Floresa.co – Secara aklamasi, Hariyanto Suwarno untuk ketiga kalinya terpilih menjadi Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia [SBMI] pada 8 Desember 2023.
Sebelum terpilih untuk periode 2023-2028, Hari–demikian ia disapa–menjabat Ketua Umum SBMI pada 2015-2019 dan 2019-2023.
Baginya, “kepemimpinan bukan soal posisi, melainkan aksi.”
Selama bertahun-tahun, Hari mendampingi ratusan buruh migran yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO]. Puluhan di antaranya berasal dari sisi timur Pulau Flores, Alor, Solor, Adonara dan Lembata.
Ia telah bolak-balik antarpulau di Nusa Tenggara Timur [NTT]. Dari pengalamannya, Hari menemukan tiga akar masalah yang mesti lekas dibenahi pemerintah: minimnya infrastruktur, ketiadaan pengakuan akan bentuk-bentuk migrasi serta ketidakadilan agraria.
Anastasia Ika dari Floresa mewawancarai Hari baru-baru ini untuk mengetahui pandangannya soal penanganan TPPO di NTT. Berikut petikannya.
Tak cuma sekali, dua kali kita mendengar pekerja migran dari NTT menjadi korban TPPO. Pada saat yang sama, terdapat beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang, karena tak juga terkuak, akhirnya melatenkan TPPO. Apa yang melatarbelakangi kelatenan TPPO terhadap pekerja migran asal NTT?
TPPO bersifat laten karena ketidaktahuan bersama soal unsur-unsur pembentuknya.
Di dalamnya terdapat proses, cara dan tujuan eksploitasi. Ketiga unsur itu terkadang membuat TPPO sulit dibedakan dengan bentuk kekerasan lainnya.
Di lain sisi, korban TPPO acapkali tak melapor lantaran pelbagai alasan.
Dalam beberapa kasus TPPO di NTT, ketidaksediaan melapor itu kerap dipicu migrasi yang didasari “uang sirih pinang.”
Iming-iming “uang sirih pinang” dimanfaatkan banyak calo perekrut pekerja migran ilegal di NTT. Dalam kasus ini calo merupakan pelaku TPPO.
Mereka menjanjikan uang jutaan rupiah kepada keluarga calon pekerja migran, yang sebagian besar merupakan perempuan.
Mulut manis calo terkadang tak bisa ditolak oleh keluarga yang bersangkutan. Apalagi banyak di antaranya mengalami kesulitan ekonomi.
Dari sisi orang tua, begitu. Lalu bagaimana dari sisi anak?
Tentu mereka ingin sekali membantu orang tua. Itulah mengapa mereka tak jarang membujuk orang tua supaya menerima uang sirih pinang yang dijanjikan calo. Sebagai gantinya, anak pergi bersama calo.
Dalam perjalanannya anak berusaha mati-matian menuruti arahan calo meski mereka menjadi korban pelbagai pelanggaran. Jika mereka mengundurkan diri, orang tua harus membayar bekali-kali lipat dari “uang sirih pinang” yang telah calo berikan.
“Uang sirih pinang” pula yang menjadi tameng pelaku TTPO ketika keluarga korban hendak melapor ke aparat penegak hukum.
Berusaha menakut-nakuti, mereka sering membawa-bawa kalimat bahwa polisi akan menganggap keluarga terlibat dalam TPPO. “Bisa dipenjara sampai bertahun-tahun. Dendanya juga besar,” begitu kira-kira pelaku TPPO mengancam keluarga.
Ditekan seperti itu, keluarga memilih untuk tidak melaporkan kejadiannya ke aparat penegak hukum.
Sementara tanpa tekanan itupun keluarga telah lebih dulu mengkhawatirkan stigma dari tetangga dan kerabat bila kabar soal peristiwanya tersebar.
Situasi dilematis ini masih diperparah dengan beberapa masalah lain yang akhirnya melatenkan TPPO di NTT.
Kita bisa tarik satu masalah di antaranya: infrastruktur yang buruk.
Infrastruktur dalam hal pelayanan keimigrasian atau yang bersifat fisik di desa-desa di NTT?
Dua-duanya.
Infrastruktur pelayanan yang rumit turut memicu mereka bermigrasi secara ilegal dari pulau-pulau kecil di NTT.
Mereka awalnya memproses migrasi secara resmi sesuai amanat Undang-Undang [UU] Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Namun, untuk mengurus setiap tahapannya, calon pekerja migran harus bepergian jauh dari pulau mereka. Pengurusannya biasanya di Surabaya, Jawa Timur.
Waktu perjalanannya panjang. Bisa lebih dari sehari.
Sudah begitu, mereka harus berpindah antarangkutan, mulai dari kapal laut hingga pesawat. Tak sedikit biaya yang dikeluarkan. Melelahkan, bahkan sebelum mulai mengurus dokumen.
Kalaupun mau bertahan di desa, tak banyak yang dapat mereka kerjakan.
Sawah menyempit seiring pertambahan populasi. Ingin bekerja di kota terdekat, infrastruktur fisik kerap tak memungkinkan mereka bepergian dengan singkat dan tepat waktu mencapai tujuan.
Itulah mengapa beberapa di antaranya lalu bermigrasi secara mandiri. Lainnya bermigrasi budaya. Salah satu contoh migrasi budaya, itu tadi, terperangkap “uang sirih pinang.”
Tanah menyempit akibat pembangunan yang kian masif di NTT, khususnya Pulau Flores: apakah turut memaksa warga menjadi pekerja migran?
Banyak alasan untuk menjadi pekerja migran. Di NTT, hasil tani atau ternak kian tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari warga, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil.
Tanah menyempit, seiring desakan bagi mereka untuk pergi dari ruang hidup yang seumur hidup mereka kenal.
Isu-isu yang berkaitan dengan tanah dan migrasi tidak akan menarik banyak atensi masyarakat Indonesia, kecuali jika memang pada dasarnya kita tumbuh dalam keluarga petani maupun bagian dari masyarakat adat yang menjunjung tinggi tanah sebagai landasan kehidupan.
Pembangunan skala besar dibentuk dengan tujuan memperluas lapangan pekerjaan. Namun dalam implementasinya justru mengusir masyarakat adat.
Ketidakadilan agraria telah memaksa mereka menjadi buruh migran, dan harus menanggung beban sebagai “pahlawan devisa,” sesuatu yang mungkin tak berkenan dalam hati mereka.
Apa saja perbaikan fundamental guna memastikan negara seutuhnya melindungi pekerja migran NTT?
Negara harus mengakui migrasi mandiri sekaligus migrasi budaya.
Dalam kasus di NTT, kami mengkhususkan perhatian pada migrasi budaya karena marak dan jauh lebih sulit terdeteksi.
Perhatian kami lainnya adalah: orang-orang yang melakukan migrasi mandiri dan migrasi budaya seolah-olah tak dilindungi oleh UU Pelindungan Pekerja Migran.
Dalam konteks UU tersebut, setiap orang yang melakukan migrasi mandiri maupun migrasi budaya harus menanggung sendiri sebab-akibatnya.
Kami mendesak negara melindungi setiap pekerja migran, apapun bentuk migrasi yang mereka pilih.
Kami tegas menyatakan migrasi mandiri dan migrasi budaya di NTT tak boleh jadi masalah dalam perlindungannya. Absennya perlindungan hanya membuat mereka kian rentan mengalami eksploitasi yang berujung pada hilangnya nyawa.
Sudah bertahun-tahun saya menekankan ajakan ini: bisakah kita bersama-sama memperjuangkan supaya warga yang melakukan migrasi mandiri dan migrasi budaya dapat terlindungi dengan baik?
Selain itu kita dapat memperjuangkan, misalnya, perbaikan infrastruktur dan penyederhanaan tata kelola keimigrasian di NTT.
Dengan begitu, warga NTT dapat merantau lewat jalur resmi tanpa merasa kehilangan waktu, tenaga dan biaya di tengah-tengah kesulitan ekonomi mereka.
Negara dan sektor apa saja yang menjadi tujuan migrasi budaya dari NTT? Bagaimana kondisi di perantauan? Apa saja pelanggaran hak yang kerap terabaikan dan bagaimana memulihkannya?
Terbanyak ke Malaysia, bekerja pada sektor kelapa sawit dan rumah tangga.
Kita sering mendengar pemulangan jenazah pekerja migran asal NTT. Tapi sebetulnya banyak yang, dengan sedih saya menyatakan ini: tidak dipulangkan.
Pendamping pekerja migran di Malaysia yang bekerja sama dengan SBMI beberapa kali melaporkan jenazah pekerja migran asal NTT yang dimakamkan di tengah perkebunan kelapa sawit.
Tak berbekal dokumen resmi, penyebab meninggalnya pun kadang-kadang disederhanakan oleh pemerintah. Misalnya, meninggal karena digigit binatang buas.
Padahal teman-teman kami yang meriset di sana menemukan mereka meninggal lantaran terpapar pestisida serta beban dan waktu kerja yang begitu berat.
Sekali lagi saya tegaskan, teman-teman yang bekerja tanpa dokumen resmi memiliki hakikat yang sama seperti kita semua.
Jangan lagi ada sekat-sekat untuk mendefinisikan setiap pekerja migran.
Mereka adalah manusia, punya hak yang sama dan kehidupannya harus dilindungi oleh pemerintah.
Editor: Ryan Dagur