Floresa.co – Butuh waktu tiga tahun bagi seorang anak di Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengungkap kekerasan seksual yang dialaminya.
Saat berusia 10 tahun, ia mulai menjadi korban pemerkosaan orang terdekat yang tinggal serumah; ayahnya sendiri.
Selama tiga tahun ini, sebagaimana dituturkan polisi, ia selalu mendapat ancaman pembunuhan jika berani menceritakannya kepada orang lain.
Pada Sabtu, 11 November, ia baru menceritakannya kepada ibunya, yang lalu memilih melapor kasus ini ke aparat desa, selanjutnya ke polisi.
Iptu Jeffry D.N. Silaban, Kasat Reskrim Polres Manggarai Timur berkata kepada Floresa, pemerkosaan pertama oleh PS, inisial ayah korban, terjadi pada 2020, berlokasi di kebun.
Meski menolak, kata dia kepada Floresa pada Rabu, 15 November, PS memaksa anaknya yang masih siswi Sekolah Dasar itu sambil mengancam; “Kau jangan teriak, nanti saya bunuh kau.”
Ia juga menekan anaknya agar menutup rapat-rapat kejadian itu. Dilakukan berulang-ulang, kata Silaban, pemerkosaan terakhir terhadap anak yang kini siswi Sekolah Menengah Pertama itu terjadi pada 28 September, juga di kebun.
PS, katanya, mengancam anaknya yang berusaha menolak; “Kalau kau tidak mau, saya bunuh kau dengan parang.”
Usai menjalankan aksinya PS juga berkata, “Kamu jangan cerita di mama atau keluarga, nanti saya bunuh kamu.”
Silaban menjelaskan, motif PS adalah melampiaskan hawa nafsu.
Ia menjelaskan, sejauh ini PS sudah mengakui perbuatannya, termasuk kepada kepala desa yang menemuinya usai mendapat laporan dari ibu korban.
“[Kepala desa] menanyakan kebenaran laporan itu dan terduga pelaku mengakuinya,” katanya.
Kepala desa itu bercerita kepada Floresa, pada Kamis, 16 November, setelah menerima laporan dari ibu korban, pihaknya segera berkoordinasi dengan pihak Kecamatan Elar Selatan, lalu menemuinya.
Selanjutnya, kata dia, mereka mengamankan dan menyerahkan PS ke Polres Manggarai Timur.
PS telah ditahan setelah kasus ini dilaporkan secara resmi pada 12 November dan polisi “sedang dalam tahap melengkapi berkas untuk dikirim ke Kejaksaan,” kata Silaban.
Ia mengatakan, PS disangkakan dengan Pasal 81 Ayat (1) Junto Pasal 76 D dan Pasal 81 Ayat (3) atau Pasal 82 Ayat (1) Junto Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
“Ancaman pidana 15 tahun penjara ditambah sepertiga,” katanya.
UU Perlindungan memang mengatur hukuman tambahan sepertiga jika pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban, yang membuat PS bisa mendapat hukuman penjara 20 tahun.
Silaban, dalam pernyataannya, tidak menyebut apakah mereka juga akan menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS] yang telah disahkan pada April tahun lalu.
Pendampingan Korban
Jefrin Haryanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana [DP3AP2KB] Kabupaten Manggarai Timur mengatakan, saat ini pihaknya sedang berusaha menjangkau korban untuk menawarkan pendampingan.
“Teman-teman kami sedang berusaha untuk bisa bertemu korban. Hari ini juga masih di lapangan untuk coba mencari alamat sesuai informasi terbatas yang kami dapatkan,” kata Jefrin kepada Floresa pada Kamis, 16 November.
Selain fokus pada penanganan korban, kata dia, dinasnya sekaligus mendorong pihak berwajib untuk memastikan penanganan kasus ini secara profesional.
Menurut Jefrin, dinasnya lazim melakukan asesmen kondisi korban, lalu memberi pendampingan psikologis.
“Bila diperlukan treatment yang lebih intensif, akan dipindahkan di rumah aman,” katanya.
“Konsep rumah aman di Manggarai Timur adalah rumah-rumah atau komunitas jejaring yang sudah biasa kami pakai untuk mengamankan korban dan untuk dilakukan terapi atau pendampingan psikologis,” kata Jefrin.
Sementara terkait pelaku, kata dia, “kita percayakan kepada pihak berwenang, sambil kita memantau perkembangan penanganan kasusnya.”
‘Kejahatan Luar Biasa’
Linda Tagie, pegiat isu perempuan asal Nusa Tenggara Timur, menyebut kasus Ini sebagai kejahatan luar biasa “karena korban adalah anak di bawah umur dan pelaku adalah ayah kandung.”
“Saya berharap Polres Manggarai Timur bisa memberikan rasa keadilan pada korban berdasarkan UU TPKS maupun UU Perlindungan Anak, baik berupa penanganan maupun pemulihan yang seadil-adilnya,” katanya kepada Floresa, Kamis, 16 November.
Menurut Linda, dalam tahap penanganan, korban berhak mendapat pelayanan hukum, penguatan psikologis, dan perawatan medis.
Sedangkan dalam tahapan pemulihan, “korban berhak mendapat rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari terduga pelaku, dan kompensasi dari negara.”
“UU TPKS juga menjamin kerahasiaan identitas korban sehingga saya pun berharap agar media dan masyarakat pengguna media sosial bisa mengawal kasus ini demi keadilan dan kemanusiaan, dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas korban,” kata Linda.
Apresiasi Untuk Ibu Korban dan Aparat Desa
Sementara itu, Mersinta Ramadhani, aktivis pemerhati perempuan dan anak dari Puanitas Indonesia mengapresiasi langkah ibu korban dan pemerintah desa yang segera melaporkan kasus ini ke polisi.
“Yang dilakukan oleh ibu dan warga kampung melalui kepala desa ini sudah tepat, dengan tidak memberi ruang normalisasi perilaku yang dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya,” katanya.
Mersinta mengatakan setelah membuat laporan, yang harus dilakukan adalah tetap mengawal ketat proses hukumnya, sembari memberikan bantuan kesehatan fisik dan psikologis kepada korban dan keluarganya.
“Dengan mengedukasi keluarga dan masyarakat sekitar menjadi support system yang tangguh untuk korban, tentu akan membawa perubahan yang baik dalam masa pemulihan psikologisnya,” kata Mershinta yang berbasis di Labuan Bajo.
“Bantuan hukum bisa jadi akan diperlukan jika ada indikasi proses hukum yang cukup panjang,” tambahnya.
Masyarakat kita dalam bentuk kebudayaan dan adat istiadat apa saja, kata dia, membutuhkan kesadaran dan pengetahuan yang cukup terkait kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya.
Hal ini, menjadi penting, “agar kita secara kolektif dapat memiliki gerakan preventif untuk menghapus kekerasan seksual di lingkungan masyarakat, keluarga, sekolah dan lingkup sosial lainnya.”
Tren Peningkatan Kasus Kekerasan Seksual
Kasus ini menambah daftar kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Manggarai Timur.
Data DP3AP2KB menunjukkan 12 kasus kekerasan seksual terhadap anak dilaporkan terjadi tahun ini. Dari jumlah tersebut, 11 di antaranya adalah pemerkosaan dan satu kasus pencabulan.
Jefrin Haryanto, Kepala Dinas DP3AP2KB mengakui data tersebut belum valid karena ada beberapa kasus yang tidak dilaporkan ke dinas.
“Masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan kasus seperti ini secara adat atau kekeluargaan,” katanya.
Beberapa kasus terakhir antara lain termasuk yang terjadi Agustus, di mana Polres Manggarai Timur menetapkan seorang pria sebagai tersangka karena memperkosa seorang anak selama empat kali. Berkas kasusnya telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Manggarai. Pelaku dan korban merupakan tetangga di sebuah kelurahan di Kecamatan Borong.
Pada Februari, polisi juga menetapkan tersangka Felix Heni, mantan anggota DPRD Manggarai Timur terkait pencabulan anak perempuan berusia 3,5 tahun yang merupakan tetangganya sendiri.
Masih pada bulan yang sama, Polres Manggarai Timur juga menahan seorang pria berusia 20 tahun yang mencabuli seorang anak berusia 15 tahun dan merekamnya dalam sebuah video.
Di wilayah lain di Pulau Flores, juga terjadi tren peningkatan kasus kekerasan seksual.
Rumah Singgah St. Theresia di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, yang mengadvokasi dan menampung para korban kekerasan mencatat lima kasus kekerasan seksual pada 2021, lalu dua kasus pada 2022.
Tahun ini, lembaga milik kelompok religius Katolik itu mencatat peningkatan signifikan dengan 27 kasus kekerasan seksual.
Kasus terkini di Manggarai Barat terjadi September, di mana seorang pria, yang adalah residivis, mencabuli empat orang anak, termasuk salah satu pelajar sekolah dasar, dengan kedok melakukan doa penyembuhan.
Gabriel Anggur, jurnalis di Manggarai Timur berkontribusi terhadap laporan ini.