Oleh: HIRO EDISON
Beberapa bulan yang lalu, saya secara kebetulan mengambil bagian dalam sebuah diskusi tentang pudarnya budaya Manggarai. Dalam perbincangan dengan beberapa orang yang peduli dengan budaya itu, kata yang selalu muncul ialah keresahan dan kegelisahan.
Keresahan itu timbul karena generasi muda saat ini tidak lagi tampil sebagai generasi yang melek akan budaya. Gaya hidup yang jauh dari semangat asli budaya Manggarai menjamur dalam generasi muda saat ini.
Akibat lebih lanjutnya ialah timbulnya kegelisahan bahwa beberapa dekade ke depan kebudayaan Manggarai akan kehilangan jejak.
Kita tentu mengharapkan agar kegelisahan itu tidak akan menjadi kenyataan. Oleh karena itu, pelestarian budaya Manggarai menjadi kebutuhan mendesak saat ini.
Pemicu
Mencari sebab memudarnya kekayaan budaya Manggarai tentu bukanlah pekerjaan yang memudah. Jika diibaratkan, pekerjaan itu seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Saking sulitnya, semua orang hampir berusaha lari dari segala usaha untuk melestarikannya.
Selain itu, tidak adanya sumber tulisan sebagai acuan pelestarian budaya memungkinkan usaha untuk menjaga orisinalitas budaya semakin sulit.
Sebab lain miskinnya pemahaman generasi muda akan budaya di Bumi Congka Sae ialah minimnya kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam upacara-upacara kebudayaan dan adat.
Meskipun hadir, namun kehadiran mereka hanyalah sebagai pembantu tokoh adat untuk melengkapi segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam upacara. Lebih dari itu, generasi muda banyak menghabiskan waktu di luar area upacara.
Tidaklah mengherankan jika banyak upacara kebudayaan dan adat berlalu begitu saja bagi kaum muda. Upacara kebudayaan kebanyakan hanya dinikmati oleh kaum tua atau tokoh adat lainnya. Kelihatnnya sederhana, tetapi dampaknya sungguh luar biasa.
Absennya kaum muda dari beragam upacara adat memungkinkan minimnya pengetahuan dan daya serap generasi muda akan keberagaman budaya Manggarai. Tidaklah mengherankan jika banyak generasi muda Manggarai saat ini gagap akan budayanya sendiri.
Hal yang telah mendarah daging dalam pola hidup masyarakat Manggarai ialah tidak memberikan kesempatan bagi anak-anak dan kaum remaja untuk ambil bagian dalam upacara adat.
Anak-anak dan kaum remaja hanya dipandang sebagai pengganggu upacara adat. Persepsi itulah yang menyebabkan putusnya mata rantai penanaman kebudayaan yang berkelanjutan. Akibatnya, banyak anak-anak dan kaum remaja memilih untuk menghabiskan waktu pada aktivitas yang lain daripada menghabiskan waktu di area upacara adat.
Oleh karena itu, tidaklah adil jika kita hanya menyalahkan kaum muda dalam problem memudarnya budaya Manggarai saat ini. Sebab jika kita kembali merunut sebab memudarnya budaya Bumi Congka Sae maka kita bisa mengatakan bahwa letak kekeliruannya ada dalam seluruh komponen generasi tua dan muda.
Akibat jangka panjang dari kebiasaan untuk tidak melibatkan anak-anak dan kaum muda dalam upacara adat ialah lahirnya generasi yang kita sebut dengan generasi gagap budaya.
Hal itu tentu melahirkan kesulitan tersendiri bagi penanaman kembali kebudayaan asali Bumi Manggarai. Semuanya harus dimulai dari awal.
Meskipun demikian, penaman kebudayaan asali itu mau tidak mau harus dilakukan. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita tidak kehilangan jejak dalam menjaga budaya warisan leluhur.
Jalan Keluar
Peradaban suatu masyarakat ditentukan oleh mengakar tidaknya budaya dalam seluruh masyarakatnya. Semakin kuatnya budaya suatu masyarakat maka masyarakat itu semakin maju. Demikianpun sebaliknya, semakin lemahnya kebudayaan suatu masyarakat maka semakin lambat kemajuan masyarakat itu.
Selain itu, mengakarnya kebudayaan suatu masyarakat juga turut memengaruhi kohesivitas masyarakat bersangkutan. Sering kali terjadi bahwa kesatuan dan persatuan masyarakat ditentukan oleh terjaganya budaya asali atau tidak.
Di tengah kegalauan massal tentang memudarnya kebudayaan Manggarai saat ini maka adalah suatu panggilan luhur bagi semua komponen masyarakat Manggarai untuk kembali menggali serta menanamkan nilai luhur kebudayaan yang asali ke dalam diri kaum muda.
Salah satu caranya ialah memanfaatkan jasa para sesepuh yang masih mengenal budaya Manggrai secara sungguh untuk mengajar di sekolah-sekolah sehingga kaum muda tidak kehilangan arah dalam mempelajari Pendidikan Lokal Seni dan Budaya.
Saya yakin bahwa bekal dan modal pemahaman para sesepuh tentang keasalian budaya Manggarai tidak melahirkan keraguan dalam pewarisan budaya. Pemahaman para sesepuh itu menjadi jembatan asa yang harus bisa digunakan jika kita tidak ingin kehilangan kekayaan budaya yang luhur.
Kita tidak memiliki sumber tertulis yang memadai dan cukup guna mengatasi kegalauan dan keresahan massal di atas. Para sesepuhlah yang menjadi perpustakaan terakhir tempat kita belajar keaslian budaya sehingga dapat diwariskan dengan utuh. Tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk saling menyalahkan sebab hal itu ibarat mengurai benang kusut.
Kini saatnya bagi kita untuk menjaga kelestarian budaya sehingga Bumi Congka Sae tidak menangis saat ia menyaksikan bahwa anak-anak yang dilahirkan hanyalah generasi tanpa budaya.
gar hal itu tidak terwujud maka panggilan untuk membangun jembatan asa guna pelestarian budaya di tanah Kuni Agu Kalo menjadi panggilan semua anak-anak Manggarai.
Harapan
Sebagai anak yang terlahir di Bumi Congka Sae, saya mengharapkan agar keresahan dan kegelisahan yang timbul dalam perbincangan kami sunguh-sungguh tidak akan menjadi kenyataan.
Harapan itu lahir dari keyakinan bahwa generasai muda Manggarai akan tergugah jika menyadari sungguh kenyataan yang dihadapi oleh budaya Bumi Congka Sae saati ni. Ketergugahan itu hendaknya melahirkan suatu komitmen bersama untuk memulai gerakan pelestarian budaya entah melalui belajar bersama atau menggali kembali keaslian budaya Manggarai.
Kita semua tentu tidak menginginkan jika keseluruhan budaya yang diwariskaan oleh para leluhur hilang ditelan bumi.
Akhirnya, marilah kita anak-anak yang terlahir di Bumi Congka Sae membulatkan hati untuk menyatukan tekat dan menggandengkan tangan menjaga serta melestarikan warisan mulia para lelhur kita dengan kembali belajar budaya-budaya yang kita terima dari mereka.
Itulah panggilan kita semua jika kita tidak menginginkan Tana Kuni agu Kalo yang tercinta terhapus dari sejarah dan narasi indahnya.
Penulis adalah calon imam SMM, sekararang tinggal di Malang, Jawa Timur