Floresa.co – Mengenakan kain adat songke dan kemeja putih, ratusan warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai berkumpul di halaman kampung adat Mocok pada 17 Agustus pagi.
Dari 10 kampung adat – Mocu, Mocok, Mori, Nderu, Ncamar, Cako, Rebak, Tere, Jong dan Lungar – mereka menumpang bus kayu dan motor. Sebagian memilih berjalan kaki.
Pukul 10.00 Wita, warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok itu menggelar upacara peringatan HUT ke-79 RI dengan mengusung tema “Bersama Lawan Penjajahan Geotermal.”
Para petugas upacara yang berlangsung khidmat itu adalah warga sendiri, mencakup orang muda, orang tua, laki-laki dan perempuan.
Daniel Adur, yang menjadi pemimpin upacara, berkata, “kemerdekaan adalah hasil perjuangan para pahlawan yang penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan.”
Mereka “bahkan berkorban sampai mati demi generasi di seluruh tanah air.”
“Kita yang menikmati kemerdekaan itu wajib menjaganya,” katanya, “bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk anak-anak dan generasi selanjutnya.”
Menyinggung geotermal yang kini sedang ditentang warga, ia menyebut pilihan menolaknya adalah bagian dari perjuangan menikmati kemerdekaan.
Warga asal Gendang Mocok itu pun mengimbau seluruh peserta upacara agar “terus bekerja sembari menjaga dan merawat ritus-ritus adat.”
“Kalau kita sebagai petani, harus rajin. Kalau sebagai warga gendang, kita harus menghidupkan situs-situs adat yang telah diwariskan oleh leluhur kepada kita,” katanya.
Daniel mengingatkan pentingnya menjaga tanah dan kelestarian lingkungan hidup yaitu air yang bersih, udara yang segar, dan tumbuh-tumbuhan yang hijau supaya tetap sehat.
Makna Kemerdekaan
Tadeus Sukardin, warga Gendang Lungar berkata, “jika kemerdekaan dipahami sebagai simbol pembebasan dari para penjajah, maka kami belum merdeka.”
Warga Poco Leok, kata dia, mengalami penjajahan baru melalui proyek geotermal.
Upacara peringatan kemerdekaan ini merupakan bagian dari “upaya untuk membebaskan diri dari penjajahan geotermal.”
Ia mengaku kesal dengan berbagai upaya Pemerintah Kabupaten Manggarai dan PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] yang terus mengintimidasi dan mengganggu kehidupan lewat upaya memaksakan proyek yang mengancam ruang hidup itu.
Trisno Arkadeus, salah satu pemuda yang hadir dalam upacara itu menilai, dalam situasi sekarang, “kemerdekaan” dan “Poco Leok” sebagai dua hal menampilkan realitas paradoks.
Kemerdekaan “berarti bebas dari penjajahan, intimidasi, termasuk rencana buruk dari oligarki dan para investor,” katanya.
Sementara Poco Leok adalah “ranah baru bagi pemerintah daerah dan PT PLN untuk menjajah warga melalui proyek geotermal.”
“Saya pikir mereka sudah tahu sikap kami ketika mereka datang berulang kali ke sini. Kami menolak proyek itu berulang kali pula,” katanya.
“Namun, realitasnya berbagai upaya tetap mereka lakukan untuk meloloskan proyek itu,” tambahnya.
Trisno menilai kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan pemerintah daerah dan PT PLN mengganggu psikologi, keamanan, dan kesejahteraan warga yang sehari-hari menjalankan aktivitas sebagai petani.
“Kami tidak ingin ruang hidup kami dirampas. Kami harus menjaga warisan leluhur untuk masa depan kami, dan anak-anak kami selanjutnya,” katanya.
Sempat Terganggu
Upacara memperingati HUT kemerdekaan itu telah direncanakan warga jauh-jauh hari saat menggelar pertemuan di Gendang Mocok, Desa Mocok, Kecamatan Satar Mese.
Dalam pertemuan itu, warga bersepakat untuk melaksanakan latihan upacara pada 15-16 Agustus.
Namun, agenda latihan itu batal karena pada 14 Agustus mereka mendapat informasi bahwa rombongan pemerintah daerah dan PT PLN mendatangi tanah ulayat atau lingko mereka, bagian dari upaya menindaklanjuti proyek geotermal.
Rombongan itu hendak mengidentifikasi dan mendata lahan di Lingko Meter dan Dering, yang masing-masing milik Gendang Lungar dan Rebak.
Rencana itu membuat fokus mereka beralih pada upaya melakukan aksi “jaga kampung” untuk yang ke-24 kalinya.
Saat kunjungan rombongan itu pada 15 Agustus, mereka terbagi dalam dua kelompok, di mana warga Gendang Lungar, Tere dan Jong berangkat menuju Lingko Meter, sementara yang lainnya menuju Lingko Dering.
Ratusan warga dari 10 gendang tersebut kemudian berhasil menggagalkan kendaraan pemerintah dan perusahaan yang dikawal aparat keamanan masuk ke lokasi di Lingko Dering.
Proyek geotermal Poco Leok adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional di Flores, perluasan PLTP Ulumbu yang sebelumnya telah beroperasi sejak 2011.
Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Warga telah berkali-kali menyatakan sikap penolakan dengan beragam cara, mulai dari pengadangan di lapangan, demonstrasi hingga audiensi dan bersurat kepada sejumlah lembaga, seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
Selain itu, warga juga telah menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau asal Jerman yang menjadi pendana proyek.
Saat ini, mereka juga memasang spanduk-spanduk dari karung bekas di pinggir jalan menuju kampung mereka, berisi pernyataan sikap penolakan proyek.
Laporan ini dikerjakan Floresa, berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Poco Leok