Calo Tenaga Kerja Asal Ngada Diamankan di Labuan Bajo Setelah Berkali-kali Lolos, Komitmen Pemerintah Berantas Perdagangan Manusia Dipertanyakan

Janji-janji pemerintah, termasuk dari Gubernur NTT Viktor Laiskodat yang pernah mengancam mematahkan kaki dan tangan mafia perdagangan manusia, “hanya isapan jempol tanpa aksi nyata.”

Floresa.co – Polisi di Kabupaten Manggarai Barat mengamankan seorang pelaku perdagangan manusia yang mengaku sudah beberapa kali menyelundupkan tenaga kerja tidak berdokumen ke daerah lain.

TS, pria berusia 55 tahun asal Boakuru, Desa Rakateda 1, Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada, diamankan polisi setelah dilapor karena merekrut seorang gadis untuk dipekerjakan di Medan, Provinsi Sumatera Utara.

Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, AKP Ridwan mengatakan, TS menjanjikan kepada korbannya, gadis berusia 19 tahun yang masih siswi SMA, untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga.

“[Ia menjanjikan gaji] sebesar Rp.1.800.000 [per bulan] serta diberikan imbalan uang saku sebelum berangkat sebesar Rp. 150.000,” katanya kepada wartawan pada Selasa, 13 Juni 2023.

Ia menjelaskan, korban diberangkatkan dari Bandara Turelelo, Soa pada awal Mei.

Saat transit di Bandara Komodo, Labuan Bajo, kata dia, korban ini kebingungan. Seorang pegiat sosial yang mendapati korban itu di Bandara mencurigai bahwa ia adalah korban perekrutan tenaga kerja non prosedural, sehingga membawanya ke sebuah tempat aman di Labuan Bajo. Korban pun batal berangkat ke Jakarta, untuk seterusnya ke Medan.

Ridwan mengatakan, mereka mengetahui kasus ini setelah ada warga yang menyampaikan laporan resmi pada 6 Juni.

“Dari laporan itu, anggota kita lakukan upaya penyelidikan,” katanya.

“Tim bergerak untuk mencari terduga pelaku dan saat ini sudah berhasil diamankan di Mapolres Mabar.”

Ia mengatakan, TS dijerat Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sub Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP.

“[Ia] dapat dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, dengan pidana denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah,” katanya.

Sudah Berkali-kali

Ridwan mengatakan, TS telah mengaku menjadi perekrut tenaga kerja non prosedural selama beberapa tahun terakhir.

Sejak 2019, kata dia, TS sudah mengirim 12 tenaga kerja.

Dari setiap orang yang berhasil diberangkatkan, TS mendapatkan keuntungan Rp 2.500.000,- sampai dengan Rp 4.000.000.

Ridwan mengatakan, tenaga kerja yang diberangkatkan itu, “tanpa dilengkapi dokumen atau non prosedural sebagaimana yang menjadi persyaratan dalam merekrut tenaga kerja.”

Pelaku Orang Dekat Korban

Menurut Ridwan, orang-orang yang direkrut TS umumnya adalah orang dekatnya.

“Salah satu tenaga kerja yang pernah dikirim juga merupakan anak kandungnya sendiri,” katanya.

Informasi yang diperoleh Floresa, korban terakhir TS yang berhasil diamankan di Labuan Bajo masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya.

Seorang sumber di rumah aman di Labuan Bajo yang saat ini membantu menangani korban mengatakan, TS sempat datang menemui mereka bersama ayah kandung korban beberapa hari setelah korban diamankan di sana.

“Mereka sempat mengajak korban untuk kembali ke kampung mereka di Ngada. Namun, kami tidak mau ketika itu,” kata sumber itu kepada Floresa.

Ia mengatakan, mereka khawatir bahwa korban akan kembali dikirim untuk bekerja di tempat lain, juga mempertimbangkan kondisinya yang tampak trauma dengan peristiwa itu.

Sumber itu mengatakan, korban butuh waktu lama untuk bisa berkomunikasi dan menjelaskan proses-proses yang telah ia lalui hingga kemudian diberangkatkan.

“Beruntung sekarang ia sudah bisa bergaul seperti biasa dengan teman-temannya,” katanya.

Ia mengatakan, demi kepentingan korban, mereka berharap ia tetap tinggal di rumah aman yang dikelola sebuah kongregasi religius Katolik itu.

“Kami ragu bahwa ia akan aman jika kembali lagi ke orangtuanya, kecuali jika ada jaminan tertentu,” katanya.

“Setidaknya selama proses hukum kasus ini, dia tetap di sini,” tambah sumber itu.

Komitmen Pemerintah Dipertanyakan

Merespon kasus ini, Gabriel Goa Sola dari kelompok Zero Human Trafficking Network, yang mengadvokasi kasus-kasus perdagangan manusia di NTT mengatakan, kisah calo seperti TS yang berkeliaran di wilayah NTT bukan cerita baru.

“Dia hanya satu contoh yang beruntung bisa ditangkap,” katanya.

Gabriel mengatakan, masih maraknya praktek perdagangan manusia di NTT menunjukkan bahwa tidak ada perubahan serius yang dilakukan otoritas dalam merespons masalah ini.

“Padahal, sudah dari dahulu NTT ini disebut darurat perdagangan manusia. Saat ASEAN Summit yang digelar di Labuan Bajo pada bulan lalu, isu perdagangan manusia ini juga jadi topik utama. Tapi, yang terjadi kemudian, hanya sebatas omongan dan janji,” katanya.

Gubernur NTT Viktor Laiskodat yang pernah mengancam mematahkan kaki dan tangan mafia perdagangan manusia, menurut Gabriel, “hanya isapan jempol tanpa aksi nyata.”

“Begitupun dengan para bupati di NTT, saya tidak melihat ada komitmen serius untuk melawan masalah ini. Semuanya tampak masa bodoh,” katanya.

Ia mengatakan, jika pemerintah daerah serius, maka mereka perlu menerbitkan peraturan daerah tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Ia juga memberi catatan bahwa meskipun dalam beberapa kasus polisi tampak sigap menangkap pelaku, namun dalam kasus lainnya ada pola pembiaran.

Sebuah laporan investigasi Floresa pada tahun lalu juga mengungkap bagaimana di sebuah pelabuhan di Larantuka, Flores Timur, tenaga kerja non prosedural berangkat ke Kalimantan, untuk seterusnya ke Malaysia, tanpa ada kontrol dari otoritas setempat.

Usut Jaringan di Medan

Perihal kasus TS, kata Gabriel, hal yang juga perlu menjadi perhatian penegak hukum adalah menjangkau jaringan yang ada di tempat lain, seperti yang ada di Medan.

“Pelaku di lapangan seperti TS ini tidak bekerja sendiri. Ada orang-orang kuat di baliknya. Pertanyaan kita, apakah polisi mau serius berantas dari akarnya, atau hanya fokus tangkap pelaku lapangan,” katanya.

Ia mengatakan, dari pengalamannya mengadvokasi beberapa kasus, jaringan pelaku perdagangan manusia yang terhubung ke Medan, umumnya akan memberangkatkan para korban ke Malaysia.

“Kita tunggu komitmen serius polisi mengusut tuntas ini,” katanya.

Gabriel mengatakan, saat ini Mabes Polri di Jakarta sedang membentuk direktorat khusus untuk perlindungan perempuan dan anak dan pemberantasan tindak pidana perdangan orang, “yang menunjukkan ada langkah maju melawan kejahatan ini.”

“Saya berharap komitmen di level pusat utuk serius merespons isu ini juga diikuti oleh aparat hingga di level daerah,” katanya.

“Kami siap kawal kasus di Manggarai Barat ini, termasuk mengkomunikasikannya dengan tim di Mabes Polri,” tambah Gabriel.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA