Yoseph Ronaldi: Berdayakan Petani Kopi, Melawan Praktik Ijon dan Dominasi Tengkulak

Di bangku kuliah, Yoseph Ronaldi belajar teologi karena ingin menjadi Guru Agama Katolik. Namun, ia banting stir menjadi pebisnis kopi setelah mendengar cerita kekalahan petani kopi di kampungnya, Colol karena praktik ijon dan dominasi tengkulak. Kini, selain brand Ponan Coffee miliknya sudah merambah pasar kopi biji dan bubuk di Ruteng dan Labuan Bajo, ia juga membantu memberdayakan para petani kopi.

Floresa.co – Usai menyelesaikan kuliahnya pada 2017, Yoseph Ronaldi (28) tidak membayangkan bahwa ia akan berbisnis kopi.

Ia memang berasal dari Colol, daerah yang terkenal sebagai penghasil kopi unggulan di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Kedua orangtuanya juga petani kopi.

Namun, di Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus Ruteng, yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pengetahuan [STKIP], ia kuliah jurusan teologi, ilmu yang membawanya lebih dekat ke urusan pengetahuan tentang agama dan Tuhan.

“Dulu saya bercita-cita menjadi Guru Agama Katolik, makanya mengambil jurusan Teologi Keguruan,” katanya kepada Floresa.co.

Sambil mencari pekerjaan usai kuliah, pemuda yang disapa Ronald ini menghabiskan banyak waktu di kampungnya.

Ini membuat ia memiliki banyak kesempatan untuk mendengar cerita dari para petani kopi.

Meski lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat petani kopi, momen usai kuliah itu, ditambah dengan wawasannya yang kian terbuka, membuat ia baru bisa menangkap dengan jelas keresahan mereka.

“Mereka curhat tentang harga kopi, pemasaran, hasil produksi, dan banyak hal lainnya,” kata Ronald.

“Tapi saya diam saja, karena merasa sebagai seorang Sarjana Pendidikan Teologi bukan ranah saya berbicara itu,” tambahnya.

Kopi versus Realitas Petani

Colol berada di daerah lembah di kaki bukit atau Poco Nembu, 1.300 meter di atas permukaan laut. Jaraknya sekitar 40 kilometer ke arah utara dari Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur.

Ibu-ibu di Colol sedang membersihkan biji kopi yang baru digiling. (Foto: dok. Ronald Igu)

Seperti halnya keluarga Ronald, kopi menjadi komoditi utama di Colol, juga di wilayah pedalaman Manggarai Timur umumnya. Semua keluarga memiliki kebun kopi, yang diwariskan turun-temurun.

Karena begitu vitalnya kopi bagi mereka, petani kopi Colol pernah berkorban nyawa saat menentang kebijakan pemerintah yang membabat kopi mereka pada 2004, yang dituding berada di kawasan hutan. Dalam peristiwa yang kemudian dikenal Rabu Berdarah pada 10 Maret 2004, enam warga tewas dan lebih dari 20 orang lainnya terluka parah diserang polisi, yang sebagiannya mengalami cacat permanen.

Menurut data Badan Pusat Statisti Kabupaten Manggarai Timur tahun 2020, luas areal perkebunan kopi di Kecamatan Lamba Leda Timur, yang mencakup Colol adalah 10.560 hektar dengan produksi 2.201 ton per tahun. Terbanyak adalah varietas Robusta dan Arabika.

Dua varietas kopi itu juga pernah dinobatkan sebagai kopi terbaik dalam sebuah kontes kopi spesialti Indonesia yang diadakan oleh Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia serta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember pada 2015.

Namun, banyaknya kopi, juga cerita soal kualitasnya, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani.

Menurut data BPS, di Kabupaten Manggarai Timur, dari 172.603 penduduk yang mayoritas (82,28 %) adalah petani, jumlah warga  miskin pada tahun 2021 adalah 77,17 ribu (26,50%). Kabupaten itu juga termasuk di antara 13 kabupaten di NTT yang dikategorikan tertinggal, menurut Keputusan Peraturan Presiden No 63 Tahun 2020.

Kajian Cypri Jehan Paju Dale dalam bukunya Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013) mengaitkan kekalahan petani kopi di wilayah Manggarai dengan modus bisnis para tengkulak  – yang membeli kopi dari petani dengan harga amat rendah – dan praktik ijon orang kaya –  yang meminjamkan uang kepada petani yang sedang kesulitan finansial dan saat musim panen kopi-kopi mereka langsung diberikan kepada orang kaya itu dengan harga rendah.

Problem lain dalam riset Dale adalah pengelolaan kebun dan pasca panen yang buruk, biaya transportasi yang tinggi, kurangnya pengembangan kapasitas petani, petani yang kurang terorganisasi dengan baik, lemahnya kerja sama di antara stakeholders [pemangku kepentingan], termasuk absennya kebijakan pemerintah yang memperkuat posisi petani.

Deretan persoalan ini membuat petani yang menanam, merawat, dan memanen kopi tetap tercekik.

Jalan yang Terbuka

Cerita-cerita kekalahan petani kopi itu terkonfirmasi dari cerita-cerita yang Ronald dengar dari warga sesama kampungnya, tentang bagaimana mereka setiap tahun menghadapi masalah yang sama; menjual kopi dengan harga rendah ke tengkulak dan terjebak dalam praktik ijon yang sulit dihindari karena tuntutan ekonomi.

Kondisi ini melahirkan pertanyaan yang terus mengiang di benaknya; “apa yang bisa saya buat untuk menjawabi persoalan-persoalan mereka?”

Jalan baginya untuk mencari jalan keluar perlahan terbuka ketika setelah beberapa bulan di kampung, menjelang akhir tahun 2017, ia mendapat pekerjaan sebagai staf lapangan di Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi [PSE], sebuah divisi pastoral Keuskupan Ruteng.

Dengan bekal pelatihan dari komisi itu, ia ditugaskan menjadi penyuluh pertanian kopi, di mana dia membantu pemberdayaan petani kopi, mulai dari proses budidaya sampai pengolahan pasca panen.

“Di situ saya merasa semakin dekat dengan situasi petani, bukan hanya membantu mereka tetapi juga menjadi bagian dari pekerjaan mereka.”

Ia mengatakan program-program pelatihan yang diadakan oleh PSE sangat membantu pekerjaan awalnya sebagai penyuluh.

Dengan bekal pelatihan itu ia juga ditugaskan untuk mendampingi para petani kopi di luar Colol, yaitu di Kecamatan Kota Komba dan Kecamatan Borong.

Setelah berproses bersama para petani, katanya, “sampailah kami di satu titik setelah pengolahan pasca panen sesuai SOP yang diajarkan PSE, tetapi mereka [para petani] bingung mau pasarkan [kopi] ke mana”.

“Eng ta Nana, poli lami panded kopi so’o sesuai toing dite, pika nias lami ga?” ujar Ronald meniru kata-kata para petani yang bingung memasarkan kopi yang telah mereka olah sesuai materi pelatihan PSE.

Kata-kata itu membuat ia tertantang, lalu mulai mencari pasar yang pas bagi kopi para petani.

Ronald mulai dengan eksperimen kecil. Ia mengunggah foto dan video pengolahan kopi para petani di media sosialnya sambil memasarkan kopi mereka. Ia menggunakan nama brand Ponan Coffee.

Kopi dengan brand Ponan Coffee milik Ronald Igu. (Foto: dok. pribadi)

Rupanya, cara itu cukup berhasil karena beberapa orang temannya langsung mengontak memesan sampel kopinya.

“Pembeli Ponan Coffee pada awalnya adalah pembeli lokal dari Labuan Bajo. Setelah itu, saya juga mendapatkan pesanan dari luar pulau,” ungkapnya.

Tak lama berselang, kata dia, pemesan awal produk Ponan Coffee membicarakan rencana pemesanan berkala, yang menurutnya menjadi angin segar bagi penjualan produk itu.

“Sampel kopi yang saya kirim memenuhi standar cupping dari pembeli, sehingga pemesanan berlanjut dan lebih banyak.”

Cupping adalah metode atau teknik untuk mengevaluasi karakteristik yang berbeda dari biji kopi tertentu, sehingga bisa membandingkan karateristik biji kopi antara yang satu dengan yang lainnya.

Ronald menjual kopi dari para petani dan mengambil sedikit keuntungan dari kerja pemasaran tersebut sebagai modal usaha barunya.

“Modalnya adalah kepercayaan para petani pada saya”.

Lama kelamaan, pemesanan kopi semakin banyak, bukan hanya dalam bentuk biji yang sudah diroasting atau disangrai, tetapi juga bubuk kopi.

Pesanan kopi yang awalnya hanya sekitar 70 hingga 80 kilogram, kemudian menjadi 300-an kilogram per bulan.

“Awalnya serba manual, mulai dari roasting, tubruk, hingga pembuatan kemasan kopi yang akan dipasarkan. Setelah modal cukup banyak, saya membeli mesin roasting dan grinder tubruk kopi.”

Pemilahan biji kopi yang baru saja dipetik dari pohonnya. (Foto: dok. Ronald Igu)

Ronald merasa, meski semuanya serba sederhana, tetap ada harapan akan masa depan usaha yang akan menjawab persoalan utama para petani di kampungnya.

Setelah  hampir setahun bekerja di Komisi PSE, ia pun lalu memutuskan untuk berhenti dan menekuni bisnis pribadinya di bidang pemasaran kopi.

Dalam setiap perjumpaan dan kesempatan bincang-bincang bersama para petani, ia mengutarakan strategi yang direncanakannya dalam pengolahan dan pemasaran kopi.  Ia memberikan gambaran kepada mereka tentang bagaimana kebun dan hasil panen kopi diolah sehingga sesuai dengan standar pasar.

Ia juga mengajak mereka untuk bekerja sama menjadi pemasok produk kopi mentah untuk diolah lalu dipasarkan dengan brand Ponan Coffee, hal yang menurutnya akan meningkatkan produktivitas panen serta penghasilan petan.

Kini kopi dengan brand Ponan Coffee menjangkau kafe, restoran, bahkan hotel-hotel di Ruteng dan Labuan Bajo.

Ia mengaku, saat ini sudah memiliki konsumen dan pasar yang jelas dan stabil, di mana mereka selalu memesan Ponan Coffee setiap bulan.

Beberapa dari konsumen tersebut, kata dia, sudah mengikat kontrak kerja sama. Dengan kondisi pasar yang stabil, ia mengatakan meraih pemasukan hingga 35 juta rupiah per bulan.

Memberdayakan Petani

Ronald mengatakan, sebagaimana niatnya sejak awal adalah membantu petani, ia mengatakan sistem yang dia bangun berusaha menanggapi pengalaman kekalahan petani kopi Colol yang seringkali tidak berdaya dengan modus bisnis para tengkulak dan praktik ijon.

Tahap pembersihan biji kopi pasca digiling, siap melanjutkan tahapan roasting. (Foto: dok. Ronald Igu)

“Ketika kita memasarkan kopi secara langsung kepada pembeli, tidak ada pemotongan harga seperti yang dibuat oleh tengkulak. Petani dapat untung, kita juga dapat untung,” katanya.

Dengan mengadakan pelatihan kepada petani, mulai dari proses tanam hingga pengolahan hasil panen, Ronald berupaya meningkatkan kualitas produk kopi.

Kopi yang berkualitas, kata dia, akan menentukan kestabilan harga dan tingkat kepuasan konsumen.

“Harga kopi petani juga ikut naik kalau kualitasnya terjaga. Itu kami upayakan secara bersama-sama, mulai dari tanam sampai pasca panen.”

Menurutnya, asas utama pemasaran produk adalah pemilik barang yang menentukan harga barang tersebut.

“Kalau kita ke pasar membeli celana, tidak mungkin kita yang menentukan harganya, pasti si penjual. Tetapi selama ini, bisnis kopi ini terbalik. Justeru pemilik uang yang menentukan harganya. Ini persoalannya”.

Dengan asas itu, Ronald ingin “membalikkan logika pemasaran kopi”.

Para petani, kata dia, menjual habis produk kopinya pasca panen, sedangkan permintaan pasar terhadap kopi tidak terbatas hanya pada musim panen.

“Konsumen tidak tahu apakah musim panen atau tidak. Intinya dia pesan, kopinya ada.”

Untuk memenuhi permintaan kopi yang datang setiap hari, ia menggunakan sekaligus strategi rantai pasok dan rantai pemasaran.

Ia bersama para petani mengumpulkan hasil panen kopi dan mengolahnya dalam jumlah yang cukup banyak.

Dengan begitu, mereka tidak kehilangan pelanggan akibat ketiadaan pasokan kopi. Secara finansial, petani juga tidak mengalami kesulitan di luar musim panen.

Aloisius Mensi Arsa [43], salah petani asal kampung Colol, Desa Colol yang bekerja sama dengan Ronald mengatakan ia sangat terbantu dengan sistem yang dibangun Ronald.

“Harga [kopi] bagus setelah kami bekerja sama dengan Ronald,” katanya kepada Floresa.co.

Mensi mengatakan, sebelumya ia menjual kopi kepada para pedagang setempat, yang menurutnya menetapkan harga yang rendah yang membuatnya merasa diperas, apalagi dengan sistem ijon.

“Secara pribadi, setelah bekerja sama dengan dia, sistem ijon sudah tidak ada lagi,” katanya.

“Saya menjual kopi jenis Yellow Caturra, Red Caturra, Arabika, dan sedikit Juria”.

Hal lainnya menurut Mensi adalah Ronald rutin mengadakan pemberdayaan dan pelatihan  terkait proses perawatan kopi, mulai dari awal sampai pengolahan hasil panen.

“Untuk sementara, petani yang bekerja sama dengan dia sudah mencapai angka ratusan orang di Desa Colol”, ungkapnya.

Tempat penjemuran biji kopi yang baru dipetik sebelum digiling. (Foto: dok. Ronald Igu)

Perlu Membaca Peluang

Ronald mengatakan, ia bertekad terus mengembangkan usahanya, sambil mengajak sesama generasi muda untuk bersama-sama mencari cara memberdayakan para petani kopi, juga kelompok masyarakat lainnya yang seringkali terpinggirkan.

Namun, ia juga menyadari bahwa ada tendensi kurangnya minat generasi muda menjadi petani kopi karena takut berhadapan dengan kompetisi pasar dan karena sudah terlebih dahulu “mengutuk diri menganggap tidak mampu.”

Padahal, kata dia, pasar sekarang sudah terbuka lebar dan tinggal menunggu keberanian untuk mengakses itu.

Ia juga mengatakan, perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan, terutama karena gelombang kunjungan wisata ke Flores mesti dilihat sebagai peluang.

“Kita boleh maju karena pariwisata semakin maju, tetapi untuk apa memuji-muji kemajuan kalau petani kita sendiri tidak mendapatkan apa-apa dari situ.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA