Oleh: VENANSIUS HARYANTO dan ARIO JEMPAU
Hutan Bowosie, Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), terancam. Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo mengalih fungsi lahan seluas 400 hektar di kawasan ini untuk bisnis pariwisata mendapat sorotan publik. Rencana ini berpotensi menghancurkan kelestarian hutan Bowosie yang secara ekologi sangat penting bagi Kota Labuan Bajo dan sekitar.
Kini, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, forum-forum mahasiswa, organisasi lingkungan, makin intens mengkonsolidasi diri menentang kebijakan kontroversi ini.
Badan Pelaksana Otorita-Labuan Bajo Flores (BPO-LBF) baru saja mengeluarkan dokumen presentasi master plan pembangunan di kawasan itu pada Maret 2021, di tengah krisis pandemi COVID-19 dan bencana ekologis yang menghantam NTT.
Protes publik terhadap alih fungsi hutan Bowosie, sebenarnya sudah sejak lama. Bersamaan dengan gelombang protes atas berbagai kebijakan pembangunan di Taman Nasional Komodo, publik terus protes kehadiran BPO-LBF sejak 2018.
Satu alasan mendasar dibalik gelombang protes publik itu adalah wewenang BPO-LBF mengalih fungsi lahan seluas 400 hektar di kawasan hutan Bowosie-Nggorang-Labuan Bajo untuk membangun apa yang disebut dengan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo-Flores. Puncak dari protes itu ketidaksediaan perwakilan publik menandatangani berita acara konsulitasi publik analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pembangunan dalam hutan Bowosie pada 12 Desember 2019.
Kepentingan bisnis wisata
Lahan seluas 400 hektar bakal jadi kawasan bisnis wisata oleh BPO-LBF ini bagian dari kawasan hutan RTK 108 Nggorang-Bowosie. Wilayah hutan yang terbentang dari batas Kota Labuan Bajo sisi barat sampai hutan lindung Mbeliling sisi timur ini berada dalam wilayah administrasi Kelurahan Wae Kelambu, Desa Gorontalo, Golo Bilas dan Nggorang. Bersama dengan hutan lindung Mbeliling, Bowosie tercatat sebagai hutan produksi dengan pemanfaatan potensi jasa lingkungan.
Alih fungsi kawasan hutan ini untuk tujuan investasi pariwisata mulai ketika pemerintahan Joko Widodo menerbitkan Perpres No.32/2018 tentang Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores, yang baru saja berganti nama jadi Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores.
Bersamaan dengan pemberian izin-izin investasi di Taman Nasional Komodo, Badan Pelaksana Otorita dibentuk guna mempercepat investasi pariwisata skala besar di Labuan Bajo-Flores.
Berdasarkan perpres itu, badan ini punya wewenang mengolah lahan 400 hektar dari hutan Bowosie. Di lahan itu, BPO-LBF akan membangun apa yang disebut dengan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores. Konon, ia akan jadi model pengembangan bisnis pariwisata di Flores.
Merujuk pada dokumen-dokumen resmi tentang master plan pembangunan itu, publik tak saja perlu perlu mengetahui, juga mengkritik beberapa poin berikut.
Pertama, privatisasi kawasan hutan ini melalui dua skema, satu, perubahan kawasan hutan jadi bukan hutan alias area penggunaan lain (APL). APL ini seluas 136,28 hektar. Satu lagi, melalui skema usaha pemanfaatan jasa lingkungan alam (IUPSWA) dengan lahan 236,72 hektar.
Kedua, jenis-jenis usaha bisnis pariwisata yang akan dibangun di lahan itu terbagi dalam empat distrik yaitu cultural district (114,73 hektar), leisure district (63,59 hektar), wildlife district (89,25 hektar), dan advencture district (132,43 hektar). Yang termasuk dalam cultural district antara lain cultural center + performance center, hotel+mice (168 keys), Bajo gallery, commercial village, family hotel resort (17 bungalow+ 96 kamar).
Kemudian, leisure district terdiri dari high-end resort (29 bungalow +126 kamar), worship center + pilgrimage, dan forest walk. Wildlife district terdiri dari cliff restaurant, lumina forest, interpretation center, outdoor theater, mini zoo dan natural reserve galerry.
Sedangkan adventure district terdiri dari high-end clamping (hotel glamour camping 25 keys), lookout point, cable car line length, elevated ciycling, luge ride, dan bike zipline.
Dari informasi tentang skema dan jenis-jenis bisnis itu, setidaknya ada dua hal jadi jelas. Pertama, kendati privatisasi kawasan hutan ini dalam dua skema berbeda, pembangunan infrastruktur dalam skala luas tetap merata tersebar di lahan 400 hektar ini.
Kedua, kendati meski dipilah dalam empat district dan diberi nama yang kental bernuansa alam dan budaya, elemen paling dominan dari bisnis ini adalah resort dan hotel. Pada semua distrik ada bangunan hotel dan resort-resort mewah yang akan memanfaatkan lahan skala besar.
Ketiga, sebagai implikasi dari penerapan omnibus law, disebutkan, perusahaan-perusahaan yang berinvestasi dalam kawasan ini akan terbebas dari kewajiban mengurus Izin amdal/UKL-UPL serta izin mendirikan bangunan (IMB).
Pertanyaan kemudian, bagaimana mungkin sebuah pembangunan dalam skala besar, apalagi dalam kawasan hutan bebas dari syarat-syarat lingkungan?
Kawasan penting
Penolakan kuat dari publik terhadap rencana pembangunan pariwisata di hutan Bowosie, tidak dapat begitu saja dilabeli suara dari kaum penolak pembangunan. Kritik mereka ini berdasarkan sebuah alasan sangat fundamental yaitu soal betapa penting kelestarian hutan Bowosie sebagai peyangga ekologi Kota Labuan Bajo dan sekitar. Selain itu, bersama gerakan perlawanan lain yang menyeruak di banyak tempat di Flores, protes publik terhadap pembangunan ini juga bagian dari upaya mempertahankan keberlanjutan ekologi Kepulauan Flores. Pulau ini dalam satu dekade terakhir berada di bawah ancaman investasi ekstraktif, energi dan pariwisata.
Bagi publik, mempertahankan kelestarian ekosistem alami hutan Bowosie sangat penting atas dasar tiga alasan. Pertama, sebagai kawasan hutan yang didominasi ekosistem karst, keberadaan hutan Bowosie sangat penting sebagai sumber air bagi Kota Labuan Bajo serta kampung-kampung sekitar.
Hutan Bowosie tercatat sebagai sumber mata air bagi kurang lebih 11 mata air di Kota Labuan Bajo, yaitu mata air Wae Nahi, Sernaru, Ujung Sawah Sernaru, Kampung Lancang, Wae Kesambi, Pasar Baru, Wae Kelambu, Wae Mata, dan Wae Mata Belakang Seminari. Juga mata air Ujung Bandara/Binongko, Seminari Kententang, Ketentang.
Selain itu, bersama hutan lindung Mbeliling, hutan Bowosie juga jadi sumber mata air bagi Kali Wae Mese yang mengairi persawahan di Nggorang, Merombok, Satar Walang dan Tompong. Persawahan ini satu sentra pangan di Manggarai Barat. Apabila kawasan ini tereksploitasi, berpotensi sangat merusak ekosistem karst sebagai penampung dan penyalur air yang bermanfaat bagi wilayah sekitar.
Kedua, posisi terletak di atas pemukiman (Labuan Bajo dan sekitarnya), kelestarian ekosistem hutan Bowosie jadi sangat penting sebagai pelindung pemukiman dari potensi bencana banjir. Bencana banjir bandang yang baru terjadi di NTT, menunjukkan, sebagian daerah yang menjadi episentrum bencana, tata kelola lingkungan terbukti buruk. Di Sumba, misal, banjir di daerah tertentu terpicu perusakan kawasan hutan sekitar dari aktivitas-aktivitas perusahaan.
Untuk konteks Labuan Bajo, pengalaman banjir pada 2019 memberi pelajaran tersendiri bagi publik. Kala itu, beberapa wilayah di sekitar Kota Labuan Bajo, terutama di Desa Gorontalo, terendam banjir. Pembabatan hutan Bowosie akan makin mempersempit wilayah resapan hujan.
Sekarang ini, pembangunan infrastruktur pariwisata seperti hotel dan resort makin mempersempit area resapan hujan di sekitar hutan lindung Mbeliling.
Ketiga, hutan Bowosie juga tercatat sebagai habitat alami dari sejumlah burung endemik Flores. Didominasi hutan lembab, hutan Bowosie merupakan habitat bagi kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), gagak Flores (Corfus florensis) dan serindit Flores (Loriculus flosculus).
Atas dasar itu, demi keberlanjutan ekologi Pulau Flores, BPO-LBF harus mengevaluasi rencana pembangunan bisnis wisata di hutan Bowosie, dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen. Ini salah satu cara agar pembangunan pariwisata berkelanjutan seperti cita-cita tertinggi dari BPO-LBF dapat terealisasi di bumi Flores.
***
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Mongabay.co.id. Kembali dimuat di sini untuk tujuan pendidikan.