – yang masing-masing menjabat sebagai kepala dinas dan kepala bidang, memiliki peran penting dalam pengadaan lahan terminal yang menggunakan anggaran tahun 2012-2013 itu.

Fansi saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, sementara Gaspar sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai Timur.

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.

Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi menghabiskan anggaran sebesar Rp 4 miliar untuk pembangunannya, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.

Namun, usai dibangun, terminal itu tidak dimanfaatkan dan kini dalam kondisi rusak.

Jaksa mengusut kasus terminal ini sejak Januari 2021, dengan memeriksa 25 orang saksi.

Selain mantan Bupati Yoseph Tote, Kejaksaan juga telah memeriksa Fansialdus Jahang, mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi dan Gaspar Nanggar, mantan Kepala Bidang Perhubungan Darat di dinas itu.

Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga