Kontroversi Pemecatan Rudy Soik: Silang Pendapat di DPR, Ungkap Dugaan Polisi Jadi Beking Mafia BBM Subsidi di Kota Kupang

Didesak Komisi III DPR, Polda NTT janji gelar sidang banding pemecatan Rudy Soik

Floresa.co – Kontroversi terkait hukuman pemecatan terhadap Ipda Rudy Soik, polisi di NTT menjadi materi dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR pada 28 Oktober.

Sidang itu diwarnai perbedaan klaim antara Polda NTT dan sejumlah pendukung Rudy, termasuk aktivis Gereja Katolik, yang mengungkap kejanggalan dalam pemecatan Kepala Bidang Operasional [KBO] Satuan Reserse Kriminal Polresta Kupang Kota itu.

Komisi III DPR pun menyampaikan rekomendasi menggelar ulang sidang etik, dan disetujui Kapolda NTT, Irjen Pol Daniel Tahi Silitonga yang hadir bersama Wakapolda Brigjen Pol. Awi Setiyono. 

Pejabat utama lainnya di Polda NTT yang turut hadir adalah Inspektur Pengawasan Daerah [Irwasda], Kepala Bidang Propam, Kepala Bidang Hukum, Kepala Bidang Humas, Kepala Biro SDM, Direktur Intel, Direktur Reserse dan Kriminal Umum [Direskrimum], Direktur Reserse Kriminal Khusus [Direskrimsus] dan Direktur Samapta. 

Rudy, yang dikenal sebagai anggota polisi yang gigih memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] di NTT, mendapat sanksi etik yang berat: Pemberhentian Tidak dengan Hormat [PTDH] dari korps ‘baju coklat’ setelah dinyatakan bersalah dalam lima kasus etik.

Kronologi ‘Dosa’ Rudy Soik versi Polda NTT

Kapolda Daniel dalam paparannya di hadapan anggota Komisi III menjelaskan, setidaknya ada lima laporan pelanggaran etik yang dilakukan perwira pertama itu.

Rudy, kata dia, antara lain tertangkap tangan melakukan karaoke pada jam dinas. 

Ia juga dilaporkan memfitnah anggota Propam Polda NTT, meninggalkan tugas, tidak masuk kerja tiga hari berturut-turut dan dilaporkan oleh warga yang tempat usahanya dipasang garis polisi oleh Rudy.

Daniel berkata, sanksi etik terhadap Rudy bermula dari Operasi Tangkap Tangan [OTT] oleh Propam saat Rudy dan atasan, Kasat Reskrim Polresta Kupang Kota, AKP Yohanes Suhardi bersama dua polisi wanita atau polwan melakukan karaoke di sebuah tempat hiburan di Kupang.

“Ketika ditangkap, mereka sedang duduk berpasangan, melaksanakan hiburan, kemudian minum-minuman beralkohol,” kata Dainiel.

Daniel mengaku mendapat laporan soal OTT itu dari Kabid Propam Polda NTT. 

Ia kemudian menginstruksikan untuk melakukan proses hukum.

“Pada tahap selanjutnya dilakukan pemeriksaan saksi-saksi dan pemberkasan sampai kepada peradilan kode etik, karena lingkup yang dilakukan oleh para terduga pelanggar ini adalah lingkup etik,” kata Daniel.

Setelah disidangkan, katanya, Komisi Kode Etik menyatakan Rudy dan tiga rekannya melakukan perbuatan tercela.

Karena itu, keempatnya diberi sanksi berupa permintaan maaf kepada institusi dan penempatan di tempat khusus selama tujuh hari. 

Karena Rudy dinilai sebagai otak dari kegiatan karaoke itu, Daniel mengatakan, sanksi etik kepadanya disertai demosi selama tiga tahun.

Rudy, kata Daniel, tidak menerima putusan etik itu dan menyatakan banding. 

“Setelah dilakukan sidang banding, hakim banding mempertimbangkan bahwa alasan-alasan dalam memori banding yang diberikan itu menyimpang dari apa yang dipersangkakan,” katanya.

Menurut Daniel, dalam sidang etik tingkat banding itu, hakim menilai Rudy tidak kooperatif dan membantah semua tuduhan kepadanya.

Dalam putusan banding, hukuman Rudy diperberat, yaitu demosi ditingkatkan menjadi lima tahun dan penempatan di tempat khusus ditingkatkan menjadi 14 hari.

Menurut Daniel, setelah dilakukan OTT di tempat karaoke itu, Rudy “sengaja” melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga pelaku penyelundupan BBM.

“Jadi, pagi tertangkap [di tempat karaoke], sore langsung mengajukan kepada Kapolres surat perintah penyelidikan terhadap mafia BBM,” kata Daniel.

Daniel berkata, berdasarkan penelitian para hakim dan para pemeriksa, “tindakan yang dilakukan oleh Ipda Rudy Soik ini hanya untuk mem-framing bahwa dia tidak bersalah.”

Rudy, katanya, selalu mengakui tindakan karaoke itu dilakukan dalam rangka analisis dan evaluasi [anev] kasus BBM.

“Kemudian, selalu mengatakan bahwa karaoke ini adalah tempat safe house mereka untuk rapat,” katanya,

Namun, menurut Daniel, pengakuan Rudy itu tidak terbukti, berdasarkan pemeriksaan saksi-saksi seperti manajer tempat karaoke serta pemeriksaan dan persidangan secara terpisah terhadap tiga rekannya.

Laporan etik terhadap Rudy, tambahnya, juga berasal dari anggota Propam Polda NTT, yang menurut Daniel dituduh Rudy menerima setoran dari pelaku penjualan BBM subsidi ilegal.

“Setelah diproses, disidangkan, Ipda Rudy Soik juga tidak mengakui, tetapi itu ada rekamannya. Dan akhirnya, didisiplinkan dengan hukumannya adalah perbuatan itu perbuatan tercela,” katanya.

Selama pemeriksaan dugaan pelanggaran etik, Rudy juga “meninggalkan tugas, tidak berada di Kupang.”

“Ternyata, setelah dicek, Ipda Rudy Soik ada di Jakarta dan itu bisa dibuktikan oleh pemeriksa dengan mengambil manifes pesawat Citilink yang terbang ke Jakarta. Setelah disidangkan, Ipda Rudy Soik juga tidak mengakui ini, menyangkal juga. ‘Saya tidak pernah ke Jakarta,’ ujar Daniel.

Rudy, kata Daniel, juga tidak masuk ke kantor selama tiga hari dan itu menyulitkan Propam untuk melanjutkan perkara ini, yang kemudian diputuskan sebagai “pelanggaran hukum disiplin” dan “perbuatan tercela.”

Terakhir, jelasnya, Rudy Soik dilaporkan oleh orang yang drum usaha BBM-nya ditandai garis polisi. 

Daniel mengatakan, Rudy memasang garis polisi pada drum yang kosong.

Si pelapor, menurut Daniel, tak terima, karena nama baiknya tercemar. 

“[Laporan] itu juga diproses oleh Propam dan itulah kasus yang kelima,” kata Daniel.

Pada laporan kelima ini, Komisi Kode Etik dan Profesi menilai Rudy melanggar SOP atau Prosedur Operasional Standar Penyidikan. Pria 41 tahun itu dinilai melakukan penyidikan tanpa administrasi penyidikan.

Setelah disidangkan, kata Daniel, hukumannya menjadi berat, di mana Rudi dinyatakan “tidak layak dipertahankan menjadi anggota Polri.”

Daniel tidak menjelaskan secara rinci waktu dari setiap kejadian yang ia paparkan, termasuk soal OTT di tempat karaoke serta pemasangan garis polisi pada drum BBM milik pengusaha di Kupang.

Cerita Versi Rudy: Dugaan Polisi Jadi Beking Pelaku Penyelundupan BBM

Dalam rapat dengar pendapat di Komisi III ini, Rudy hadir bersama istrinya. 

Ia juga didampingi oleh Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang [Jarnas Anti TPPO] yang diketuai oleh Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.

Keponakan Presiden Prabowo Subianto yang juga merupakan anggota DPR dan Wakil Ketua Komisi VII itu hadir secara langsung dalam rapat.

Hadir juga Pastor Chrisanctus Paschalis Saturnus, imam Katolik. Dikenal dengan Romo Paskal, ia merupakan aktivis yang getol melawan perdagangan orang dan kini menjadi Ketua Harian Jarnas Anti TPPO. 

Ada juga Pendeta Emmy Sahertian dan Suster Laurentina Suharsih, dua aktivis perempuan yang aktif mengadvokasi kasus TPPO di NTT.

Saraswati mengaku sudah mengenal Rudy Soik sejak lama karena sama-sama terlibat dalam gerakan memberantas TPPO. 

Di mata perempuan yang sudah menjadi anggota DPR RI sejak 2014 itu, Rudy adalah “polisi yang kami kenal sangat memperjuangkan nasib masyarakat kecil dan orang banyak, termasuk juga kasus-kasus perdagangan orang yang beliau ikut ungkap di NTT.” 

Rudy adalah “polisi yang memang lurus dan bersih,” katanya.

“Mari kita fokus, utamanya yang harus dikejar adalah mafia. Ada mafia BBM, ada mafia TTPO,” kata Saraswati.

Pada kesempatan itu, Jarnas Anti TPPO, melalui Romo Paskal menjelaskan kronologi penyidikan kelangkaan BBM subsidi di Kota Kupang, yang berakhir dengan pemecatan Rudy.

Kronologi tersebut berdasarkan cerita Rudy, kata Romo Paskal.

Dalam kronologi inilah terungkap pelaku penjualan BBM subsidi ilegal ini diduga mendapatkan dukungan dari oknum anggota kepolisian, mulai dari Polresta Kupang Kota hingga Polda NTT.

Ceritanya dimulai dari kelangkaan BBM di Kota Kupang pada Juni 2024. 

Pada 15 Juni, Rudy Soik dan atasannya, Kasat Reskrim Polresta Kupang Kota, AKP Yohanes Suhardi menghadap Kapolresta, Kombes Aldinan Manurung.

Keduanya menyampaikan informasi terkait kelangkaan minyak subsidi jenis solar untuk nelayan di NTT. 

Gayung bersambut, Aldinan lantas menerbitkan surat perintah untuk mencari tahu serta mengumpulkan bahan dan keterangan yang sesuai dengan tujuan penyelidikan.

Rencana itu rupanya sampai juga ke Polda NTT. Menurut pengakuan Rudy, pada 22 Juni sekitar pukul 16.00 Wita, ia didatangi oknum aparat bernama Ipda Ikram, anggota Divisi Kriminal Khusus [Krimsus] Polda NTT, yang berdinas pada Subdit IV yang menangani kejahatan penyelundupan BBM.

Dalam percakapan dengan Rudy, Ipda Ikram berkata, “Jika Abang mengungkap kelangkaan bahan bakar minyak di Kota Kupang, maka akan berdampak kepada Krimsus Polda NTT.” 

Sekitar pukul 18.00 Wita, Rudy bersama AKP Yohanes Suhardi menghadap Kapolresta, Kombes Aldinan Manurung di Bandara El Tari Kupang, menyampaikan informasi terkait kedatangan Ipda Ikram. 

Saat itu, Aldinan Manurung merespons: “Rud, tindaklanjuti penyelidikan. Jika Direktur Krimsus menghubungi, itu urusan saya untuk menjelaskan. Kamu, tegak lurus.” 

Setelah pertemuan itu, sekitar 52 menit kemudian, Rudy memberikan perintah kepada jajaran Jatanras Polresta Kupang Kota melalui Grup WhatsApp untuk menindak pelaku penjualan BBM ilegal.

Pada 24 Juni, setelah ada pembaharuan surat perintah karena ada beberapa personil yang dimutasi, sekitar pukul 21.26 Wita, Rudy kembali memberikan perintah melalui grup WhatsApp itu agar keesokan harinya jajaran Jatanras “menyikat semua [pelaku penyelundupan] minyak ilegal.”

“Siapa pun mafianya harus ditangkap,” demikian pesan Rudy,

Pada 25 Juni, sekitar pukul 09.00, tiga anggota Reskrim Polresta Kupang Kota, yaitu Ibnu, Ramli dan Yohanes menghadap dan melaporkan kepada Rudy perihal residivis penyelundupan BBM bernama Ahmad Ansar yang sudah mulai “main minyak” dengan modus menggunakan barcode nelayan saat pembelian. 

Sekitar pukul 12.40 Wita, Ipda Rudy Soik memimpin 11 anggota untuk bergerak ke tempat penampungan minyak subsidi milik Ahmad di Kecamatan Alak, Kota Kupang. 

Namun, dalam perjalanan, Rudy mendapat informasi bahwa Ahmad sudah menyetorkan sejumlah yang disebut “uang koordinasi” kepada oknum anggota Reskrim Polresta Kupang Kota sejumlah Rp4 juta. 

Karena itu, Rudy meminta anggota untuk berkumpul di Restoran Masterpiece yang dekat dengan Polda NTT untuk melakukan konfirmasi kepada Kasatreskrim AKP Yohanes Suhardi, apakah dia yang mendapatkan uang dari Ahmad. 

Dalam kronologi versi Polda, restoran itu disebut sebagai tempat karoke.

Rudy pun menghubungi Yohanes Suhardi dan mendapat jawaban bahwa tidak ada uang setoran itu. 

Yohanes juga meminta Rudy untuk menunggu di restoran itu dan menjanjikan akan makan siang bersama, setelahnya baru membahas kasus BBM.

Selanjutnya, salah satu anggota tim, yaitu Aiptu Ibnu Sanda meminta agar Rudy saja yang menunggu di restoran itu, sementara ia memimpin tim ke lokasi penampungan BBM milik Ahmad. 

Saat itu, Rudy mengatakan, “Iya, sudah, pimpin anggota. Saya stand by di sini menunggu Kasat [Reskrim].”

Setelah anggota tim bergerak ke tempat penampungan BBM milik Ahmad, Rudy masuk ke ruang tunggu restoran.

Sembari menunggu Kasat Reskrim, ia menghubungi dua polwan juniornya yang bertugas di Polda NTT untuk bergabung di restoran itu.

Beberapa saat kemudian, dua polwan itu datang. Saat bersamaan, Kasat Reskrim juga datang, sehingga keempatnya bergabung di ruangan VIP untuk makan.

Saat itulah, 11 anggota Reskrim Polresta Kupang Kota kembali dari tempat penampungan BBM milik Ahmad.

Namun, mereka dicegat oleh oknum anggota Propam NTT atas nama Aiptu Untung Patopelohi, yang tiba-tiba sudah ada di restoran itu.

Selanjutnya, anggota Propam Polda NTT lainnya yang ada di parkiran restoran masuk ke ruangan VIP, bertemu Rudy.

Mereka bertanya kepada Rudy, “Lagi buat apa Rud?” Lantas Rudy menjawab, “Kami lagi makan.”

Selanjutnya, Rudy keluar restoran menemui anggota Reskrim Polresta Kupang Kota yang berada di parkiran, menanyakan alasan mereka tidak masuk ke restoran. Para anggota itu mengaku dilarang oleh Aiptu Untung,

Rudy kemudian melaporkan kejadian di Restoran Masterpiece ini ke atasannya, Kapolresta Kupang Kota, Kombes Aldinan Manurung.

Menurut Rudy, Aldinan menyampaikan, “Ada musuh dalam selimut.”

Pada 26 Juni dan 27 Juni 2024, Rudy melanjutkan penyelidikan penampungan BBM subsidi ilegal milik Ahmad.

Berdasarkan informasi beberapa sumber, Rudy mendapati keterangan bahwa pada saat pengisian BBM subsidi, semua orang wajib memiliki barcode atas nama sendiri, apalagi pengisian BBM yang kapasitasnya besar. Ia mendapat laporan bahwa Ahmad  tidak memiliki barcode.

Dalam proses penyelidikan lanjutan pada 26 Juni dan 27 Juni itu, Rudy juga mendapatkan informasi bahwa ada anggotanya yang  mengawal pembelian minyak subsidi oleh Ahmad. 

Sejak 15 Juni 2024, oknum tersebut yang merupakan anggota Polresta Kupang Kota, yang juga merupakan Buser atas nama Muhammad Kalumba telah menerima setoran dari Ahmad sebesar Rp4 juta. 

Kepada Rudy, Muhammad mengakui uang yang diterimanya sebesar Rp3,8 juta.

Duga Terjadi Dikriminalisasi 

Setelah menguraikan kronologi, Romo Paskal berkata kepada Komisi III, Jarnas Anti TPPO mendesak “membatalkan putusan komisi kode etik Polda NTT” terhadap Rudy.

Romo Paskal juga mengatakan, Jarnas Anti TPPO, mendesak Polda NTT untuk melanjutkan proses penyelidikan dugaan mafia BBM di Kota Kupang.

“Maka terhadap Ipda Rudy Soik dan seluruh tim [11 orang] yang dimutasi akibat disangkutpautkan dengan kasus police line, dipulihkan nama baiknya dan dikembalikan pada posisi semula,” ujarnya.

Jarnas Anti TPPO, kata Romo Paskal, melihat adanya “skenario kriminalisasi terhadap Ipda Rudy Soik secara terstruktur, masif dan sistematis oleh oknum polisi yang mengatasnamakan Polda NTT.”

Hal itu, katanya, untuk menghentikan langkah Rudy “dalam mengungkap kejahatan penyelundupan BBM subsidi yang diperuntukan bagi rakyat kecil.”

Penyimpangan BBM subsidi ini, kata Paskal, merupakan bagian dari “perampasan hak ekonomi kerakyatan, hak atas BBM subsidi yang sangat dapat berdampak pada masalah-masalah sosial lainnya,” seperti TPPO dan kemiskinan yang meningkat.

“Kami merasa negara absen dalam menjamin kesejahteraan dan keamanan bagi rakyat dengan adanya pembiaran kasus mafia BBM bersubsidi di NTT,” ujarnya.

Peradilan etik terhadap Rudy Soik dan putusan PTDH, kata Paskal, merupakan skenario kriminalisasi melalui mekanisme peradilan etik yang berkategori tidak adil serta menutup jalannya upaya pemberantasan mafia BBM yang marak di Kota Kupang. 

“Mafia BBM-nya kok nggak dikejar-kejar, tetapi Rudy Soik-nya yang dicari-cari,” ujarnya.

Dukungan Politik dari Komisi III

Selain dari keponakan Presiden Prabowo Subianto, Komisi III DPR RI juga memberikan dukungan politik terhadap Rudy.

Mereka pun mendorong agar putusan pemecatan Rudy ditinjau kembali.

Benny Kabur Harman, anggota Komisi III DPR yang berasal dari daerah pemilihan NTT I, menyebut Rudy merupakan “simbol bagi masyarakat NTT, sebuah provinsi yang dikenal paling miskin.”

“Oleh sebab itu, kalau Saudara Rudy Soik pada saat ini diperlakukan ‘tidak manusiawi’, maka tidak aneh kalau segenap tokoh di NTT angkat bicara soal ini,” katanya.

“Apa betul Saudara Rudy Soik melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya?” tambah Benny yang menjadi anggota DPR sejak 2004.

Ia berkata, 15 tahun lalu Rudy juga dijebloskan ke penjara karena kegigihannya dalam menindak kasus TPPO. 

Benny menyinggung pernyataan Rudy kala itu bahwa TPPO di NTT tidak mungkin berkembang bila tak ada yang membekingi.

“Bekingnya ada di aparat penegak hukum,” kata Benny, mengutip pernyataan Rudy.

Ia pun mengkritisi pemecatan terhadap Rudy karena dituduh ada kesalahan dalam penanganan kasus penyelundupan BBM yang diduga melibatkan “pengusaha hitam” setempat dan ditengarai bekerja sama dengan pejabat di lingkup Polda NTT.

“Belum masuk di akal saya Pak Kapolda. Saking tidak masuk akalnya, saya menduga-duga, ada apa sebetulnya ini? Kalaupun ada kesalahan yang dilakukan Saudara Rudy Soik di sini, apakah setimpal hukuman yang dijatuhkan kepadanya?” kata Benny.

“Oleh sebab itu Pak Kapolda, saya melacak-lacak ini, ini kayaknya ada sesuatu di balik ini, ada masalah di balik ini. Masalah itu saya temukan. Yang saya temukan adalah orang yang dulu memasukkan Rudy Soik ke bui [dalam] kasus TPPO, ada di Polda NTT ini. Saya duga ini adalah balas dendam,” kata Benny.

Mantan petinggi Polri, Irjen. Pol. [Purn] Rikwanto, yang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi Golkar meminta Polda NTT untuk mempertimbangkan kembali sanksi pemecatan Rudy.

Sanski tersebut, kata Rikwanto, terlalu cepat.

“Jadi, mengacu kepada aspirasi banyak pihak, melihat kasusnya, kemudian hal-hal teknis yang berkaitan dengan pemeriksaan, mungkin bisa dipertimbangkan kembali tentang status Ipda Rudy Soik ini, dengan cara-cara hukum tentunya,” katanya.

“Karena yang bersangkutan sudah di-PTDH, kalau memang mau dimurnikan kembali, direhabilitasi kembali, ada aturan mainnya. Kami serahkan kepada ketentuan yang berlaku di Kepolisian dan Pak Kapolda sendiri,” tambahnya.

Aspirasi dari berbagai anggota Komisi III ini kemudian ditetapkan dalam kesimpulan rapat masa persidangan I tahun 2024-2025.

Dalam kesimpulan itu, Komisi III DPR RI menyatakan “perlu dilakukan evaluasi terkait keputusan PTDH terhadap Rudy Soik dan meminta Kapolda NTT untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.”

Hal itu, kata mereka, “tetap berpedomaan kepada peraturan perundangan-undangan yang berlaku serta memperhatikan aspek keadilan dan kemanusiaan.”

Komisi III juga meminta Kapolda NTT untuk fokus menegakkan hukum terhadap kasus TPPO dan BBM ilegal tanpa pandang bulu, dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.

Kapolda Janji Tinjau Kembali

Dalam pernyataan penutupnya saat rapat itu, Kapolda Daniel berkata, putusan PTDH melalui sidang etik terhadap Rudy dilakukan berdasarkan informasi yang masuk ke mejanya.

Saya selaku Kapolda Anda, yang saya tahu adalah Anda melakukan hal-hal yang salah. Hal-hal yang baik, saya belum tahu,” katanya.

Ia menjelaskan, berdasarkan informasi yang masuk ke mejanya, Rudy “melakukan sesuatu hal yang dipersalahkan oleh Propam, kemudian lanjut kepada sidang kode etik karena menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003, kalau lebih dari minimal tiga pelanggaran disiplin, bisa disidang kode etik untuk PDTH.”

Soal usulan banding terhadap putusan sidang etik, Daniel berjanji akan memilih hakim-hakim “yang kira-kira tepat.”

“Dan setelah itu mereka punya waktu lagi 30 hari untuk mempelajari memori banding Anda,” katanya.

Celah banding ini bisa dilakukan karena Rudy belum melaksanakan satu pun putusan Komisi Etik.

“Kalau Anda mau lanjut atau tidak di anggota kepolisian ini, itu tergantung kepada Anda. Saya sampaikan nanti kepada hakim sidang, silakan pertimbangan dengan baik,” kata Daniel.

“Kami akan menyidangkan ulang dengan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan hari ini,” tambahnya.

Selain itu, Daniel juga menyatakan komitmennya untuk memberantas, penyimpangan BBM subsidi di NTT dan TPPO.

“Silakan Ipda Rudy Soik atau siapa saja yang ada di ruangan ini menyampaikan kepada kami kalau ada isu tentang pemain TPPO, pemain BBM. Silakan datang ke saya atau saya akan datangi, siapa orangnya.”

“Kita selesaikan dan saya akan bertekad [untuk itu], karena memang saya ditugaskan Kapolri di NTT. Salah satu tugasnya adalah untuk [memberantas] TPPO dan BBM ini,” katanya.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA